Pamannya tiba di Aceh 4 hari setelah meneleponnya dan turut membantu menyumbang tenaganya sebagai sukarelawan. Selama menjadi sukarelawan, Ayu dan pamannya sibuk tiap hari, Ayu membantu memotong sayuran dan menyiapkan makanan di bagian dapur umum sedangkan pamannya mengangkat korban yang yang sudah tak bernyawa terhimpit rumah, pohon dan bangunan yang kemudian dikumpulkan untuk pemakaman masal. Pekerjaan yang sangat melelahkan, pamannya tak terbiasa bekerja kasar karena ia seorang pengacara yang tiap hari pekerjaannya mengandalkan otak dan pandai bicaranya tanpa melatih otot-ototnya.
Waktu tak terasa hampir 2 minggu pamannya berada di Aceh, waktu cutinya hampir berakhir disebabkan pekerjaannya yang sibuk sehingga tidak dapat cuti lama. Mereka berdua masih ingin menjadi sukarelawan karena bersimpati atas musibah yang terjadi melanda Aceh, bahkan keluarga Ayu menjadi korban tsunami itu yang mengakibatkan Ayu masih ingin berada disana, apalagi mereka sudah menemukan jasad keluarganya dan ikut dikubur masal. Sebenarnya mereka ingin membawa jasadnya ke pemakaman dekat rumah, namun jarak jauh dan jasad sudah membusuk sehingga perlu segera dikubur, maka dengan berat hati menyaksikan penguburan keluarganya di tempat jauh.
Ayu ikut ke rumah pamannya di Bogor. Awalnya Ayu ingin tinggal dirumah lamanya, tempat dulu Ortu dan Saudaranya tinggal di Ibu Kota, namun karena pamannya tidak rela Ayu tinggal bersama pengasuh dan Ayu masih kecil yang butuh kasih sayang kerabatnya serta takut Ayu sedih teringat akan kenangan saat ortu dan saudaranya masih hidup apabila tinggal disana. Maka Ayu ikut Pamannya dan pamannya menjadi wali sampai Ayu dewasa. Pengurusan kepindahan sekolah Ayu diurus oleh Pamannya, namun Ayu tidak segera mulai sekolah. Ia masih berkabung dan akan siap sekolah pada ajaran masuk berikutnya dan kembali lagi masuk ke kelas 1. Pamannya khawatir dengan keputusannya itu, karena Ayu tidak naik kelas, namun dari sisi usia memang tidak telat karena Ayu dulu masuk SD di usia 5 tahun.
Namun, kekhawatiran pamannya tidak terjadi, setelah Ayu masuk sekolah ia tetap menjadi anak yang rajin belajar bahkan lebih taat dalam beribadah demi bisa mendoakan keluarganya yang sudah tiada. Ia menjadi lebih dewasa dibandingkan dengan anak seusianya. Lebih menurut diperintah oleh paman bibinya daripada kedua sepupunya yang nakal. Sepupunya bernama Zainal berusia 13 tahun bersekolah di SMP Negeri 5 Bogor, sedangkan adiknya bernama Liza berusia sama dengannya 6 tahun yang sama-sama akan masuk sekolah di SD Negeri Kebon Pedes 5 Bogor. Pamannya walaupun termasuk kalangan menengah atas, namun hidup sederhana dan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri.
Ayu menjadi bintang kelas disekolahnya, berteman dengan siapa saja dan gurupun menyayanginya apalagi gurunya mengetahui bahwa ia seorang yatim piatu. Sedangkan sepupunya Liza walaupun dirumah dididik oleh pamannya dengan hidup sederhana dan menjadi anak yang baik, namun disekolahnya ia bersikap sebaliknya. Ia menjadi ketua geng kumpulan anak-anak orang kaya dan cantik, sering membully anak-anak cupu, termasuk Ayu sepupunya sendiri yang di bully oleh gengnya. Sebenernya Ayu bisa melawan gengnya Liza, namun dia diancam kalau tidak menurut maka akan diusir dari rumah pamannya. Ayu takut, karena ia sudah menyayangi pamannya yang baik hati yang menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Maka ia telan saja apapun perlakuan Liza terhadapnya. Melihat Ayu yang diam saja, semakin lama perlakuan Liza semakin menjadi. Ia dihadapan orang bagaikan anak baik berhati malaikat, namun apabila tidak ada orang yang melihat, maka sifatnya berubah drastis.
Kakak sepupu dan bibinya pun begitu, namun tidak separah Liza. Kakak sepupunya yang bernama Zainal, hanya menyuruh Ayu untuk membereskan kamarnya saja, tidak ikut memarahi dan mencacinya namun tidak pula membela Ayu yang ditindas adiknya serta tidak memberitahu Ayahnya atas perilaku adiknya tersebut. Sedangkan bibinya menyuruhnya beres-beres rumah dan memasak padahal sudah ada pembantu, dengan alasan bahwa dia ikut numpang jadi harus tahu diri. Namun apabila ada Pamannya dirumah, mereka akan memperlakukan Ayu dengan baik layaknya anggota keluarga. Sayangnya waktu keberadaan paman dirumah sangatlah jarang, sibuk dengan jadwal pengadilan membela kliennya yang banyak karena pamannya seorang pengacara yang sukses, bahkan artis dan politikpun sering menggunakan jasanya dalam membela perkara mereka.
Gara-gara kesibukan pekerjaan pamannya, jadi tidak teratur pola makan sehingga terkena kanker lambung. Awalnya dikira penyakit maag sehingga minum obat maag yang beredar dipasaran tanpa konsultasi ke dokter. Awalnya obat manjur, tapi lama kelamaan tidak terasa apa-apa sehingga akhirnya periksa ke dokter. Dokter menyarankan untuk diperiksa lebih rinci melalui gastrokopi, namun berlanjut ke tes darah, tes tinja, USG perut dan CT scan, dan hasilnya terdiagnosis sebagai kanker lambung sudah stadium akhir dan sudah menyebar ke organ tubuh lainnya sehingga tidak dapat tertolong lagi.
Paman sudah pasrah menerima nasibnya lalu memutuskan untuk tidak menjalani kemoterapi dan prosedur kesehatan lainnya, hanya meminum obat pereda nyeri saja untuk menjalani sisa waktu yang ada. Dalam pekerjaan, ia masih bekerja namun memilih kasus mana yang akan diselesaikan sendiri dan kasus mana yang akan dilimpahkan kepada teman sejawatnya sesama pengacara serta tidak menerima kasus baru sehingga lebih banyak waktu dirumah bersama keluarga. Ia membuat surat wasiat untuk membagikan harta warisannya kepada ahli waris yaitu keluarganya termasuk Ayu sang keponakan yang sudah dianggap sebagai anaknya sendirinya.
Ketika Ayu berusia 13 tahun, Pamannya meninggal dunia. Saat itu, keluarga berkumpul di rumah mengelilingi pamannya yang berbaring di rumah menanti waktu ajalnya sehingga pamannya dapat berpamitan kepada keluarganya. Setelah pamannya meninggal, Ayu sudah dapat menerima kepergiannya, sebab mereka sudah berpamitan dan ia sudah berbakti menjaga dan merawat pamannya sejak pamannya jatuh sakit.