Chereads / Friend and Rival / Chapter 20 - Final Election

Chapter 20 - Final Election

Wisdom is the art of making a point without making enemies.

- Sir Isaac Newton (1642-1727)

>===o===<

"Pasti mereka berdua tak berniat melakukan hal itu dan ingin segera melihat hasil."

Hanya sebuah dasar pemikiranku untuk acara ini.

"Tak usah berlama-lama lagi ... kepada ketiga kandidat dipersilahkan mengisi panggung," ujar Kak Darius sambil melihatku dan juga melihat kedua orang itu.

Namun, aku sendiri hanya bisa terdiam dan melihat ke arah mereka berdua. Entahlah, dari kami bertiga yang akan maju duluan siapa, tapi ... sepertinya tak akan ada yang maju. Hari juga makin panas rasanya, jam sudah menentukan bahwa sekarang sudah pukul setengah sepuluh. Untuk saat ini mereka terlihat sedang memikirkan sesuatu untuk diucapkan.

Edward mulai mengangkat tangan, "maaf ... bisa kita lewati sesi visi misinya?"

"Eh kenapa? Mana bisa kalau gitu-"

"Saya juga setuju dengan Edward, mari kita lewati sesi itu," ucap Arkan memotong perkataan kak Hannah.

Seketika saja mereka melihat ke arahku seakan-akan mengharapkan sebuah kepastian. Oke kalau begitu, tanpa ditanyai duluan.

"Kupikir bagus juga untuk melewati sesi itu," sahutku datar dengan tatapan santai.

Setelah mendengar jawaban dari kami bertiga. Kak Hannah langsung mendekat dan membisikkan sesuatu ke Kak Darius. Kuharap mereka menyetujui permintaan kami. Sehingga setelah melewati beberapa menit lamanya, mereka berdua telah selesai membicarakan hal tersebut.

"Oke ... kami berdua telah menyetujui hal tersebut," ucap Kak Hannah.

"Tapi, apakah kalian sebelumnya telah bersekongkol mengenai hal ini?" tanya Kak Darius.

"Tidak juga ..., kurasa tanpa maju ke depan pun suara telah berada di genggamanku," ucap Edward percaya diri.

"Yaaa, kebetulan saja saya sepemikiran dengan si mata duitan ini, jadi apa boleh buat ...," sahut Arkan.

Kali ini yang mereka putuskan sangat berguna sehingga aku tak perlu memakai kemampuanku terlalu banyak.

"Yaaa, apa boleh buat, kalau begitu mari kita pungut suaranya dari kelas terbawah!" ujar Kak Darius.

Brraak

Suara itu berasal dari pintu utama. Para murid langsung menoleh ke pintu itu termasuk diriku. Terlihat jelas postur tubuh ketiga orang yang kurasa satu perempuan dan dua laki-laki. Wajah mereka tidak terlihat jelas bagiku karena cahaya dari luar cukup silau sehingga membuat wajah mereka menjadi gelap.

Ketiganya mulai melangkah kemari. Dipimpin oleh seorang perempuan dan diikuti dua lelaki di belakangnya. Mereka melangkah cukup pelan, kurasa si perempuan ini sengaja melangkah dengan pelan agar terlihat anggun. Suasana pun seketika sunyi sampai-sampai terlihat jelas kedua pengisi acara itu terdiam seakan-akan dibungkam secara tidak langsung. Pertanyaannya ....

Siapa mereka?

Dengan beraninya masuk begitu saja. Menurutku, mereka sudah pasti kakak kelas. Mungkinkah, mereka itu orang penting? Untuk hal seperti ini, kurasa pemikiranku tidak berlebihan. Saat jarak mereka beberapa meter dari deret kursi kelas E. Penampilan mereka bertiga mulai terlihat jelas.

Sebentar ....

Aku serasa tidak asing dengannya. Aku kenal wajah cantik berkulit putih pucat dan rambut bergelombang panjang sepinggang itu. Tapi, kurasa warna rambutnya tidak sama dengan ingatanku. Seingatku rambut itu seharusnya berwarna cokelat gelap, namun yang kulihat saat ini berwarna perak. Dia juga sedang membawa kipas lipat di tangan kanannya. Sesekali kipas itu dibuka dan ditutupnya tanpa digunakan untuk mengipasi dirinya. Langkahnya semakin dekat hingga sampai di deret kelas D.

Aku mulai memegang jidat dan berpikir ulang. Apa benar dia itu seseorang yang kuingat? Dari beberapa hari lalu, diriku memang mulai ragu dengan ingatanku. Menengok kejadian kemarin. Saat aku menyelamatkan Yurika. Justru Yurika sendiri tidak mengingatku.

Mereka sudah selangkah berada di deret kelas B. Sangat dekat rasanya sampai-sampai aku baru sadar. Ternyata yang ada di belakangnya adalah Ketua OSIS dan mungkin dia seorang OSIS juga.

Langkah mereka berhenti tepat di deret kelas kami. Terlihat jelas wajah kesal dan tidak puas dari si perempuan. Dia mulai melihat ke arah kak Darius dan kak Hannah. Tak lama rasanya, dia mulai melihat ke arah kelas kami. Aku benar-benar ingat wajah itu. Hanya saja warna rambutnya serasa tidak sama. Namanya ....

Claudia?

Kurasa dia adalah orang yang berbeda. Aku hanya tak ingin menambah masalah. Lebih baik aku diam dan mengikuti suasana. Dia mulai menunjuk ke arah kelas kami menggunakan kipas lipatnya.

"Jadi, kalian bertiga tidak mau berbicara di depan?" tanya perempuan itu dengan tatapan tajam penggambaran ketidakpuasan.

Arkan dan Edward hanya bisa mengangguk, sedangkan aku sendiri cuma terdiam menunjukkan raut muka datar namun sebenarnya tak suka dengan kehadirannya yang sepertinya mengganggu jalannya acara. Perempuan itu tak mengucapkan apapun lagi. Ia menurunkan kipas lipatnya lalu memasukkannya ke kantong. Lalu beralih pandangan ke depan dan melanjutkan langkahnya. Kurasa auranya cukup kuat, buktinya saja Arkan dan Edward sampai terdiam tak berani berbicara.

Dia mulai menaiki panggung bersama kedua lelaki itu. Sesampainya di atas panggung, muncullah Kak Ruka dari belakang panggung dan memberikan mic kepada si perempuan itu. Selepas itu, Kak Ruka kembali ke belakang panggung tanpa berbicara apapun. Para murid mulai bertanya-tanya dan berbisik mengenai identitas perempuan ini. Kuyakin sebelumnya tidak ada yang pernah melihatnya.

"Maaf mengganggu acara kalian ...," ucapnya masih dengan nada datar namun sangar.

Kurasa aku pernah mendengar suaranya. Tapi, kapan ya? Rasanya sama seperti yang kuingat.

"Sebelum itu, perkenalkan nama saya Claudia Russel li kelas dua A. Lalu di sebelah saya ada Alpha Kennedic selaku ketua osis kalian dan satu anak buahnya," jelasnya menatap ke semua orang yang hadir secara bergiliran dari kanan ke kiri.

Dia berbicara seakan-akan jabatan serta derajatnya lebih tinggi. Aku tau itu, meskipun intonasinya datar tapi dia dengan lugas mengatakan hal itu.

"Di sini saya sebagai wakil ketua Osis dan juga sebagai anggota pertama sekaligus ketua Master Plan atau yang disingkat-"

"Hey Claudia! Apa kau yakin mengumbar hal itu sekarang?" potong Darius.

Namanya ....

Rupanya seperti yang kuingat. Dia benar-benar Claudia, teman sekaligus kakak kelas semasa diriku masih duduk di bangku SMP. Hanya saja, kenapa dia mengubah warna rambutnya? Tapi, sebelum itu apakah dia mengingatku?

"Memangnya kenapa? Tidak masalah, kan? Lagipula semenjak mereka tidak ingin berbicara di sini, rencana sudah keluar jalur," jelas Claudia bernada meremehkan.

Master Plan ya ....

Jadi lencana MP itu bukan gelar tapi sebuah lambang organisasi. Aku sudah curiga tentang hal itu sedari awal kemunculan Kak Ruka dan Kak Hannah di kelas, ah tidak. Bahkan aku sudah menyadari kejanggalan itu dari awal masuk sekolah.

"Seperti biasa, kau selalu saja seenaknya," gumam Kak Darius sambil membuang muka.

"Apa? Apa yang kamu katakan?" tanya kak Claudia.

"Tidak apa-apa," jawab Kak Darius.

Bahkan Kak Darius sendiri sampai terlihat seperti itu. Kak Claudia mulai menatapku! Ah tak lama, hanya sebentar saja. Dia mulai memandangi yang lain juga.

"Oke kalau begitu, semua kelas silahkan melakukan voting kecuali kelas A," jelas Kak. Claudia.

"Eeehh? Ehm ... Claudia ...," kaget Kak Hannah.

"Iya," jawab Kak Claudia.

"kamu yakin melakukan hal ini secara serentak?" ragu Kak Hannah.

"Iya, melakukan hal itu secara bergiliran hanyalah untuk mengulur waktunya saja," jelas Kak Claudia.

Sebelumnya aku tak ada di sini, jadi aku tak mengerti yang mereka bicarakan tentang bergiliran dan serentak. Selain itu, apa dia benar-benar Claudia yang kuingat? Cara bicaranya cukup datar dan blak-blakan. Ah mungkin karena sudah lama tak bertemu.

"Rafael," panggil Clarissa.

"Kenapa?" jawabku.

"Apa kamu baik-baik saja? Dari tadi kamu terlihat kebingungan," tanya Clarissa.

"Ah tidak apa-apa kok, kamu tidak usah khawatir," jawabku.

Apakah ekspresiku sangat mengkhawatirkanmu saat ini? Sepertinya yang dia ucapkan benar. Sekarang aku cukup bingung dengan perempuan bernama Claudia ini. Selain itu, Master Plan ini apa? Setelah mengatakan jabatannya, dia tak menjelaskan apapun lagi.

"Mungkin sambil mengisi kekosongan, apakah ada pertanyaan?" ujar Kak Claudia.

Mungkin aku harus menanyakan hal tersebut. Aku langsung mengangkat tangan tanpa memikirkan apapun lagi.

"Kamu ... Rafael, kan?"

Dia tau namaku? Apa dia benar-benar ... ah bukan waktu yang tepat aku harus tau Master Plan yang dia maksud ini.

"Jadi master plan itu-"

"Waahh! Jadi kamu benar-benar Rafael, kan!" ujar Kak Claudia seketika terlihat senang.

Jujur saja, meneriakkan namaku dengan nada bahagia seperti itu malah membuatku malu. Jika dia ingat tentang diriku. Berarti ingatanku tentang dia ada benarnya.

"Iya, ehm saya ingin bertanya-"

"Aaaa! Dariuuus! Harveeey! Rencanaku berhasil! Akhirnya dia benar-benar masuk sekolah ini!" ujar Kak Claudia kegirangan.

Rencana? Jadi dia, apakah dia dalang dibalik surat misterius itu? Entah kenapa aku malah mengepalkan tangan untuk saat ini. Kesal sih rasanya meskipun masalah itu sudah berlalu.

"Ehmm Claudia ... Harvey tak ada di sini, jadi tolong tenanglah," sahut Kak Darius terheran-heran.

"Darius! Lebih baik kau diam, lagipula aku hanya mengekspresikan kegembiraanku, meskipun sedari awal semester sudah mengetahui keberadaannya," ujar Kak Claudia.

Kurasa masuknya aku ke sekolah ini ada campur tangannya dengan dia. Kak Hannah mendekat dan membisikkan sesuatu ke Kak Claudia. Sepertinya aku harus lebih bersabar. Sedari tadi pertanyaanku dipotong oleh perkataan riangnya.

"Jadi soal pemungutan suara sudah selesai, mari kita lihat hasilnya," ucap datar Kak Claudia.

"Woi tunggu sebentar!" Arkan mulai berani berbicara.

"Ah ada apa?" sahut Kak Claudia.

"Pertanyaan dari kelas kami belum dijawab, kan?" ujar Arkan.

"Ya benar sekali, saya sendiri juga ingin bertanya, tapi rasanya pertanyaan ini sama seperti yang akan ditanyai Rafael," sambung Edward.

Setelah itu Kak Claudia melihat kembali ke arahku. Dia sempat menarik dan menghela nafas sambil membuang tatapannya.

"Pertanyaanmu ..., apa itu Master Plan, kan?" ucap Kak Claudia.

Kena langsung ke inti. Yaa aku sendiri pasti bisa menebak hal itu jika aku berada di posisinya.

"Iya," jawabku.

Kak Claudia sedikit tersenyum dan secara jelas mulai melihat satu per satu deretan kelas dari depan hingga belakang. Rasanya senyumannya itu sempat luntur beberapa saat. Entah siapa yang dilihat olehnya.

"Oke, sebelum ke hasil. Mari kujelaskan. Master Plan adalah badan eksekutif tertinggi di wissenschaft High School yang beranggotakan sepuluh orang dan bekerja di balik layar-"

"Yaa tapi sayangnya tidak di balik layar lagi karena pemimpinnya yang membongkar hal itu," potong Kak Darius.

"Haahh ... bisa kau ulangi perkataanmu ...," ucap Kak Claudia sembari menatap tajam Kak Darius.

"Ah, maaf," jawab kaget Kak Darius.

"Huh, saya akan melanjutkan, singkatannya MP dengan kedudukan tertinggi bahkan lebih tinggi dari OSIS dan setara dengan kepala sekolah. Jika diumpamakan dengan sistem presidensial, kami ini bagaikan kepala pemerintahan dan kepsek hanyalah kepala negara, sekilas itu saja ada lagi yang ingin ditanyakan?" jelas Kak Claudia.

Dari deret kelas kami ada yang mengangkat tangan. Dia adalah Riki. Sedari tadi cukup terlihat pendiam atau mungkin karena aku tak duduk di sampingnya.

"Saya ingin bertanya, jika kalian adalah badan eksekutif tertinggi, maka apa saja yang boleh kalian atur?" tanya Riki terlihat sangat penasaran.

"Segalanya," jawab Kak Claudia.

"Segalanya ... maksudnya itu ...," gumamku.

"Iya, apapun itu yang ada di sekolah ini," sahut Kak Claudia.

Sebagian terlihat kaget dan juga kebingungan. Bagaimana tidak, mereka ini yang statusnya sama-sama murid seperti kami, tapi diberi hak dan otoritas yang tinggi. Jujur, aku sendiri juga sama kagetnya. Aku yang dulu mungkin saja akan bernafsu tinggi untuk masuk ke organisasi tersebut. Tapi, rasanya tidak untuk diriku yang sekarang.

>===o===<

Cerita ini adalah fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Die Ergebnisse