Chereads / Friend and Rival / Chapter 18 - Das Ultimatum [Dritter Teil]

Chapter 18 - Das Ultimatum [Dritter Teil]

Hampir setengah jam berlalu setelah Luna menyeret seorang murid bernama Yurika ke toilet. Ruang aula cukup terdengar gaduh hanya karena dua orang sedang berdiri dan beradu argumen mengenai sesuatu hal. Kedua pengisi acara di depan mereka hanya terdiam dan tetap mengawasi jalannya waktu acara. Meskipun begitu, pemilihan tetap berjalan dan dilanjutkan ke kelas B.

"Pemilu macam apa yang akan mengumbar identitas pesertanya, hah?!"

"Bukan itu permasalahannya woi!"

"Terus apa?!"

"Kau ini tidak mengerti apa yang dinamakan kepentingan politik yaaa ...."

"Mau istilah apapun yang kau gunakan, diriku sudah pasti menang dalam pemilihan ini."

Suara saling balas keyakinan terdengar cukup gaduh dan menyita perhatian murid-murid yang ada di belakangnya. Dua percakapan sengit itu dilakoni oleh Edward dan Arkan yang sedari tadi telah berdiri tepat di depan kursinya sambil memasang tatapan emosi satu sama lain. Hal tersebut disebabkan oleh keputusan Hannah yang tadinya mempertanyakan pengungkapan suara-suara para peserta beserta nama dan kelasnya.

"Percaya diri sekali yaa ... wahai Edward ... coba kau pikir-pikir lagi, sudah berapa kelas yang kau pegang, hah?"

Edward cukup terdiam dengan ucapan Arkan yang secara langsung mempertanyakan pengaruh dirinya dalam mencari dukungan suara.

"Woi! Sudah berulang kali kukatakan, pemilu memiliki asas rahasia!" sergah Edward.

"Meskipun begitu, kita semua diberi kesempatan untuk menghilangkan asas itu, kan?" tanya Arkan.

Edward hanya bisa terdiam serta mengepal tangan kanannya dengan penuh emosi. Dirinya sangat ingin mengumpat kata-kata kasar, namun berusaha tuk sabar mengingat situasi dan suasananya. Namun, di sisi lain Darius sang pengisi acara malah fokus terhadap dua gadis yang baru saja masuk dari pintu depan.

"Wah ... kalian berdua lama sekali ke toiletnya ...," ujar Darius.

Luna dan Yurika akhirnya datang setelah sekian lama keluar dari gedung ini. Tak sedikit yang memandangi mereka. Luna dengan senyum manisnya dan Yurika yang hanya terlihat murung dan sedikit menundukkan kepalanya. Saat mereka berdua telah sampai pada deretan kursi kelas E.

"Luna ...."

"Iya?"

"Ehm ... hati-hati yaa ...."

"Okeee, ingat yaa kasik tau ke teman-temanmu."

Yurika hanya menganggukkan ucapan Luna dan segera ke tempat duduknya. Begitu pula juga dengan Luna, dia melanjutkan langkahnya menuju deretan kelasnya.

Sementara itu, saat Yurika telah sampai di tempat duduknya, ia bergegas memberitahu sesuatu kepada teman-temannya.

"Ehmm semuanya ... ada yang ingin kujelaskan, aku telah merubah keputusan dan ini demi kelas kita," ujar Yurika lalu menjelaskan beberapa hal secara panjang lebar ke teman-teman fraksinya.

Di sisi lain, Mason yang lawan fraksinya itu tak peduli dengan penjelasan Yurika dan tetap optimis dengan pilihannya. Setelah usai menjelaskan, teman-teman Yurika langsung setuju dengan keputusannya.

Kembali lagi ke kursi depan. Arkan dan Edward tengah asik memperbincangkan keputusan Hannah mengenai visualisasi peserta pemilih. Hannah dan Darius sendiri masih belum mengambil keputusan dan tetap mendengar adu argumen antara kedua calon ketua kelas itu.

"Pokoknya hal tersebut harus diperlihatkan! ini tuh demi membuktikan sebuah loyalitas!" ujar Arkan.

"Loyalitas dibuktikan setelah hasil pemilu telah keluar lah!" balas Edward.

"Mana bisa! Hal itu sudah bertentangan dengan asas pemilu yang sebenarnya!"

Hal tersebut tak kunjung selesai. Dua pembicaraan yang cukup menegangkan ini sudah bagai tontonan bagi murid dari kelas lain. Di samping acara yang telah dianggap membosankan, mereka kira cukup menarik jika membiarkan dua kandidat di depan sana beradu argumen sebelum pemilihan mereka. Hingga akhirnya pemungutan dan perhitungan suara oleh kelas B sudah selesai. Lalu dilanjutkan ke kelas C dan sampai pada saat itu juga mereka masih saja bersikeras dengan pendapatnya masing-masing.

Di deretan kursi depan itu hanyalah mereka berdua saja yang bersuara, sisa murid lainnya? Antara diam menanggung malu atau menunggu sesuatu. Terutama dari kubu Rafael sendiri masih menunggu kedatangan pimpinannya yang hingga saat ini belum ada tanda-tanda kehadirannya.

Pendapat demi pendapat masih mereka utarakan hingga saat ini. Sampai mereka berdua akhirnya berada di titik dimana merasa tak punya apa-apa lagi untuk membela keputusannya.

"Bagaimana ... masih keras kepala dengan asasmu itu?" tanya Arkan.

"Kau sendiri gimana? Masih ingin menentang apa yang telah ditentukan?" tanya Edward.

"Menentang? Hah! Maaf saja ... kita semua telah diberi kemudahan, kau saja yang mempersulit!"

"Kemudahan? Kau seharusnya berpikir! Jika sudah ada aturan yang pasti kenapa harus-"

"DIAM!"

Suaranya lantang bagaikan peluru artileri yang ditembakkan. Suara itu bukanlah berasal dari kedua orang yang sedari tadi sibuk berdebat, melainkan seseorang dari suatu kubu yang sudah bosan mendengar kedua orang tersebut. Satu-satunya yang berbadan besar di kelas A, dia adalah Ivan Megantara. Bentakkannya sangat menyita perhatian seisi gedung aula, bahkan Arkan dan Edward termasuk pengisi acara di depan terdiam karena hal tersebut.

"Apa-apaan kalian ini! Niat banget ya mempermalukan kelas sendiri!" ujar Ivan.

Arkan dan Edward tetap terdiam dan kaget sambil menghadap ke Ivan, sementara itu pemungutan suara sempat terhenti karena suara Ivan yang sangat keras dan menggelegar.

"Kalian seharusnya malu! Bukankah berdiskusi secara tenang lebih baik daripada menyudutkan seseorang! Kita ini sama-sama murid kelas A! Kita yang paling tinggi seharusnya sadar akan hal itu! Tapi sifat kalian sungguh tidak mencerminkan murid dengan kasta tertinggi!" ujar Ivan.

Ujarannya sangat menusuk di pendengaran mereka berdua. Arkan dan Edward mulai menundukkan kepalanya sambil memikirkan beberapa hal. Arkan hanya tertegun melihat ke lantai-lantai, sedangkan Edward dengan wajah penuh emosi membuang muka ke arah lain. Suasana tersebut membuat kedua orang ini tak berani untuk mengambil langkah bersuara lebih dahulu. Hannah dan Darius yang masih berada di depan panggung mulai memikirkan sesuatu untuk memecah suasana yang nampaknya sudah terlalu canggung ini.

"Ehm oke ... oke ... murid-murid dari kelas A harap tenang dan kembali duduk dengan manis yaa ...," ucap Hannah.

"Oke kalau sudah tenang, sekarang mari kita lanjutkan pemungutan suaranya dan kalau gak salah tadi sudah sampai di kelas C, kan?" sambung Darius.

Arkan dan Edward mulai duduk kembali pada kursinya, begitu juga Ivan yang hingga kini masih terlihat kesal dan menatap kedua orang tersebut. Hannah dan Darius dapat menghela nafas lega karena mampu menenangkan suasana tegang yang telah diciptakan oleh adik kelasnya itu. Hannah mulai mengeluarkan HPnya dan mengecek data statistik pemungutan suara.

"Yups benar ... namun tak sesuai yang kami kira, kelas C dengan cepat sudah memutuskan siapa yang mereka dukung! wah cukup kelas yang kompak yaa!" ucap Hannah.

"Bagus kalau begitu! Dengan begini acara akan berjalan lebih cepat, oke lah kalau begitu, sambil menunggu perhitungan suara-"

"Ehm maaf menyela ...." Seorang gadis yang terlihat duduk di tengah baris dan deretan murid dengan lugas memotong perkataan Darius.

Darius sendiri sedikit menampilkan paras kesalnya, namun ia berusaha menyembunyikan hal tersebut. Tanpa menanyakan lebih lanjut siapa gadis itu, Darius langsung mempersilahkannya.

"Ah iya silahkan ... apakah ada masalah?"

"Saya minta maaf telah menyela pembicaraan kak Darius, Saya Marie selaku ketua kelas C."

Suasana yang tadi tenang kini mulai menaik secara perlahan. Satu per satu para murid mulai melihat dan melirik ke arah Marie. Posisi kelasn dan nomor absennya, menyebabkan dia berada di posisi yang sangat strategis untuk dijadikan pusat perhatian.

"Ah saya maafkan, kalau begitu silahkan, apakah ada sesuatu yang ingin kamu katakan?" ucap Darius.

"Apakah kakak sendiri membiarkan perdebatan mereka terhenti tanpa membuahkan hasil?" tanya Marie.

"Mereka?"

"Iya ... itu dua kandidat di depan sana, apa gunanya mereka berbicara lantang-lantang begitu tapi tidak membuahkan sebuah kesepakatan."

Darius sedikit kebingungan untuk menanggapi ucapan Marie. Dia sendiri masih berpikir keras untuk mengambil tindakan mengenai perbincangan antara Arkan dan Edward. Dia berpikir keras bukan berarti tak mampu untuk menyelesaikan pertikaian itu. Hanya saja, dirinya telah dibatasi oleh suatu hal dan menuntut dia untuk tetap mengurus jalannya acara tanpa ikut campur dalam urusan lainnya.

Kembali lagi dari deret terdepan, Ivan mengacungkan tangannya dan tanpa menunggu izin dari pengisi acara, "Oke untuk bertanggung jawab atas kemarahanku tadi, bagaimana kalau kita membuat voting kilat untuk ini."

"Ide bagus, dengan begini kita semua tau keputusan pihak mana yang terbanyak," sahut Marie.

"Hmm ... okay ..., jadi voting kilat ini antara Hide dan Show yaa," ucap Hannah.

"Oh oke-oke, kita gak mungkin meminta setiap keputusan seluruh murid di sini," ujar Darius dan seketika dia melihat ke seluruh murid kelas sepuluh, "ehm oke ... setiap ketua kelas ada di masing-masing kelas ,kan? Yang merasa ketua kelas coba angkat tangan!"

Kabar bagus karena dari kelas B sampai D, ketua kelas mereka hadir semua. Darius cukup senang memastikan hal tersebut. Namun dia sendiri menanyakan hal itu karena dirinya sadar ada beberapa kursi kosong terutama pada kelas D. Darius memberi kode kepada Hannah untuk berganti giliran berbicara.

"Oh oke! Jadi ... peraturannya, setiap perwakilan kelas hanya bisa menjawab Show and Hide, lalu tambahan untuk kelas A kami minta tiga jawaban, bisa dimengerti, kan? Kalau bisa mari kita-"

"Ehm maaf ...."

Lagi-lagi ucapan pengisi suara terpotong. Kali ini yang memotong berada di kursi paling belakang. Dia adalah kandidat ketua kelas laki-laki dari kelas E, yaitu Mason.

"Iya?" ucap Hannah.

"Lalu bagaimana dengan kelas kami? Kelas kami kan belum mempunyai-"

"AH! kalau itu tak masalah, kalian yang kelas E cukup menjawab sekali saja, dengan begini hasilnya ganjil bukan?" sahut Darius balik memotong ucapannya.

Mendengar ucapannya, Mason hanya bisa terdiam dan mengiyakan keputusan tersebut. Lalu Yurika sendiri hanya tetap diam dan tak ingin ikut campur megenai hal tersebut.

Di sisi lain, kubu tanpa pemimpin di depan sana kini telah kehilangan ketenangannya. Mereka pikir jika tetap menyembunyikan ketidakhadiran Rafael akan mempertahankan imagenya. Namun, hal tersebut tak akan lama karena sebentar lagi kubu tersebut akan dipandang dengan konotasi yang negatif berkat ketiadaan pemimpinnya.

"Jadi ... selagi melanjutkan pemungutan suara di kelas D, mari kita mengambil suara tambahan dari setiap perwakilan kelas," jelas Hannah.

"Gimana? Marie ketua kelas C, apakah kamu setuju dengan hal ini?" tanya Darius memastikan.

Mendengar pengambilan suara tambahan mungkin terdengar bagus untuk Marie, tapi sebenarnya dia cukup kesal. Dia kesal karena menunggu kedatangan Rafael yang tak kunjung datang. Beberapa hari yang lalu dia sudah sepakat untuk melakukan beberapa hal kerja sama mengenai yang terjadi hari ini. Namun, kenyataan bahwa Rafael belum datang, membuatnya pasrah begitu saja.

"Ehm ... oke ... saya setuju soal itu," pasrah Marie.

Darius yang mendengar hal itu sekali lagi bisa menghela nafas dan berniat sesegera mungkin mengakhiri acara ini. Dia sekali lagi melirik Hannah dan memberinya kode bahwa mereka bisa melanjutkannya. Hannah dengan sigap mengambil posisi dan ingin memastikan sesuatu, "syukurlah kalau begitu ... apakah masih ada kendala? jika tidak-"

"Ah maaf! Bisakah saya berbicara?"

Darius mulai naik pitam karena menyadari bahwa lagi-lagi ada yang memotong pembicaraan mereka. Hannah sendiri rupanya tetap berusaha sabar ketika dipotong saat berbicara. Kali ini yang berani memotong kembali ke kursi depan.

"Ah ada masalah apa lagi? wahai adikku yang manis ...," tanya Hannah.

"Ehm ... saya Clarissa nomor absen lima-"

Bump Ngiiiinnnng ....

"Hyaa ....," teriak Clarissa sambil menutup telinganya. Seketika Luna memegangi pundaknya dan memastikan keadaan Clarissa.

Entah disengaja maupun tidak, Darius baru saja menjatuhkan micnya. Suara tersebut membuat bunyi yang berdenging dan nyaring. Tak sedikit pula murid yang menutup telinganya saat mendengar bunyi tersebut. Setelah Clarissa merasa baikkan dengan suara yang mengganggunya barusan, dia berniat melanjutkan ucapannya. Di sisi lain Darius sedang mengambil benda yang dia jatuhkan dan mengecek situasi kondisi mic tersebut.

"Ah halo ... saya ... Clarissa-"

"AH TEST SATU DUA TIGA!"

Dub dub dub ....

"Ah maaf tanganku licin hehehe ... oke dik Clarissa, kan? Jadi ada hal apa yang ingin diutarakan?"

"Ehm ... jadi gini ... salah satu calon ketua kelas A ada yang tidak hadir karena sakit ...," ucap Clarissa.

"Lah? Gak hadir? Hadeh .... padahal dia calon ketua kelas, tapi malah gak bisa datang di hari yang tepat, belum lagi kalau dia sudah jadi ketua kelas, ckckck ga bisa ngebayangin dah," ujar Darius sedikit menampilkan sisi lain daripada dirinya sendiri.

Clarissa sedikit emosi saat mendengar hal itu, dia awalnya ingin bersikeras membela Rafael hanya saja hal itu ditahan oleh Luna. Luna sendiri tak ingin memulai konfrontasi dengan kakak kelas. Akhirnya, Clarissa hanya bisa tertunduk dan terdiam mendengar ocehan Darius.

"Sudah ah Darius ... kamu terlalu berlebihan ...," ucap Hannah.

Darius berusaha sabar setelah diberitahu Hannah dan kembali fokus terhadap jalannya acara. Tanpa mempedulikan Clarissa yang masih diam menundukkan kepalanya, Darius ingin melanjutkan jalannya acara.

"Oke kami anggap sudah tidak ada masalah lagi ya! Mari kita lanjutkan, untuk kekurangan yang tidak hadir, kami akan menghitung suara yang hanya ada di sini hari ini," ujar serius Darius.

"Tunggu dulu Darius sebelum itu, aku mau memastikan sesuatu," ucap Hannah.

"Silahkan."

"Jadi ... sebelum lanjut, kakak mau memberitahu, bahwa pemungutan suara di kelas D sudah selesai. Jadi setelah voting tambahan ini, kita akan langsung mengetahui siapa yang akan menjadi ketua kelas E."

Tak ada respon, tak ada tanggapan, daripada semua itu para murid kelas sepuluh hanya terdiam dan mengangguk mengenai apa yang mereka dengar dari kedua kakak kelasnya. Hannah memandang Darius dan mempersilahkannya.

"Oh oke ..," seketika pandangan Darius tertuju pada sebuah pintu yang perlahan dibuka dari luar oleh seseorang, "ehm ... siapa yaa? ada urusan apa masuk ke gedung ini?"

Secercah cahaya masuk ke dalam ruangan ini melalui pintu yang baru saja bergerak terbuka. Dengan perlahan tanpa menimbulkan suara namun hanya sang pengisi acara yang sadar. Muncullah sesosok yang tak diduga hampir sebagian besar murid di ruangan itu. Perlahan beberapa murid juga berbalik badan dan melihat ke arah pintu yang terbuka itu.

"Ah maaf ... saya tidak ada urusan di sini, tapi sudah menjadi tanggung jawab saya untuk hadir di sini," ujarnya datar dengan penampilan yang tak rapi dan kusut, serta bercak tanah yang hampir terlihat di beberapa bagian jasnya.

"Kalau boleh tau, nama adik siapa ya?" tanya Hannah.

Dia mulai melangkah maju dan berusaha tak peduli dengan beberapa sorot mata di sekelilingnya. Sambil berjalan, dia mengeluarkan HPnya untuk mengintip jam. Dalam batinnya dia berkata, "kurasa aku tidak terlambat."

"Mohon maaf untuk keterlambatan saya, nama saya Rafael Tendranatha calon ketua kelas A."

>===o===<

Nächstes?

Es ist noch ein Teil übrig.

>==#==<