Hari ini masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang perubahan yang berarti kecuali satu hal, yakni aku ikut ke sebuah seminar yang tidak pernah gagal membuatku tidur. Seminar itu berjudul the phenomenon of the end? and consequences. Seperti yang kuduga, seminar itu hanya berisikan orang orang yang masih suka membahas tentang peristiwa 5 tahun yang lalu. Mayoritas yang datang adalah para orang tua dan lansia yang bertongkat bahkan berkursi roda.
"Penjelasan selanjutnya akan disampaikan oleh asisten saya, Rahl Hoff." Seorang wanita menunjukku dari podium utama yang berada di tengah ruangan.
Asal kalian tahu, alasanku terjebak untuk pergi ke seminar yang super duper membosankan adalah wanita ini. Namanya Alisha. Seorang ilmuan muda yang sangat tertarik tentang fenomena the end?. Namun bukan kecerdasan maupun title–nya yang membuatku ikut seminar ini, melainkan—
"Terima kasih, Professor Alisha. Penjelasannya akan saya lanjutkan," ucapku sambil melihat berkas yang kupegang. "Seperti yang telah dijelaskan oleh Professor Alisha, dunia telah berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah dibayangkan manusia. Insiden lima tahun yang lalu menjadi pemicunya. Segala bentuk logika menjadi tidak konsisten dengan fakta yang ada sebelumnya. Maka perlu pembaharuan dari segala isi tatanan kehidupan manusia. Maka Great United Nation telah dibentuk menjadi wadah baru untuk menggantikan Persatuan Bangsa – Bangsa (United Nation) yang telah runtuh ...."
Apa yang kuucapkan panjang lebar itu telah tertulis secara mendetail di berkas yang kupegang. Semua itu merupakan hasil dari penelitian Professor Alisha selama setahun ini. Bagi yang baru pertama sekali mendengarnya mungkin akan sangat tertarik. Namun bagiku—yang telah mengikuti sebanyak 20 kali seminar—terasa amat membosankan.
Setelah seminar itu selesai, seluruh pengunjung mulai pergi satu per satu. Aku pun mulai menyusun berkas yang ada di meja lalu kumasukkan ke tas sandang hitamku.
Sebahagian orang masih berada di depan meja Professor Alisha. Dilihat dari pakaiannya, mungkin mereka orang – orang dari media dan beberapa mahasiswa. Namun apa peduliku? Saat ini merupakan momen yang baik untuk merenggangkan badan setelah seminar yang membosankan itu.
Aku pun keluar mencari angin segar. Berjalan menuju lobi yang biasa kulewati. Yang kulihat di lobi ini hanya ada ruangan yang dipenuhi dengan orang – orang berpakaian seperti Professor Alisha. Sungguh pemandangan yang tidak mengherankan. Gedung ini disebut Knowledge Center. Pusat segala pengetahuan. Mungkin lebih tepat disebut sebagai perpustakaan modern.
Sudah lima belas menit berdiri di lobi sambil melihat sebuah mesin minuman yang ada di depan mata. Aku tidak kepikiran harus minum apa. Yang kulihat di mesin itu terdapat berbagai macam merek dan rasa. Ilerku turun hingga ke dagu. Buru – buru aku mengelapnya dengan lengan bajuku.
"Rahl!" Wanita itu memanggil.
Dia adalah Alisha. Wanita yang sangat mendedikasikan dirinya pada ilmu pengetahuan. Semua itu demi kepentingan dunia dan menjadi seperti sosok yang ia idolakan. Aku tidak tahu persis, tapi sosok tersebut adalah orang yang telah menyatukan dunia dalam satu meja bundar. Figur yang amat dihormati oleh dirinya.
Saat ia tiba di depanku, aku hanya memandangnya sinis. Namun, sorot mata ini tak membuat senyumannya itu menghilang.
Aku menyerah untuk melampiaskan rasa kesal yang tak beralasan dan menyapanya lebih dulu.
"Yo. Sudah selesai?" ucapku sambil melirik mesin minuman tersebut.
"Sudah. Terima kasih banyak ya, Rahl." Ada jeda dalam ucapannya, bibirnya yang tersenyum licik seolah mengerti tujuan utamaku. "Kamu mau minum apa, Rahl?"
JIAH!! Ini dia momen spektakuler yang sudah lama aku nantikan! Akhirnya! Akhirnya! Aku bisa memilih apa yang akan aku minum!
Gratis! Gratis! Gratis!
Bayangkan!
Ada Dr. Coke, minuman soda seharga 1 Dollar Earsyia.
Ada Pinky Strawberry , seharga 1.2 Dollar Earsyia.
Ada Black Coffee 3000, seharga 1.5 Dollar Earsyia.
Dan yang paling aku inginkan adalah Chocolate Space, minuman soda rasa cokelat seharga 2.0 Dollar Earsyia.
"Rahl …seka dulu iler itu," sela Alisha.
Perkataannya itu menyadarkanku kembali ke dunia.
"Mau pesan apa, Rahl? Dari tadi melongo terus."
"Aku pesan Chocolate Space satu."
Kemudian Alisha mengeluarkan dari dompetnya sebuah kartu yang saat ini disebut Account Card. Sejenis kartu debit ataupun kredit hanya saja segala jenis kebutuhan informasi personal sudah tertera di kartu tersebut. Sebut saja jika dahulu kita harus memiliki ktp, sim, kartu pelajar, kartu kredit dan lain sebagainya, maka Account Card sudah memiliki segala fungsi tersebut. Cukup praktis, 'kan?
Jari telunjuk Alisha menekan beberapa tombol di permukaan mesin. Kemudian meletakkan kartu di bagian pemindainya.
"Terimakasih telah berbelanja," ujar mesin yang sangat sopan.
Ya. Akhirnya rasa bosanku akan terbalaskan. Terima kasih Tuhan.
"Eh?" Aku melongo saat melihat sebuah botol minuman yang Alisha sodorkan padaku.
"Kamu tidak mau?" ujar Alisha.
"Eh? Alisha …bukankah tadi aku pesan Chocolate Space? Kenapa malah 'ini'. Kau tahu kan 'ini' ...,"
"Tentu aku tahu. Ini adalah Chocolate Space rasa air mineral alami langsung dari pegunungan—"
Hancur sudah. Dunia ini telah hancur. Setelah lelah bekerja aku hanya mendapatkan air mineral. Aku tidak bisa mendengarkan lagi perkataan Alisha. Semuanya menjadi buram. Sangat buram.
"Ini!" Sembari tersenyum, dia menempelkan sesuatu di pipiku.
Sensasi ini! Jangan – jangan!
Aku melihatnya!
Chocolate Space sungguhan! Luar dan dalam!
Segera aku buka botol itu dan meminumnya. Sensasinya yang mengalir di kerongkonganku begitu segar.
"Ya ampun, Rahl. Masih saja kamu seperti ini. Setidaknya kamu harus bisa mencari uang makan sendiri."
"Kamu tahu sendiri kan, Alisha. Dunia ini sudah berubah. Bahkan menjadi lebih buruk, kau tahu?"
"Bukankah menjadi lebih baik? Di mana semua hal mulai tampak jauh lebih indah dan benar – benar seperti dunia fantasi saja, 'kan? Seharusnya kita bersyukur," ucapnya sambil berpose layaknya ratu drama.
"Bagimu. Bagiku?" cetusku.
"Dasar …Super Duper NEET."
"Aku bukan NEET! Aku seorang Job-Hunter yang masih berkelana mencari jati diri keduanya."
"Apa bedanya dengan pengangguran. Seharusnya kamu bersyukur karena aku telah memberikan pekerjaan ini."
"Maksudmu menjadi asisten di seminar yang membosankan itu? Baiklah ...," Segera kuminum habis Choco Space dan melanjutkan ucapanku. "Mulai hari ini aku berhenti. Dan terimakasih atas traktirannya."
Aku pun beranjak meninggalkan Alisha. Tanpa melihat ke belakang sekalipun.
Setelah keluar dari Knowledge Center, aku langsung menuju Central Job yang berada di sebelahnya. Sebagai seorang Job-Hunter, tentu inilah hal yang harus kulakukan. Dengan gelar S1 Sejarah, pasti mudah bagiku untuk mencari pekerjaan.
Aku mulai mencarinya dari lantai satu.
Dicari Pekerja
Syarat Utama : Usia di bawah 25 tahun. Ganteng. Dan bukan manusia normal.
Melihat kalimat terakhir tersebut. Aku sudah tahu, ini bukan untukku.
"Oh …masih yang pertama. Belum yang kedua ...,"ujarku untuk memacu semangat.
Kemudian aku mencari yang selanjutnya.
Dicari Pekerja
Syarat Utama : Usia di bawah 25 tahun. Ganteng. Dan seorang esper.
"Ini baru yang kedua. Belum yang ketiga …hahahaha." Kalimat penyemangatku.
Dicari Pekerja
Syarat Utama : Usia di bawah 24 tahun. Ganteng maksimal. Dan seorang half-human.
Aku terus mencari dan mencari. Namun semuanya masih memiliki syarat yang sama, yakni 'bukan manusia normal'. Kenapa aku seorang manusia normal, sih? Sial!
Pencarianku sudah mencapai lantai ke 5. Melihat sekitar, mungkin toko di depanku merupakan toko terakhir yang ada di lantai ini. Dengan lesu, aku melihat tulisan di depan toko tersebut.
Dicari Pekerja
Syarat Utama : Usia di bawah 24 tahun. Manusia normal.
Melihat kalimat keduanya membuat semangatku berkobar. Kulanjutkan untuk terus membacanya.
Dicari Pekerja
Syarat Utama : Usia di bawah 24 tahun. Manusia normal. Berpendidikan. Sehat Jasmani. Dan yang terpenting dari yang terpenting adalah BANCI.
Bagai tersengat listrik, aku hanya melongo tatkala melihat syarat terakhir tersebut.
Banci? Berarti mereka butuh laki laki. Bagaimana ini? Seolah pikiran dan hatiku saling bermusyawarah tentang lowongan ini.
Pikiran berkata, "Ambil saja. Engkau kan bisa berpura – pura jadi perempuan."
Hati menjawab, "Ingat jati dirimu! Engkau pria tulen, bro."
Pikiran membalas, "Gak ada yang tahu kok kamu bekerja di sini."
Hati menegaskan lagi, "Ingat Rahl. Jika engkau masuk ke dunia itu, masa depanmu suram."
Pikiran menjawab, "Setidaknya engkau bisa hidup dan minuman Chocolate Space setiap hari, bro."
Sial! Kenapa aku bimbang begini. Sial sial sial!
Aku hanya terbatu, berpikir dalam semu.
Kemudian dengan menguatkan tekad, aku membuka pintu toko itu perlahan.
"Maaf, hati. Aku lebih memilih perutku ketimbang jati diriku," gumamku. "Selamat sia—"
Tiba tiba saja toko di depanku hancur lebur karena sebuah ledakan yang tak tahu dari mana asalnya. Ledakan itu membuatku terpental jauh keluar toko. Sambil mencoba untuk berdiri, aku melihat sesosok pria dengan pakaian layaknya penyihir. Jangan – jangan!
Tiba – tiba terdengar suara sirine yang sudah kukenal. Ini pasti Great Association.
Sial di saat aku telah menentukan pilihan yang sulit dalam hidupku.
Kenapa … oh kenapa?!
Lelaki tersebut dengan cepat mendatangiku. Kemudian di tangannya muncul semacam bola api yang cukup besar.
Ia berkata, "Hey. Ucapkan selamat tinggal pada duniamu."
Jauh di lubuk hatiku, mungkin ini yang terbaik. Ya. Ketimbang aku hidup seperti ini.
"Tuan penyihir, mohon bunuh aku," seruku dengan penuh kesopanan.
"Ha? Menarik. Baiklah akan aku kabulkan permintaanmu."
Bola api itu segera menjadi sangat besar dan panas. Aku hanya bisa memejamkan mata. Merasakan sensasi panas ini, pastilah aku akan menjadi debu seketika.
Namun, sensasi panas itu menghilang. Aku mencoba membuka mata. Kini yang kulihat adalah punggung seorang yang tidak asing kutonton di televisi.
Aku menggeretakkan gigi.
"Sialan kau!"
Pria yang ada di depan menoleh saat mendengar sergahanku.
Kemudian tanpa basa basi, aku langsung meninju wajahnya. Ia pun terpukul mundur ke belakang.
"Apa yang telah kau lakukan, sialan? Aku tadi ingin mati dan sekarang kau menyelamatkanku? Kau pikir kau hebat, hah?" Dalam keadaan emosional aku terus memarahinya. Dan ... hasilnya sudah kuketahui.
Aku dimasukkan ke dalam sel tahanan. Dengan tuduhan memukul salah satu hero yang cukup terkenal.
Aku hanya bisa terpaku. Mengingat – ingat yang telah terjadi.
Benar – benar dunia yang menyebalkan.
Earsyia. Dunia yang tidak membawa keberuntungan bagiku. Hanya karena menjadi manusia normal, aku tidak bisa memperoleh pekerjaan di mana pun.
Mereka selalu berkata, "Untuk apa aku memperkerjakan manusia normal sepertimu, kalau aku bisa mempekerjakan seorang penyihir, bahkan biaya operasionalnya lebih murah dari pada robot." Ucapan yang sejenisnya sering kali terdengar saat aku ditolak.
Benar – benar menyebalkan.
Hari – hariku tidak lebih baik dari sebelumnya. Malah semakin buruk karena aku hanyalah manusia biasa saja.
Mungkin jika diriku seorang penulis, aku akan membuat buku tentang dunia ini yang akan kuberi judul "Shitty World and Heroes".
Aku menjadi penulis? Yang benar saja. Seorang yang penuh keputusasaan sepertiku lebih baik lenyap ditelan sejarah.