Chereads / Danke / Chapter 5 - Posesive Boyfriend.

Chapter 5 - Posesive Boyfriend.

Sepasang manusia yang telah berkali-kali melempar ejekan serta mengolok-olok satu sama lain hanya karena game bola terlihat kelelahan, terutama Pelita yang lelah tertawa sampai ia melupakan waktu. Sekarang sudah pukul tujuh malam, harusnya ia sudah berada di rumah dan tak membuat Mona—sang ibu—khawatir, ia bahkan lupa memberinya kabar.

Gadis itu meletakan konsol di permukaan permadani, ia beranjak raih ransel yang tergeletak di nakas, meraih ponsel di sana dan kembali bersila di sisi Karang. Benar saja, cukup banyak notifikasi chat yang masuk ke ponsel, bahkan beberapa panggilan dari Mona, gadis itu sampai menggigit bibir.

Karang menoleh perhatikan wajah gadis yang lebih didominasi rasa cemas. "Mau pulang?"

Pelita menatapnya, mengangguk cepat. "Boleh, kan?"

"Sebentar." Karang beranjak hampiri lemari besarnya, meraih sebuah kaus serta celana jeans. Tanpa aba-aba ia meloloskan kaus hingga tubuh shirtless itu bisa dilihat Pelita tanpa sensor sedikit pun, belum lagi celana yang kini Karang loloskan tanpa ragu meski ada perempuan di kamar apartemennya, menyisakan boxer hitam sebelum ganti semua yang terlepas dengan semua yang ia ambil di lemari tadi.

Saat itu, Pelita membatu, bola matanya membulat seraya rasakan debar jantung yang mulai tak keruan. Bisakah Karang bertingkah normal di depan gadis yang baru saja menginjak lantai apartemennya hari ini, bisakah Karang menganggap ia ada di sana dengan tidak melakukan sesuatu sembarangan?

Zeus, kutuklah Karang!

"Gue antar sekarang," ucap Karang usai berganti pakaian, ia menatap Pelita seolah tak terjadi apa-apa, seolah yang baru terjadi adalah hal biasa. Gadis itu juga buru-buru alihkan pandang, untung saja otak warasnya tak berpikir macam-macam.

"Ak-aku minta air putih, ya." Pelita beranjak hampiri kulkas di dapur, mengeluarkan sebotol air mineral dingin dan meminumnya, ia butuh sekadar menetralisir hawa panas yang mulai menyerang bagian dalam. Bukan apa, tapi berlama-lama berada di dekat Karang benar-benar tak baik untuk kondisi bola mata serta jiwa yang sehat.

"Mau kan gue antar?" Laki-laki itu rupanya bersandar di sisi pintu, untung saja Pelita tak miliki riwayat penyakit jantung, tapi tetap saja, ia benar-benar harus menjaga jiwa raga saat di dekat Karang. Ya, meskipun Karang bukan pencabut nyawa, tapi setiap sikapnya cukup menjengkelkan dan tak bisa terbaca.

Pelita membuang botol kosongnya pada tempat sampah di dekat rak piring. "Nggak usah repot-repot, Kak. Aku bisa naik taksi kok."

"Nggak bisa, gue pacar lo dan wajib anter lo ke mana-mana, bukannya Ardo juga gitu?"

Ardo? Dia baru teringat laki-laki itu hampir seminggu ini tak pernah berhubungan lagi. Pelita memalingkan wajah, membuang helaan napas pasrahnya, ia yakin semua akan lebih sulit dari bayangannya.

"Jangan ngelamunin mantan," cibir Karang.

Mata Pelita mengerjap beberapa kali. "Siapa yang ngelamunin mantan, enggak tuh."

"Jadi lo benar-benar lupa sama dia? Gampang move on dong."

Pelita mengedik bahu, ia enggan menyahut sebelum melengos lewati Karang, masuk lagi ke kamar sekadar meraih ranselnya.

"Whatever, lo punya gue sekarang," ucap Karang terang-terangan, tak peduli dengan pikiran gadis itu saat ini. Ia melangkah hampiri pintu utama bersamaan Pelita mengekor di belakangnya. Namun, tepat saat Pelita berdiri di belakang Karang, menantinya membuka pintu agar mereka lekas lenyap dari sana, sosok tinggi itu tiba-tiba memutar tubuh, meraih pinggang Pelita sekadar memangkas jarak mereka.

"Ap—"

"Apa?" Karang menyeringai saat Pelita sibuk memberontak. "Kok gitu? Emang sama Ardo ngapain aja?"

"Nggak ada!" tukas Pelita bersamaan dekap Karang yang akhirnya terlepas, ia terkekeh hadapi sikap Pelita tadi, seperti orang ketakutan. Karang mengalah dan buka pintu, meraih tangan Pelita hingga mereka hampiri lift.

***

Mereka baru keluar dari lift setelah turun dari lantai lima belas, tangan itu tak lagi merangkum Pelita, tapi beralih posisi menjadi sebuah rangkulan di bahu. Nyatanya, Pelita langsung meluruhkan, kentara ia tak nyaman.

"Kenapa lagi, hm?" tanya Karang tanpa sudi mengalah, ia kembali merangkul bahu itu.

"Belum biasa, Kak. Aneh." Terkadang sebuah kejujuran memang menyakitkan, tapi lebih baik mengakui—setidaknya agar Karang mengerti.

"Aneh gimana, kan kita pacaran."

"Tapi aku nggak ngerasa gitu."

"Kenapa? Karena lo belum suka sama gue?"

Pelita bergeming, ia mati gaya. Ia tetap bersikukuh luruhkan tangan Karang dari bahu—meski tetap saja tak ada kata penolakan bagi Karang, mereka seperti ana kecil yang tak tahu caranya mengalah.

"Kak," ucap Pelita sesaat setelah mereka tiba di parkiran.

"Kenapa?"

"Bisa nggak aku minta satu hal, biarin aku sampai terbiasa sama semua. Maksud aku, Kakak jangan—"

"Suka-suka gue." Persetan dengan keinginan Pelita, gadis itu adalah milikinya, terserah ia ingin menyentuh apa dengan si tangan. Lucunya, andai Pelita tahu kalau perlakuan Karang pada Pelita serta Valerie sangatlah berbeda.

Tangan gadis itu mengepal, ia kesal setengah mati. Ternyata benar, bukan hanya namanya yang mengisyaratkan sebuah batu, tapi sikap serta pola pikirnya juga.

Karang membukakan pintu sisi kiri, membiarkan Pelita masuk dan menutupnya—barulah ia putari kap mobil dan duduk tenang di balik kemudi, perhatiannya tercuri sesaat begitu melihat Pelita hanya fokus pada ponsel seolah sesuatu menarik terjadi di sana. Namun, Karang mencoba bersikap biasa saja meski ia sedikit terganggu, ia mulai kemudikan mobilnya tinggalkan tempat itu.

Nyatanya, ketenangan Karang tak bisa berlangsung lama saat ia anggap Pelita benar-benar tak acuh dengan keberadaannya. Gadis itu masih sibuk otak-atik ponsel tanpa mengerti kalau kekasihnya sedikit geram—hingga akhirnya ponsel beralih genggam dengan cepat, Karang merebutnya tanpa aba-aba.

"Kok direbut, Kak. Balikin dong." Pelita berusaha merebut ponselnya, tapi berbagai gerakan juga percuma saat Karang bisa menepisnya dengan mudah seraya perhatikan jalan raya.

"Lo itu chat sama siapa, hm? Sibuk banget." Ia buka roomchat, kadar emosinya semakin naik saat melihat kontak bernama Ardo di sana.

"Sama—"

"Ardo? Hm?" Karang langsung menebaknya usai membaca beberapa pesan mereka. "Jadi lo mau ketemuan sama mantan lo, betul?"

Pelita terdiam, dia tak lagi merebut ponselnya, ia menunduk takut menatap mata tajam Karang kali ini. "Nggak." Sikapnya seperti kucing kecil yang patuh pada majikan.

"Terus ini chat apa? Lo masih sayang sama dia?"

"Kalau iya emang kenapa? Bukannya aku sama Ardo juga putus karena Kakak, kan? Kakak yang buat hubungan aku sama dia rusak!" cerocos Pelita yang tak bisa lagi menahan kesal.

Seketika Karang menginjak rem mendadak, membuat Pelita terlonjak ke depan saat ia lupa kenakan sabuk pengamannya.

Karang melempar ponsel Pelita ke penumpang hingga kekasihnya semakin sulit meraihnya. Kini bola mata Karang seolah menyala saga, otot-ototnya semakin menegang sebab emosi merangkak naik.

"Lo ngomong apa tadi, ulang!" hardik Karang.

Pelita memalingkan wajah, tapi Karang memiliki cara. untuk melumpuhkan gerak gadis itu, dia mendekatkan wajahnya pada Pelita dan membuat kepala gadis itu refleks mundur sampai menyentuh kaca, Karang curang! Pelita terjebak!

Jantung Pelita berpacu lebih cepat, perilaku Karang membuat syaraf motoriknya melemah, dia tak berdaya diperlakukan terus-menerus seperti itu, dia masih sangat kaku menghadapi Karang.

"Lo harus berusaha lupain Ardo, gimana pun caranya gue nggak mau tahu. Lo itu cewek gue sekarang, Pelita," bisiknya tepat di dekat telinga kiri Pelita, jika dilihat dari kaca depan mobil mereka seperti sedang berciuman.

"Aku butuh waktu, Kak," balas Pelita lirih.

"Gue mau, selama lo masih sama gue jangan pernah lagi sebut nama Ardo atau cowok lain, paham? Cowok lo cuma gue, Karang," tandas si batu.

"Iya."

"Benar? Kalau lo sampai sebut-sebut mereka apalagi jalan sama mereka, gue pastikan tangan gue bakal mendarat di wajah mereka. Gue nggak peduli apa alasan lo buat berhubungan sama mereka, yang gue tahu Pelita itu sekarang ceweknya Karang."

Pelita menelan saliva, mengangguk cepat. "Iya, Kak. Aku paham."

Setelah itu Karang bergerak mundur, ia kembali menghidupkan mesin mobilnya dan mulai melaju. Pelita hanya bisa diam sambil sesekali melirik Karang, ternyata Karang bukan sekadar keras kepala, tapi juga possesive.

Sepanjang perjalanan keduanya sama-sama bisu, sesekali Pelita menguap, dia masih bisa menahan rasa kantuknya itu sambil menatap ke arah luar jendela mobil. Suasana yang terbilang ramai, mobil Karang melewati area kaki lima dan warung tenda yang buka malam hari.

"Lo laper lagi?" Suara Karang baru terdengar usai bentakannya tadi, kali ini terdengar normal.

"Enggak, kalau aku laper tadi sisa burger udah aku habisin," balas Pelita tanpa menoleh.

Karang tak bersuara lagi, dia terus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, barulah ketika keluar dari area itu menuju pintu masuk tol—dia mempercepat laju mobilnya. Ketika Karang menoleh, gadis itu sudah terlelap dengan kepala bersandar di jendela.

Mobil Karang berhenti di belakang mobil lain yang antre di balik gardu tol, dia mendekati gadis itu sekadar membenarkan posisi kepalanya agar tak rasakan pegal saat terbangun nanti, kini kepala Pelita sudah bersandar pada jok mobil. Perlahan tangan laki-laki itu menyelipkan beberapa helai anak rambut ke belakang telinga, menatap wajah empunya terpejam lebih jelas seraya berucap, "Nanti lo bakal tahu kenapa gue kayak gini, maaf, ya."

***