Chereads / Sagitarius Girl / Chapter 16 - Chapter 11. Berbaikan (Part 1)

Chapter 16 - Chapter 11. Berbaikan (Part 1)

Semenjak pertarungan antara Florensia dengan Aisyah berakhir, keduanya dijenguk oleh orang tua Aisyah. Meski demikian, tidak ada reaksi apapun dari Ratih. Sebagai orang tua angkat, Aisyah meminta maaf telah merepotkan orang lain. Termasuk Ratih dan teman-temannya. Setelah itu, dia dikunjugi lagi Rachel dan teman-temannya. Mereka kebetulan mempelajari ilmu dari ekskul PMR. Membantu luka pengobatan pada Florensia. Betapa terkejutnya ada sebilah pedang di sampingnya. Ketika Rachel ingin bertanya pada Aisyah perihal itu, dia menjawab. "Itu milik Florensia. Lambangnya Templar, ksatria terdahulu di era Kristen."

Rachel mencoba menyentuhnya, tapi tangannya terpental hingga mengalami kesetrum. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk menyentuh lagi.

Kepala Sekolah dicerca pertanyaan seputar ledakan barusan. Beliau berkata itu hanyalah insiden kecil akibat gas meledak. Kepala Sekolah menunjukkan buktinya. Fanesya dengan sigap membohongi public dengan melakukan apa yang dikatakan oleh beliau. Tentu saja para siswa dan guru dibuat panik. Lebih beruntung lagi, tidak ada CCTV melintas. Jadi untuk saat ini aman terkendali.

Dia memegang sebuah papan dengan tombol merah pada bagian tengah. Fanesya penasaran dengan alat yang dia pakai. Untuk berjaga-jaga, dia memasang pipa disertai lima jarum suntik, yang siap untuk ditiup. Cara itu memang terlalu kuno. Setidaknya terhindar dari senjata berbahaya seperti Aisyah maupun Florensia.

"Kira-kira apa ya akan kujadikan sebagai kelinci percobaan?" gumamnya dalam hati.

Langkah kakinya terus berjalan. Mengelilingi area sekolah santai. Belum termasuk para siswa dan guru berbondong-bondong ke sau area saja. Hasilnya, area lainnya jadi lengang. Betapa beruntungnya Fanesya bisa keliling tanpa ada banyak orang berlalu lalang. Bisa jadi hanya kesempatan inilah dia bisa berharap kala disbukkan dengan realita keras di mana-mana.

Muncul sebuah portal di depannya. Fanesya berlari sambil bersembunyi di balik tembok. Kedua matanya tidak lepas dari sebuah objek tidak jelas. Muncul seorang laki-laki bertopeng badut. Dengan santainya, dia berjalan tanpa keraguan sedikit pun. Sebaliknya, dia melambaikan tangan ke arahnya. Fanesya terkejut dengan tindakannya. Benar-benar sulit dipahami.

"Dia melihatku?" gumamnya dalam hati.

Kemudian, laki-laki bertopeng badut menghilang tanpa jejak. Fanesya hanya bisa melongo melihatnya. Berharap dirinya tidak salah melihat.

"Tidak mungkin. Apa barusan itu sihir?"

"Ya. Itu sihir," balasnya singkat.

Fanesya menoleh ke belakang. Dia melihat sosok laki-laki tenang. Perawakannya persis seperti digambarkan Aisyah. Laki-laki penuh misterius dengan tatapan dingin dan datar.

"Kenapa? Ada yang salah denganku?"

"Tidak … anda pasti Gufron kan?" tanya Fanesya kepada laki-laki di sampingnya.

Gufron tersenyum misterius. Dia berjalan melewati Fanesya. Memang benar yang dikatakan Aisyah ada benarnya. Dia bertanya-tanya kenapa bisa di sini. Dan juga, kenapa portal itu bisa dikatakan sihir masih menjadi misteri.

"Jika kau segitunya ingin belajar sihir, temui aku di rumah Aisyah," tawar Gufron.

Walau demikian, Fanesya masih berpikir ulang untuk memanfaatkan sihirnya. Tentu saja dari segi keamanan. Apalagi Aisyah dan Florensia sudah melakukannya di tempat umum semacam sekolah. Pasti akan mengundang banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

Fanesya ingat saat bertanya mengenai asal usul Aisyah. Tapi sampai sekarang dia tidak bisa menjawab. Yang dia ingat hanyalah bayi yang dibawa oleh Sakurachi dan Goro kemari. Jadi, Aisyah tidak mampu berkata apapun sampai beberapa hari lalu. Di mana dia menceritakan masa lalunya di mobil. Dengan wajah tersedu-sedu. Menekan emosi mendalam. Fanesya tahu betapa rapuhnya Aisyah ketika mendengar kisah itu.

"Seandainya saja dia ditemukan dalam kondisi mengenaskan, aku tidak akan bertemu dengannya. Mungkin dia beruntung punya teman sepertiku," ucapnya.

Rachel menghampiri Fanesya sibuk memikirkan sesuatu. Teman-temannya ikut bersama

dengan gadis itu. Fanesya menoleh ke Rachel.

"Fanesya, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Rachel.

"Bukan apa-apa. Aku sedang memikirkan keadaan Aisyah. Itu saja," katanya berbohong.

"Kalau Aisyah mah baik-baik saja. Ada ibunya kemari untuk merawatnya. Kata beliau, hanya ibunya diperbolehkan masuk ke dalam ruang UKS," katanya menjelaskan.

Tiba-tiba, Rachel mencengkram lengan Fanesya. Dia berbisik ke telinganya. "Katakan sebenarnya. Pedang yang ada di samping Florensia itu dapat darimana?"

"Terus terang aku tidak tahu,"

"Lalu saat kau bilang 'Itu milik Florensia. Lambangnya Templar, ksatria terdahulu di era Kristen.' Seketika aku mencari tahu di internet. Tapi tidak menemukan pedang di sejarah. Hal itu membingungkanku lho," katanya menggosok-gosok kepalanya.

"Jika penasaran, kenapa tidak bertanya kepada gadis itu? Toh dia akan memberikanmu jawaban," ujar Fanesya.

Bahu Rachel melemas. Kepalanya ikut juga. Seakan dirinya tidak memiliki semangat untuk menjawab. Dia bertanya hal itu kepada Florensia. Tapi mulutnya tidak mau berbicara. Bahkan tatapannya lebih menyeramkan dibandingkan Aisyah. Seketika, Fanesya menghela napas.

"Dasar keras kepala banget sih dia," keluh Fanesya.

"Betul sekali! Rasanya aku ingin menamparnya lebih keras! Kesal sekali!" kata Rachel tidak terima diperlakukan oleh Florensia.

Fanesya bingung harus bereaksi seperti apa di depan Rachel. Dia memasang muka senyum masam di depannya. Raut wajah Rachel cemberut melihatnya. Menghela napas keluar dari mulut gadis itu. Dia berjalan menyilang. Kemudian berbisik ke telinga Fanesya.

"Aku akan mencari tahu asal usulnya. Kau mencoba berteman dekatnya," bisiknya.'

"Tapi—"

"Aku tahu kok. Hanya saja … ada hal yang disembunyikan dari Florensia, walau seorang Templar sekali pun," kata Rachel berjalan meninggalkan Fanesya.

Sejak perkataan itu, Rachel tidak mau membicarakan apapun kepada Fanesya. Malahan, sikap mulai berubah dingin terhadapnya. Wajar saja karena Rachel masih kesal karena menyembunyikan sesuatu darinya. Saat bertemu dengannya, mereka tetap sapa. Hanya saja agak canggung dari sebelumnya.

Beberapa hari kemudian, Aisyah sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan untuk sekolah. Selama ini, dia mengurung diri di kamar. Membiarkan lukanya dirawat oleh Fanesya dan tidak mau dibawa ke rumah sakit. Alasannya karena tidak ada biaya untuk berobat ke sana. Walau memiliki BPJS sekali pun, tetap saja tidak akan berpengaruh.

"Aku berangkat ke sekolah dulu, Ma."

"Tunggu sebentar nak," ucap Ratih dari dapur.

Aisyah berhenti melangkah ke pintu keluar. Dia memutarbalikkan badan, menuju ruang dapur. Terlihat Ratih sedang menyiapkan bekal untuknya. Tidak lupa juga menaruh busur panah ke tas.

"Mama kenapa masukkan busur panah ke tasku? Ada apa gerangan?" tanya Aisyah.

"Memangnya tidak boleh ya?" tanya balik Ratih.

Gadis berhijab menggeleng kepala. Baginya, itu lebih dari cukup. Dia mengecup tangan Ratih dengan tulus. Kecupan tangan membuat beliau terkejut. Untuk kali pertama, Aisyah memperlakukan beliau dengan baik. Biasanya dia sering lupa akan tradisi itu. Terakhir beliau ingat saat Aisyah masih SD. Itu pun masih berumur 8 tahun.

"Kenapa tiba-tiba Mama dicium tangannya?" tanya Ratih.

"Memangnya tidak boleh ya, Ma?" tanya balik Aisyah.

Ratih hanya tersenyum kecil. Aisyah pun juga sama. Keduanya sama-sama tidak bisa menahan senyuman. Bagi mereka, kebersamaan tersebut dirasa singkat. Tapi baik Ratih maupun Aisyah sudah menjaga hubungan dengan baik. Bahkan keduanya sempat lupa akan pertengkaran antara Ratih dan Hartoyo dengan dirinya.