"Makasih ya, La. Hati-hati di jalan," ucap Pelita sesaat setelah dirinya turun dari mobil Kamila.
"You're welcome cantik, gue pulang ya, Ta. Dadah ...." Kamila melambaikan tangan sebelum lajukan mobilnya tinggalkan tempat berdirinya Pelita sekarang.
Pelita memutar arah, dia turun tepat di depan pelataran sebuah toko roti dengan nama Mona's Bakery, itu milik Mona—ibu Pelita. Toko yang lebih mirip kafe itu telah lama berdiri sejak Pelita masih SMP dan berkembang cukup pesat hingga punya beberapa cabang, dan toko di depan Pelita adalah pusatnya, mereka juga memakai sistem out door bagi para pengunjung yang ingin menikmati kue sambil seraya rasakan suasana kota Jakarta dari rooftop gedung itu.
Pelita mengulas senyumn menyapa para pelanggan yang duduk di dalam sambil menikmati kue dan minuman hangat mereka, gadis itu mengedar pandang mencari seseorang. Sayangnya, yang terlihat hanyalah para pelanggan serta karyawan kafe, mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Ada etalase yang tampilkan cukup banyak varian kue, terpajang begitu cantik dalam bentuk yang memikat, kue yang paling sering dipesan pelanggan adalah varian cupcakes dengan topping buah, dan kue paling difavoritkan adalah cheese cake.
Pelita menghampiri kasir, meja kasir berada tepat di sisi kanan etalase, ia tatap karyawati yang berjaga di sana. "Mama di mana, yah?"
"Kalau nggak salah di rooftop, tadi saya lihat Bu Mona ke atas."
"Makasih yah." Gadis itu beringsut meninggalkan lantai satu, dia menapaki tangga menuju lantai dua—lebih tepatnya area rooftop sebagai tempat out door, tempat paling menyenangkan untuk pelanggan terutama saat sore tiba, mereka bisa langsung nikmati senja jika suasana matahari terbit tiba, belum lagi para pejuang foto selfie untuk tempat-tempat kongko para muda-mudi ibukota.
Setibanya di sana keadaan masih sama, hanya terlihat karyawan dan pelanggan, lalu di mana Mona berada? Pelita berkacak pinggang, dia melangkah perlahan melewati para penikmat kopi sambil menatap sekitar.
"Sayang?" ucap bibir seseorang seperti terkejut.
Pelita menoleh, senyumnya merekah dapati Mona yang berdiri di belakangnya. Wanita itu berusia sekitar empat puluh lima, berambut pendek dan memakai kacamata. Gadis itu bergegas rengkuh sang ibu. "Kangen," rengek Pelita, terdengar manja.
"Ah kamu, kayak di rumah nggak ketemu mama aja. Tumben ke sini, ada apa?" Mona melepas pelukan itu.
"Kangen sama apple pie buatan Mama, mau ya?" Pelita memasang puppy eyes yang begitu menggemaskan.
"Ya udah duduk aja dulu, mau ke bawah buatin apple pie ya, kamu di sini aja," pesan Mona.
"Oke, Ma."
Mona beringsut pergi sedangkan gadis itu memilah tempat duduk yang kosong, tepat sekali matanya menemukan meja kosong di pojokan sebelum ia menghampirinya, jika siang hari tempat itu sangatlah sejuk karena terus saja disambut oleh angin yang selalu lewat, belum lagi atap yang berkeliling di bagian tepi, tepat di atas meja kursi untuk pelanggan, jadi sinar matahari tak bisa menyentuh mereka dan hilangkan rasa nyaman.
Dia duduk di pojokan dengan senang hati, embusan angin yang sejuk langsung menyapa wajah cantiknya, Pelita menyandarkan punggung pada sofa, dia merasa begitu penat akan tugas kuliah yang bertumpuk hari ini. Tangannya meraba saku celana dan mengeluarkan benda pipih miliknya, ada beberapa pesan chat, saat ia buka hanya beberapa pesan dari teman-temannya.
Tak ada pesan dari Ardo, Pelita berharap laki-laki itu memang takkan mengirim chat lagi, tapi ia tak bisa menipu perasaannya jika masih peduli terhadap Ardo, pasti Ardo sangat marah ketika tahu Pelita menjalin hubungan dengan Karang. Itu semua bukan keputusannya, bukan kehendaknya, jika Ardo menghakimi Pelita semua benar-benar salah, pemicu semua benang kusut itu bukanlah dia.
Dia memilih memutar musik kesukaannya sebelum meletakan ponsel di atas meja, cukup bersyukur karena hari ini Karang takkan mungkin mengusiknya, dia pasti sibuk dengan Valerie sekarang, dia tak peduli dengan apa yang akan mereka lakukan.
Hingga dua puluh menit berlalu barulah Mona kembali, dia membawa piring ceper berisi tiga buah apple pie kesukaan Pelita serta segelas teh hangat khas dari toko roti itu. Pelita memang sangat menyukai apple pie, dia bisa menghabiskan tiga ketika menikmatinya, pantas jika Mona membuatnya lebih dari satu.
Mona meletakan piring serta teh di permukaan meja. "Ini, Ta. Maaf ya mama nggak bisa temenin kamu, ada beberapa pelanggan yang harus diurus dan karyawan mama lumayan kewalahan," ucap Mona terdengar mengecewakan.
Pelita mengela napas. "Ya udah nggak apa-apa kok, Ma. Jangan capek-capek."
"Iya." Mona berlalu pergi, anak gadisnya mulai nikmati makanannya dengan lahap, dia begitu menyukai lelehan selai apel yang lumer di lidahnya, sesekali Pelita mengulum bibir, membersihkan sisa-sisa selai.
Drrt! Drrt!
Kegiatannya yang menyenangkan terusik oleh sebuah chat yang masuk, Pelita meraih benda itu sambil terus mengunyah makannya. Ketika ia buka ternyata dari Karang, Pelita membacanya dalam hati.
Manusia batu :
Nanti jam tujuh gue tunggu di kafe Oliver.
Pelita langsung terbatuk setelah membaca pesan itu, membuatnya menjadi pusat perhatian para pelanggan. Segera dia meneguk teh hangat agar sisa kue di kerongkongan lekas meluruh, kabar yang Karang kirimkan benar-benar membuatnya terkejut. Seperti seseorang yang asyik menikmati semilir angin di tepi pantai, lalu terkejut saat badai tiba-tiba datang, padahal ramalan cuaca memperkirakan kalau takkan ada badai saat itu.
Pelita pikir hari ini, esok dan seterusnya dia akan bebas dari Karang selama ada Valerie di dekat laki-laki itu, nyatanya tidak benar. Masih saja Karang punya waktu untuk mengusiknya, sekarang ada apa di Kafe Oliver?
Pelita mulai mengetik pesan balasan.
Ngapain, Kak?
Ke sini aja, nggak usah banyak alasan.
Pesan balasan dari Karang membuatnya benar-benar kesal. Pelita membanting ponselnya di atas meja cukup keras hingga beberapa pengunjung sampai bisik-bisik melihatnya. Bisakah Karang membiarkannya tenang dalam sehari? Kedua tangannya mengepal kini terangkat seraya menggertakan gigi dengan gemas, ingin sekali memaki Karang dan mengumpat sesuka hati—jika saja ia punya nyali.
Pelita menghempas punggungnya ke sandaran sofa, dia melipat tangan di dada dengan bibir mengerucut. "Apaan sih Karang! Gangguin orang aja, gue pikir tuh hari ini bisa bebas tanpa gangguan dari dia, kan malem ini harusnya nonton sama temen-temen. Sialan emang!" gerutunya kesal.
Sekarang Pelita harus pula membatalkan setiap acara menyenangkan dengan teman-temannya, kenapa Karang tak seperti Ardo yang membebaskannya dalam hal pertemanan, entah itu laki-laki atau pun perempuan.
***
Pelita berdandan seadanya, lagipula dia tak ingin terlihat cantik di depan Karang. Justru Pelita ingin laki-laki itu menilainya tak menarik dan memutuskan hubungan mereka, dia mengenakan celana jeans warna hitam dengan lutut yang robek, t-shirt hitam yang dipadukan dengan jaket boomber warna merah muda. Pelita tak peduli jika penampiannya tidak cocok atau pun norak, dia akan senang jika Karang menilainya seperti itu.
Pelita tetap menggerai rambut panjangnya, dia duduk membungkuk di tepi tempat tidur seraya mengikat tali sneakers putihnya. Saat semuanya telah selesai, tubuh itu beranjak hampiri sebuah kaca yang menempel pada dinding, perlihatkan secara utuh bagian tubuh Pelita dari ujung kaki hingga kepala, ia menyeringai puas kali ini.
"Tunggu gue di sana, Karang. Gue jamin lo bakal sebel karena gue pakai baju nggak jelas kayak gini, boleh dong usaha dikit-dikit biar kita cepat putus," ucap Pelita pada pantulan dirinya, berharap usaha kecilnya sedikit mendorong Karang agar menjauh.