Aisyah merasakan sakit luar biasa. Entah mental atau tubuhnya yang mengeluarkan banyak darah. Tetapi entah kenapa dirinya merasa begitu hangat. Dia menoleh ke Rachel yang tertidur pulas. Lalu menoleh ke Fanesya yang sibuk menyetir mobil.
"Ini ... di mana?" tanya Aisyah.
"Jangan bergerak dulu, Aisyah! Kau butuh istirahat," kata Fanesya.
Gadis berhijab itu memijit keningnya. Tidak menyangka dirinya pingsan saat menghadapi pria berjas hitam. Dia bertanya-tanya ke mana perginya. Dan bagaimana bisa Fanesya mendapatkan mobil seperti ini.
"Kalau kau memikirkan bagaimana mendapatkan mobil ini, jangan tanya. Kau pasti tidak mau mendengarnya,"
Aisyah merasa apa yang dikatakan ada benarnya. Fanesya dan Florensia memilih diam setelah gadis berkacamata itu menjawab. Akhirnya, gadis berhijab memilih mengurungkan niatnya untuk bertanya. Kemudian, dia mencari pertanyaan lain.
"Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada pria berjas hitam itu?" tanya Aisyah.
"Aku sudah mengalahkannya," balas Florensia.
"Mengalahkannya? Bagaimana?" tanya lagi Aisyah.
"Soal itu ..."
Florensia menjelaskan secara singkatnya. Kedua tangan hanya menutup bibir Aisyah. Tidak mampu berkata apapun. Gadis berhijab itu merasa bersalah, telah melibatkan perasaan pribadi ke teman-temannya.
"Dengar ya. Kami melakukan ini supaya kau tidak menanggung beban semua sendirian. Bila perlu, aku tidak ingin mendengar perkataan menyedihkan darimu,"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Terlihat jelas dari wajahmu. Kau ingin berkata 'Kenapa kau menyelamatkanku! Harusnya kau pergi meninggalkanku untuk selamatkan Pak Hartoyo' atau 'Maaf telah merepotkan kalian selama ini. Karena kesalahanku bla bla bla'. Jika kau mengatakan demikian, aku akan menghajarmu sampai puas!" kata Fanesya tersenyum.
Untuk gadis seperti dia, penyemangat adalah kunci supaya Aisyah bisa bertahan. Tanpa itu, penyelamatan Pak Hartoyo, ayah angkat Aisyah menjadi sia-sia. Suasana kembali menjadi canggung. Lalu, Florensia menampar pipi kanannya sampai memerah.
"Dan juga, jangan pergi meninggalkan kami sendirian! Kau tahu, mencarimu benar-benar merepotkan tahu!" keluh Florensia.
"Oi, kau tidak berhak menampar dia!"
"Memangnya apa pedulimu? Kenapa juga aku harus ikut sama kalian!"
"Kenapa baru sekarang ngomong, Grandmaster gadungan!"
"Apa katamu, beban!"
Baik Florensia dan Fanesya tidak terima saling ledekan. Aisyah yang mendengarnya, hanya tertawa melihat sikap mereka. Tidak kuasa menahan ketawa. Sampai-sampai perutnya kesakitan.
"Kalian ini ... selalu saja membuatku tertawa!"
Mendengar pujian dari Aisyah, baik Florensia dan Fanesya menunggingkan senyum kepadanya. Di saat mereka melanjutkan perjalanan, ketiganya menyalakan music K-pop. Florensia dan Aisyah saling mengangkat bahu. Membiarkan Fanesya bersenang-senang. Dia memutar musiknya, berjoget-joget tidak karuan. Kendati demikian, tidak mengurangi rasa gelisah dalam diri Aisyah. Setidaknya, hati tentram melihat mereka bertiga ada di sini untuknya.
"Aku berharap bisa berteman terus selamanya," gumamnya.
"Apa katamu barusan?" ucap Florensia tidak mendengar.
Aisyah buru-buru menggeleng kepala. Dia tersenyum asam kepadanya.
"Tidak apa-apa. Ayo kita menari-nari!"
Suara berisik membangunkan Rachel. Dia membuka kelopak matanya pelan-pelan. Memijit kepala gadis berambut hitam itu. Dia teringat bahwa dirinya ditusuk oleh seorang pria. Tapi ketika megecek tubuhnya, tidak ada bekas darah yang menetes.
"Kau sudah sadar, Rachel?"
"Ya. Soalnya kalian bertiga berisik sekali," keluhnya.
Florensia dan Fanesya nyengir mendengar perkataan Rachel. Aisyah mengambil botol minuman. Lalu menenggak berkali-kali. Kemudian, Rachel bergiliran meminumnya. Terlihat kerongkongannya kering kerontang akibat dehidrasi. Bibirnya basah, terkena air putih. Sampai botol minuman habis begitu saja.
"Kau habiskan semua. Aku baru minum sedikit," keluhnya.
"Maaf, maaf!"
Melihat kebersamaan mereka, mau tidak mau Aisyah hanya bisa sedikit lega. Hingga kegembiraan tersebut berhenti saat mereka telah sampai di tujuan. Terlihat rakyat terkena sengatan listrik. Aisyah merasakan kekuatan sihir tidak biasa. Dia mengeluarkan busur panah. Melepaskan anak panah ke mereka. Anak panah tersebut berisi pelontar listrik. Sehingga bisa menyetrum mereka tanpa harus membunuh.
"Aisyah, yang barusan kau tembak itu apa?" tanya Fanesya
"Pelontar listrik. Pasca melawan perampok yang mirip seperti zombie, aku mencoba menyetel ulang daya kekuatannya,"
"Tapi aku tidak pernah melihatmu melakukan uji coba," gumam Fanesya.
"Karena sangat berbahaya, kucoba bereksperimen kepada para penjahat," balasnya menutup pembicaraan tersebut.
Sebenarnya Aisyah tidak mau menunjukkan kemampuan tersebut kepada mereka bertiga. Karena dinilai terlalu berbahaya. Tapi karena keseriusan mereka dalam menyelamatkan Hartoyo, Aisyah mengurungkan niatnya dan langsung melesat maju.
Fanesya ingin bertanya lagi. Tapi waktunya tidak tepat. Florensia turun dari mobil, menggunakan pedang Firdaus dalam disarungkan. Dia berlari sekaligus menghampiri para warga. Ayunan pedang miliknya berhasil membuat satu persatu warga tidak sadarkan.
Rachel ikut membantu dengan crossbow miliknya. Dia mengambil anak panah berukuran mini. Lalu menarik senar dan melepaskannya begitu saja. Rachel berlutut, mengarahkan bidikan ke tiap warga yang melintas. Ketika anak panah listrik mulai kehilangan efeknya, para warga berlari layaknya segerombolan zombie. Keempat gadis itu masuk ke dalam mobil.
Memang berhasil masuk ke dalam. Akan tetapi tidak bisa masuk ke arah lokasi yang dituju. Para warga memukulnya hingga kaca pecah.
"Cepat jalan, Sya!"
"Ini sedang kucoba! Tapi mereka terlalu banyak!"
"Tch! Bagaimana ini?"
"Aku tidak bisa menembaknya!"
"Usahakan jangan sampai mengenai organ vital seperti paru-paru atau jantung!"
Teriakan Aisyah membuat ketiga gadis itu tenang. Akan tetapi itu berlaku sementara. Para warga terus memukulnya. Aisyah melirik celah yang ada di sekeliling warga. Dengan terpaksa Aisyah menarik senar busur panah. Fanesya memiliki ide lain. Dia menancapkan gas. Menabrakkan para warga hingga terpental.
"Apa yang kau—"
"Tidak ada waktu untuk berpikir, Rachel! Aisyah, buka jendelanya dan buang buang detonator ke jalan!" perintah Fanesya.
"Detonator! Oi, kau ingin meledakkan mereka?"
"Aisyah bisa menggunakan [Barrier]. Jadi tidak masalah kalau jalan tersebut meledak, bukan?" Fanesya menekan gas sambil memutar kemudi.
Gadis berhijab langsung memahami maksud Fanesya. Dia menggeledah tas milik Fanesya. Ternyata detonator bom berukuran kecil. Satu persatu warga terpental. Aisyah melihatnya sebagai kesempatan. Dia melemparkan bom detonator tersebut. Kemudian menggunakan [Barrier] sebagai pelindung mereka. Setelah itu, Rachel mengambil pengendali jarak jauh. Menekan tombol warna merah. Terjadilah ledakan besar. Asap besar mengepul di tengah jalan raya.
Untuk mengakhirinya, Aisyah menarik senar busur panah. Melemparkan anak panah ke jalan. Aisyah menjentikkan jari hingga para warga terkena sengatan listrik. Setelah itu, mobil yang dikendarai mereka berempat melaju dengan kecepatan tinggi.
"Barusan itu apa? Ini bukan seperti yang di film-film, bukan?"
Aisyah menggeleng menjawab pertanyaan Rachel. Florensia dan Fanesya tidak mampu berkata apapun.
"Rachel, seperti yang kubilang. Mereka dikendalikan oleh seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa orangnya dan skill apa yang dia gunakan. Tapi yang jelas, tujuan dia adalah menghambat penyelamatan kita," jelas Aisyah.
"Dengan kata lain, dia itu musuh," tambah Florensia.
Rachel semakin tidak mengerti kenapa mereka dikendalikan dengan mudah. Padahal ada uang, makan dan lain-lain untuk kebutuhan sehari-hari. Hal yang tidak dimengerti adalah skill apa yang digunakan untuk mengendalikan semuanya. Aisyah berharap Hartoyo, ayah angkatnya segera diselamatkan.
"Aisyah, kau memasang wajah seriusmu lagi!" keluh Fanesya.
"Maaf. Kebiasaan lama," kata Aisyah mencoba rileks.
Fanesya dan Florensia saling memandang. Mereka masih memikirkan Aisyah yang diliputi rasa gelisah.
Mereka akhirnya sampai di sebuah gedung. Lebih tepatnya, gedung yang terbengkalai. Mereka membuka pintu pelan-pelan. Takut ada jebakan menanti. Florensia dan Aisyah berada di depan. Sedangkan Rachel dan Fanesya di belakang. Ketiga orang kecuali Fanesya memegang senjata masing-masing.
Langkah demi langkah mereka berempat berjalan. Melihat kondisi gedung tersebut sudah mulai usang. Dinding dipenuhi banyak cipratan darah. Bau busuk bangkai manusia. Rachel berusaha menutup hidungnya. Tidak kuat melihat mayat tergeletak. Sampai-sampai, dia harus muntah saking tidak tahannya. Bagi Florensia, melihat mayat merupakan hal wajar. Tapi berbeda dengan Aisyah dan Fanesya. Dia mencoba mendekati mereka berdua. Tangan Aisyah gemetar. Melihat banyak mayat berbaring di lantai. Gadis berhijab mencengkram kedua tangannya. Supaya bertahan. Fanesya memalingkan wajah. Tidak tahan bau busuk dan pemandangan mengerikan ini.. Lampu berkedip-kedip. Menandakan seseorang tidak mematikan lampu, atau sengaja dibiarkan menyala. Tidak ada yang tahu pasti.
Florensia melihat ada tangga di depan. Tapi dicegah oleh Aisyah.
"Itu jebakan,"
"Apa? Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Florensia.
Aisyah mengambil sebuah kerikil. Lalu kerikil tersebut dilemparkan ke depan. Terlihat suara tembakan dengan kecepatan tinggi, menghancurkan sebuah kerikil dengan mudah. Aisyah langsung berjalan, mengambil rute paling kanan.
"Apa kau yakin dengan jalan yang kau pilih?"
Namun tidak ada respon dari gadis berhijab itu. Dia berjalan, melangkah dengan pelan-pelan. Senar busur panah ditarik kencang. Memastikan bahwa tidak kendor. Di samping itu, ada firasat tidak enak karena hawa di dalam gedung begitu dingin dan mencekam. Seolah-olah ada yang mengawasi dari belakang. Untuk saat ini, Aisyah membiarkan hal itu terjadi. Aisyah dan teman-teman berada di tengah-tengah. Dinding yang semula banyak cipratan darah, mulai nampak bau tanah.
"Kenapa, sya? Apa kau takut?" tanya Aisyah.
"Sedikit sih," kata Fanesya.
Florensia dan Rachel menegang. Keduanya melirik kesana kemari. Gadis berhijab itu menyadari bahwa keduanya belum pernah kemari. Tapi ini kedua kalinya Aisyah kemari. Hanya saja dia tidak ingat kapan kejadian tersebut berlangsung. Aisyah hanya mengingat dia berada di sebuah tempat. Ruangan tersebut sangat sempit. Dilumuri puluhan orang digantung melalui kail besi berukuran besar. Aisyah berteriak kencang, meminta bantuan pada saat itu.
"Aisyah ..."
"Aisyah ..."
"Aisyah!"
Gadis berhijab tersadar lamunannya. Fanesya melambaikan wajah Aisyah. Matanya kembali cerah. Dia melihat Rachel, Fanesya dan Florensia penuh khawatir.
"Apa kau baik-baik saja? Apa jangan-jangan pertarungan sebelumnya membuatmu tertekan?"
"Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir," ucapnya berbohong.
Meski dia sudah mencoba berbohong, nampaknya wajah mereka masih gelisah dan gusar. Wajar Aisyah merasakan kekhawatiran mereka. Dia mengambil anak panah. Langsung membidik ke target yang dituju. Setelah itu, dia melepaskan anak panah dengan enteng. Saking entengnya, anak panah tersebut mengenai dinding sebelah kiri. Saat itulah, suara bunyi lonceng sebanyak tiga kali. Terdengar begitu keras.
"Suara apa barusan?"
"Aku tidak tahu! Tapi sepertinya, kita menarik alarm yang tidak perlu,"
Tidak. Ini bukan alarm yang kuingat, pikir Aisyah dalam hati. Dia ingat betul bunyi alarm di ruangan ini. Memang diakui, dia keliru mengarahkan tembakan ke sana. Tapi yang gadis berhijab itu ingat, bunyi tetesan air berjatuhan. Semakin lama, tetesan tersebut bercampur dengan bunyi lain.
"Langkah kaki!"
"Eh? Apa maksudmu? O-Oi!" teriak Fanesya.
Aisyah mengambil inisiatif. Menggunakan [Fireball] ke tombol tersebut. Lalu hancurlah suara berisik itu.
"Sudah kuduga," gumamnya.
Dia berjalan tanpa ada hambatan. Membuat ketiga gadis itu kebingungan dengan Aisyah. Fanesya merasa ada sesuatu yang berbeda dengan gadis berhijab itu. Serasa bukan dia yang dikenalnya. Kedua tangan itu mencengkram busur panah. Lebih kuat dari sebelumnya. Tapi jika diperhatikan baik-baik, kedua tangan gemetar. Bahu juga ikut-ikutan.
"Aisyah .."
"Kita lanjutkan kembali," ujarnya singkat membuka pintu di depan.
Ketiga gadis itu mengikuti perkataan Aisyah. Meski demikian, mereka khawatir dengannya. Aisyah membuka pintu tersebut, tidak ada siapa-siapa kecuali darah bercipratan kemana-mana. Bau amis semakin menyebar. Aisyah berjalan pelan. Mengabaikan semua yang ada di sekitar. Termasuk bau amis dan kumpulan mayat. Dia melirik tanpa henti.
Dia ingat perkataan Gufron saat pelatihannya dulu. Jika tidak salah, Aisyah berada di ruangan yang sama persis. Tahun keempat bersama mentornya.
"Gufron, apa ini baik-baik saja?" tanya Aisyah.
"Aku pasti kena marah kalau tidak melakukan sesuatu untuk membuatmu berkembang. Tapi ya sudahlah. Ngomong-ngomong, kau harus mengatasi rasa trauma mu di sini, kan?"
Aisyah tidak ingat ada trauma di ruangan ini. Memang betul ruangan tersebut kosong. Tidak ada furnitur seperti meja, kursi atau lainnya. Hanya kain putih yang membungkus lemari kosong. Jendela dikerubungi laba-laba kecil. Apalagi di tiap sudut.
"Memangnya aku punya trauma di sini?"
"Ya. Sengaja aku menghapus memori ingatanmu ini. Jika tidak salah, ada dua peristiwa. Saat kau masih bayi dan berumur 5 tahun,"
"A-Apa katamu!"
Tidak menyangka Gufron hapal peristiwa yang dialami olehnya. Bahkan dia sama sekali tidak ingat apapun kecuali mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
"Katakan padaku apa yang terjadi dengan diriku saat itu?" katanya bernada serius.
Gufron menggelengkan kepala. Dia berjalan mendekati Aisyah. Lalu dua jarinya menyentuh keningnya. Lalu mengeluarkan sihir dari dalam tubuh Gufron. Mengalir ke ingatan Aisyah. Kedua mata gadis berhijab kosong. Sebuah kilas balik terlihat dari ingatan terdahulunya. Dia teringat kejadian saat bayi. Di mana dirinya bersama wanita tidak dikenal, diserang sekumpulan monster. Sampai-sampai wanita itu melindunginya.
"Rebecca. Kau harus hidup, nak. Mama sayang kepadamu,"
Hanya kata-kata itulah yang terngiang di kepala Aisyah. Sebuah tusukan ke jantung seorang wanita. Dia batuk darah, diangkat oleh makhluk itu hingga membelahnya jadi beberapa bagian. Tubuhnya yang tersisa di makan oleh para monster. Saat itu, Aisyah dalam bayi hanya bisa menangis ketakutan. Meronta-ronta meminta bantuan.
Gufron dkk berjalan mendekati kedua orang tuanya. Goro membuka kain putih yang ditutupi, terlihat bayi perempuan sedang menangis. Jeritan dan tangisan terus dia lontarkan. Membuat para monster bermunculan. Orang tua mereka mengalami sekarat.
"Gufron, mereka mengalami kelumpuhan dan gagal jantung. Peluang untuk hidup—"
"Aku tahu, Akemi. Aku tahu," selanya menjawab singkat.
Akemi yang masih memeriksakan kondisinya, hanya bisa menundukkan kepalanya. Semua kecuali Gufron dan Akemi bersiaga untuk menyerang. Para monster berukuran raksasa datang. Menghancurkan pepohonan sekitarnya. Ada berbagai macam monster yang nampak. Jerapah berukuran raksasa, dengan bertanduk dua. Kemudian ada juga buaya dan komodo. Mereka mengeluarkan aura iblis dalam tubuhnya.
"Monster bermunculan di mana-mana ya? Sial sekali nasib kita," kata Rina Shirasaki Alternate.
"Memangnya kau ingin tidak ada monster bermunculan begitu?" tanya Sakurachi.
"Kalian bisa tenang tidak? Mood Gufron-sama hari ini kurang baik," kata Yuka bernada datar.
Mendengarnya saja membuat Sakurachi dan Rina Shirasaki Alternate memilih membungkam mulutnya. Mengalah daripada dihajar oleh Yuka, yang notabene half-android human.
Sementara itu, Shido dan Goro mengeluarkan senjata mereka masing-masing. Shido menggunakan pedang, sedangkan Goro memilih kapal berukuran raksasa.
"Gufron, bagaimana ini? Kita semua bereskan atau bagaimana?" tanya Shido.
Namun dia memilih diam. Gufron berjongkok, menekan sekaligus mengecek denyut nadinya. Tapi tidak ada tanda-tanda bergerak. Dengan kata lain, keduanya menghembuskan napas terakhirnya. Akemi menggeleng kepalanya, membungkukkan kepalanya.
"Maafkan aku," katanya menitikkan air mata.
"Bukan salahmu, Akemi ... yang paling penting adalah cari orang-orang yang selamat dari pembantaian. Tidak peduli bayi, anak kecil, perempuan atau laki-laki sekalipun," kata Gufron sedikit meninggikan suaranya.
"Jadi—"
"Ya! Bantai mereka semua!"
Perkataan Gufron langsung teman-teman pada semangat. Baik Koichirou Yuuki, Rina Shirasaki Alternate, Yuuka, Akemi Sonoda, Shido Haneyama dan Goro Tsukishima menyerukan dan berteriak memanggil namanya. Gufron hanya sedikit tersenyum, menggeleng-geleng kepala.
"Hore! Dengan gini kita bisa jalan-jalan! Aku ingin ketemu dengan Hitler dan menyuruh membantai sekumpulan idiot!" ujar Koichirou nyengir
"Siapa yang kau maksud dengan idiot, dasar tukang idiot!" Sakurachi tidak terima dengan perkataan Koichirou.
"Sakurachi, jangan menghina tunanganku!" geram Rina Shirasaki Alternate.
Aisyah ingat betul orang tuanya tewas terbunuh. Sampai-sampai dia bertanya-tanya, siapa Ash. Dan kenapa dia mengklaim sebagai ayah kandungnya. Aisyah ingin bertemu orang tersebut segera.
Lalu ingatan kedua muncul. Tapi bukan tentang dirinya. Sebuah pecahan ingatan dari Gufron. Saat dia bertemu dengan Ash.
"Tunggu! Kau bilang orang tua yang kutemukan itu adalah penculik?"
"Ya. Menurut informasi dari bekas anak buahku, kedua orang tua itu kehilangan anak bayinya. Di makan oleh para monster berkat pengorbanan dari para warga. Akibatnya, mereka balas dendam. Dan berpura-pura menjadi orang tua Rebecca,"
"Lalu bagaimana bisa istrimu bersama mereka?"
"Waktu itu, istriku menemui kedua orang itu. Mereka mengklaim anakku sebagai anak mereka. Tapi istriku menolaknya dan mengunci pintu dari dalam. Saat itulah, para monster datang kemari,"
Gufron berpikir sambil menatap laki-laki bernama Ash itu. Apa yang dikatakan tidak ada kebohongan sama sekali. Malahan, dia penasaran apa ada sesuatu yang terjadi di dunia sana. Gufron menepuk kedua pundaknya.
"Terima kasih atas kejujuranmu. Kurasa dengan begini, aku bisa minta tolong kepada Aisyah untuk mengakhiri pertarungan sia-sia ini,"
"Sia-sia? Apa yang kau bicarakan?"
"Dulu ada mantan penumpang di kapal ini. Dia ... ingin memperbaiki masa lalu. Dia saat ingin bertemu dengannya untuk memperbaiki semuanya. Hingga akhirnya ... orang tersebut menyadari bahwa akulah di balik semua ini,"
Kata-katanya kelu. Tidak mampu mengucapkan lebih dari ini. Ash memahami hal itu dan pergi meninggalkan dia sendiri. Ketika Sakurachi ingin bertanya, Ash menyuruhnya untuk membiarkan hati dan pikiran dingin.
"Kenapa? Ada yang salah dengannya? Toh dia baik—" mata Sakurachi melihat Gufron sedang mengepalkan tangan kanan sampai berdarah.
Goro yang membawakan makanan, didorong oleh Sakurachi. Gadis berambut pink itu mengajak para kru lainnya untuk makan terlebih dahulu.
To be Continued