Chereads / Danke / Chapter 8 - Video OSPEK.

Chapter 8 - Video OSPEK.

Jarum jam weker di atas nakas bergerak menghampiri angka sepuluh pagi, jendela geser yang terbuka lebar membuat tirai putih tulang tampak menari mengikuti ritme gerakan angin yang kini menyapa pemilik kamar itu, untungnya AC tak dinyalakan, jadi hanya desau angin yang kini menyejukan raga seseorang yang duduk pada sofa panjang di dekat jendela. Kakinya bersila seraya pangku sebuah laptop, ia tatap sebuah flash disk di tangan kanan seraya tarik napas panjang, untuk kesekian kali melakukannya lagi.

Kini Karang menghubungkan flash disk ke laptop, menampilkan begitu banyak file hingga ia meng-klik salah satu di antara deretan banyak file lain, tittle yang digunakan hanyalah sebuah tanggal, tertera sekitar enam bulan lalu. Ia menunggu sepersekian detik sekadar memantapkan benaknya untuk membuka isi file tadi sebelum telunjuk menekan enter.

Kini file berisikan video itu tampilkan seorang gadis yang kenakan rok lipit hitam selutut, kemeja putih dengan lengan yang dilipatnya hampir menyentuh siku. Dia tengah duduk di sebuah kursi dengan posisi paha kiri menumpu di atas paha kanan seraya memangku gitar, terdengar suara petikan gitar akustik bersama suara merdu yang mengalun sendu, sedikit melenakan.

Awalnya gadis itu hanya menunduk sambil memperhatikan permainan gitarnya, hingga kepala itu menengadah menatap orang-orang yang menontonnya di atas panggung. Karang jelas mengenali wajah kuarsa yang kini tersenyum pada orang-orang bersama bibir bersenandung, dia Pelita Sunny.

Karang mengambil video itu secara diam-diam saat acara pensi hari terakhir OSPEK Universitas Merah Putih enam bulan lalu, tiada yang tahu jika perasaan bersarang dalam benaknya sejak lama, memendam dalam diam hingga waktu yang diinginkannya benar-benar tiba meski cara memilikinya bukanlah sesuatu yang tepat.

Jangan berakhir, aku tak ingin berakhir.

Satu jam saja, kuingin diam berdua.

Mengenang yang pernah ada.

Jangan berakhir, karena esok takkan lagi.

Satu jam saja hingga kurasa bahagia.

Mengakhiri segalanya.

Tapi kini tak mungkin lagi,

Katamu semua sudah tak berarti,

Satu jam saja, itu pun tak mungkin,

Tak mungkin lagi.

Suara gadis itu membius suasana, membuat euforia keheningan tercipta saat mereka semua tampak hanyut dalam lantun nada. Sekali lagi, Karang masih bisa tersenyum usai mengulang video itu lagi, tak satu pun tahu selain Tuhan jika ia menyimpan video Pelita.

Ada rasa kesal yang kembali merasuk dalam relungnya ketika teringat masa lalu itu, harusnya dia mendapatkan Pelita sejak lama, tapi Ardo terlalu cepat merebutnya. Tanpa sadar tangan Karang terkepal kuat sebelum ia kendurkan saat tarikan napas panjang berembus pelan.

Hari itu, tepat ketika Ardo mendapat hukuman untuk menyatakan cinta kepada seseorang dan yang dipilihnya adalah Pelita, Karang juga menyaksikannya meskipun ia harus bersembunyi.

Ketika Ardo menghampiri Pelita yang duduk sendirian di tepi lapangan sambil minum sebotol air, Karang berada di belakang gadis itu—tepatnya koridor utama, niatnya menghampiri Pelita ia urungkan ketika Ardo datang, Karang bersembunyi di balik sebuah pilar dan mendengar semuanya dengan jelas.

Hatinya remuk saat Pelita mengatakan menerima Ardo dengan cuma-cuma hanya karena kasihan mendengar pengakuan Ardo yang pasti dihukum jika Pelita menolaknya, setelah itu semua pintu masuk bagi Karang benar-benar tertutup rapat setelah Pelita memberikan hatinya pada Ardo. Kata orang; sakit tak berdarah.

Drrtt! Drrt!

Karang merogoh ponselnya dari saku celana, ia menatap nama perempuan pada layar ponsel sebelum tempelkan benda pipih itu pada telinga kiri.

"Hallo, Val." Bola mata Karang masih berfokus pada gadis berambut ikat ekor kuda dalam layar laptop meski telinganya mendengarkan suara Valerie.

"Hallo, Sayang. Aku kangen banget sama kamu, tahu nggak ini lagi perjalanan pulang. Nggak jadi lima hari, seneng banget besok bisa ketemu kamu lagi, kamu kangen nggak sama aku?"

"Iya."

"Kamu lagi apa? Udah makan belum? Jangan keluyuran malem-malem ya, besok bisa jemput aku, kan?"

"Iya."

"Kamu di kampus nggak nakal, kan? Nggak macem-macem, kan?"

"Enggak."

"Oh iya, ini aku juga bawa oleh-oleh lho buat kamu, besok aku bawa deh. Semoga kamu suka ya, Sayang."

"Iya."

"Aku sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu." Panggilan itu berakhir, ia letakan ponselnya begitu saja tanpa beralih barang sedetik pun dari layar laptop. Valerie mungkin belum lelah menghadapi karakter Karang yang terkesan jarang bicara panjang lebar, selalu menjawab seadanya, bersikap dingin dan sering tak acuh terhadap keadaan sekitar. Lebih banyak diam bersama tatapan yang seringnya berfokus pada satu hal, ia tak pernah menyukai euforia keramaian orang di sekitar.

Ternyata melihat Pelita lewat layar laptop kurang membuat Karang puas, ia putuskan raih lagi ponsel dan hubungi nomor gadisnya. Ia cukup bersabar saat harus menunggu suara dering telepon digantikan suara seseorang.

"Hallo."

Karang mengulas senyum saat mendengar suara lembut gadis itu. "Lo di mana?"

Dalam euforia yang berbeda, empat orang gadis duduk melingkari sebuah meja yang tampilkan dua box pizza dengan topping berbeda, tak lupa empat gelas coca cola float bersama sebuah sedotan. Sebelum suara tawa serta pembicaraan teman-temannya terdengar oleh seseorang yang kini jauh darinya, Pelita beranjak tinggalkan mereka semua, menyingkir hampiri toilet, lagipula satu pun dari mereka tak ada yang tahu jika Pelita menjalin hubungan dengan Karang sebagai pihak ketiga yang disembunyikan. Biar saja, ia tak ingin menambah beban pikiran jika mendengar ceramah tiga gadis itu saat mengetahui semua, padahal bukan ingin Pelita.

"Hallo, Kak? Aku di rumah kok. Kenapa?" Ia berbohong, untung saja toilet benar-benar hening dan kosong.

"Nggak apa-apa, gue kira lo lagi hangout dan bohongin gue."

Perkataan Karang membuat Pelita mendelik, ia tatap pantulan dirinya di cermin sebelum tersenyum palsu seraya menerawang. "Enggak dong, aku di rumah kok. Lagi santai di kamar." Ia memutar bola matanya.

"Gue cuma mau bilang, besok nggak bisa jemput elo. Besok Valerie udah pulang, jadi maaf."

Bukannya kecewa, senyum Pelita justru merekah sempurna, ia melompat meninju udara sekadar merayakan kebahagiaan sederhana itu, jadi bisa Pelita pastikan sendiri kalau besok dan seterusnya tak ada quality time bersama Karang, yang ada hanya kehidupan bebas tanpa beban seperti biasanya. Sungguh dunia yang indah.

"Nggak apa-apa kok, Kak."

"Lo pasti senang yah besok nggak sama gue, hm?"

Pelita memutar bola matanya lagi, merasa seolah Karang bisa membaca isi pikiran riang gembira itu, tapi demi drama kebebasan yang akan ia dapatkan besok, Pelita tetap harus bersikap sebaik mungkin, menjadi kekasih yang sabar saat Karang putuskan waktu dengan Valerie, seperti kisah cinta segitiga pada sinetron yang sering dilihatnya di televisi. Hidup adalah panggung sandirwara, sederhananya.

"Aku harus jawab apa, Kak?"

"Selama gue nggak jalan sama lo, lo nggak boleh jalan sama cowok lain terutama Ardo, paham?"

"Iya, Kak. Aku nggak akan jalan sama cowok kok, santai."

"Ya udah gitu aja, tidur."

"Iya, Kak." Panggilan berakhir, Pelita pasang smirk menatap pantulan wajahnya pada cermin, ia memilin ujung rambut panjangnya saat memikirkan berbagai rencana yang perlu direalisasikan ketika ia menikmati hari kebebasannya. "Mau berangkat sama Valerie, kek. Emaknya, kek. Neneknya sekalian, bodo amat. Penting besok gue bebas!" Setelahnya ia keluar dari toilet seraya pamerkan rona bahagia pada teman-temannya, ia duduk di kursi semula seraya letakan ponsel di meja.

"Lo habis telepon sama siapa sih, Ta? Pakai masuk kamar mandi segala," celetuk Anggi penasaran, ia sesap coca cola float miliknya sebelum raih sepotong pizza.

"Sama papa," balas Pelita bohong, "kalau ngomong di sini nggak kedengaran, kan kalian semua berisik." Ia juga raih sepotong pizza.

"Kok kayak seneng gitu yah?" timpal Cinthya, dia duduk di dekat Anggi.

"Iya, habis dijanjiin apa sama bokap elo, Ta?" imbuh Kamila.

Pelita tersenyum senang, dia menatap temannya satu per satu. "Ada deh, namanya surprise ya gue nggak tahu dong."

"Kayaknya sih baru gajian si Pelita nih," terka Cinthya.

"Gajian? Kerja apaan gue?"

"Ngurus marmut gue di rumah," celetuk Kamila yang langsung mendapat tawa kecil dari teman-temannya.

"Sok tahu lo, Cin. Intinya besok kita bisa hangout lagi sepuas-puasnya."

"Tuh kan habis gajian, traktir dong, Ta," pinta Anggi.

"Gampang, yang penting kita habisin dulu ini semua, gue mau cepat pulang terus mimpi indah."

Andai saja mereka semua tahu bahwa kebahagiaan Pelita kali ini sama sekali tak mengacu pada uang bulanan dari sang ayah yang bekerja di Singapura, tapi lebih pada rasa senang seekor burung yang dilepas bebas dari sangkar emasnya dan bisa terbang sesuka hati ke mana pun ia mau.