"Kok Pelita nggak pernah ke sini lagi yah, Ar?"
Seketika Ardo yang tengah menikmati roti bakar sebagai sarapan paginya terbatuk, pertanyaan itu terlontar dari bibir Sofi—sang ibu. Ardo memang belum katakan apapun perihal berakhirnya kisah cinta bersama Pelita, entah belum sempat atau memang tak ingin mengatakannya.
Buru-buru Ardo meneguk air putih di depannya hingga habis, untunglah air yang masuk ke rongga mulutnya berhasil meredakan kekacauan tadi, tapi bukan pada hatinya. Dia menatap sekilas Sofi, sialnya wanita itu tengah menatapnya dengan kening berkerut, jelas meminta jawaban.
Beda halnya dengan Iqbal yang sibuk menghabiskan secangkir kopi seraya membaca koran paginya yang telah diantar oleh tukang koran langganan. Seolah dia tak mendengar ucapan sang istri, ia juga tak mengidahkan perilaku aneh yang ditunjukan putranya.
"Ardo?" panggil Sofi lembut, tatapannya mendesak laki-laki itu untuk bicara. "Apa Pelita lagi sakit? Kok nggak pernah ke sini lagi," imbuhnya.
"Pelita lagi sibuk, Ma. Nanti Ardo usahain ngomong sama dia siapa tahu bisa ke sini," jawab Ardo bohong, dia tak punya keberanian mengatakan yang sejujurnya.
Sofi memang menyukai gadis itu, Pelita adalah gadis yang mudah berbaur dengan semua orang, meski dengan ibu-ibu sekalipun gadis itu mampu menanggapi cara mereka berbicara, Sofi juga mengenal dengan baik orang tua Pelita, dia salah satu pelanggan dari Mona's Bakery.
Beberapa bulan gadis itu berpacaran dengan anaknya, Sofi sudah bisa menyimpulkan jika Pelita adalah gadis yang baik, penyayang dan penuh perhatian, tapi selama dua mingguan ini gadis itu memang tak terlihat. Biasanya jika Sabtu malam Ardo akan membawanya ke rumah, membiarkan gadisnya lebih akrab dengan sang ibu. Namun, status mereka kini tak ubahnya hanya sebagai mantan.
Sebelum Sofi menanyakan hal lain yang membuat telinga Ardo panas dan kelimpungan memberi jawaban bohong, buru-buru dia menggendong ranselnya dan beranjak dari kursi seraya menatap Sofi dan Iqbal bergantian. "Ma, Pa, Ardo berangkat kuliah dulu," pamitnya lalu beringsut pergi.
"Jangan lupa bilang sama Pelita suruh ke sini ya, Ar," pesan Sofi.
"Iya," seru Ardo menggema dari ruang tamu.
Andai Sofi tahu bahwa permintaannya itu membuat Ardo merasakan pening, apa yang harus ia lakukan setelah ini? Pelita sudah bukan miliknya lagi dan tak mungkin gadis itu akan datang, alasan apalagi yang akan Ardo katakan pada Sofi nantinya, semua yang Ardo lihat terasa berputar di depan matanya, dia merasakan stres berat.
***
Begitu banyak kuis pertanyaan yang dosen ajukan pagi ini di kelas Pelita, tapi satu pun tak ada yang membuatnya mengangkat tangan untuk menjawab, bukan karena Pelita tak mampu menjawabnya, tapi pikirannya sedang berkelana jauh. Seakan dia tak mendengar suara di sekelilingnya yang berebut hendak menjawab kuis, euforia gaduh di sekitarnya seakan mati nyaris tanpa suara. Pelita lebih terlihat seperti manekin yang berdiri di antara jutaan orang lainnya.
Dia merasa kehilangan sesuatu dalam dirinya, dan setelah ia pikirkan baik-baik ternyata Pelita kehilangan rasa malu. Iya, dia memang tak punya rasa malu, berani-beraninya memacari kekasih orang lain. Pelita juga merasa tak punya harga diri lagi, orang jahat yang suatu saat akan menjadi residivis penghancur hubungan seseorang. Mungkin kalimat itu pantas jika ia tulis pada kertas dan ditempelkan pada bagian punggungnya, agar semua orang tahu siapa Pelita yang sebenarnya.
Drrt! Drrt!
Ponselnya bergetar mengacaukan lamunan panjang tak berujung barusan, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan benda pipih itu. Ada sebuah pesan chat dari Ardo, meski Pelita sudah menghapus nomor laki-laki itu tapi ia paham enam digit terakhir nomor Ardo, laki-laki itu belum pernah berganti nomor sejak mereka pacaran.
+6285***769967 :
Ta, tolongin gue.
Mama minta ketemu sama lo.
Gue nggak berani ngomong.
Segera Pelita mengetik pesan balasan tanpa memedulikan orang-orang yang masih sibuk mengangkat tangan seraya memberi jawaban, berharap mereka bisa lekas keluar dari kelas kali ini.
Oke, nanti kita bisa ketemu.
Setelahnya ia masukan ponsel ke saku, dia baru fokus menatap ke arah dosen yang tengah menerangkan sebuah jawaban dari kuis tadi. Pelita tak sadar jika ia melewatkan banyak hal.
***
Pelita keluar dari kelas dengan cukup tergesa, jika menyangkut Sofi baginya memang harus diutamakan, dia sudah menganggap wanita itu seperti ibu kedua yang selalu mendengar keluh kesahnya, tentang Ardo yang childish, tukang pamer, tukang balapan dan banyak kenakalan Ardo yang lain. Jika sudah begitu maka Sofi akan membela Pelita mati-matian, Ardo merasa tersisihkan jika Pelita datang ke rumahnya, tapi hal itu membuatnya senang. Bukankah setiap orang akan senang jika calon menantu dan calon mertua bisa akrab? Sayangnya mimpi sederhana itu telah lenyap.
Begitu sampai di gedung utara bagian kampus, tempat di mana jurusan IT berada Pelita menapaki tangga menuju lantai dua, memang keadaan begitu ramai, dia bahkan kehilangan pemikiran soal Karang yang akan marah jika tahu Pelita menemui mantan kekasihnya.
Kakinya masuk ke dalam sebuah ruang kosong, bukan sengaja kosong, tapi kelas yang ia datangi memang sedang tidak ada jadwal dosen masuk dan Ardo memang memintanya untuk datang ke kelas itu.
Terlihat Ardo yang duduk seorang diri di sisi jendela, dia yang sempat menyandarkan tubuhnya langsung duduk dengan tegak ketika melihat Pelita datang, Ardo menyugar rambutnya lalu melempar senyum semanis mungkin pada Pelita.
"Tetep nggak ganteng," celoteh Pelita asal, dia tahu maksud sikap Ardo tadi. "Jadi Tante Sofi kenapa?" tanya Pelita langsung pada inti masalah.
Ardo sengaja meraih tangan Pelita yang masih berdiri di dekatnya agar duduk. "Nanti patah tulang kalau berdiri terus, sayang dong," ujar Ardo bercanda.
"Kebiasaan, cepat bilang Tante Sofi kenapa?" desak gadis itu.
"Kok cemas gitu? Sama gue enggak?" Mata Ardo menangkap dengan jelas apa yang ada pada leher Pelita, perubahan drastis ekspresi wajah Ardo begitu terlihat.
Pelita yang menyadari hal itu menutupi bagian lehernya dengan rambut.
"Lo diapain sama Karang, hm?" Ardo langsung mengganti topik pembicaraan mereka.
"Diapain apanya? Gue nggak apa-apa kok," sahut Pelita bohong, ia mulai gugup menanggapi perilaku mantan kekasihnya.
"Baru pacaran sama lo beberapa hari udah main begituan, niatnya ngejaga apa ngerusak dia," cibir Ardo tak terima, memang kesalahan besar telah melepaskan Pelita untuk Karang.
"Dia nggak sengaja, Ar," bela Pelita. Dia hanya ingin Ardo tak berlaku macam-macam nantinya.
"Nggak sengaja gimana? Sini gue lihat." Tiba-tiba Ardo mengibas rambut Pelita ke belakang dan melepas plester penutup luka itu hingga semuanya terlihat dengan jelas, ruam merah kehitaman. Kedua alis Ardo bertaut, dia menggeleng melihat hal itu. Sedangkan Pelita merebut kembali plester yang masih dipegang Ardo dan menempelkannya lagi pada leher, dia takut ada orang lain yang melihatnya.
Ardo menatap iris cokelat Pelita lekat, dia menunjuk leher Pelita. "Jadi itu yang namanya nggak sengaja? Gue yakin lebih dari sepuluh detik, kalau cuma sebentar nggak akan lebam kayak gitu."
"Ar, gue nggak bisa ngapa-ngapain."
"Setelah ini apa, Ta! Dia tidurin elo! Gue nggak terima! Sekarang kita cari Karang." Ardo beranjak dan meraih tangan Pelita, memaksanya keluar dari kelas. Emosinya mulai tersulut, kenapa Karang harus perlakukan Pelita seperti itu, senakal-nakalnya Ardo dia takkan melakukannya jika Pelita tak mengizinkan.
"Ar, gue mohon jangan!" pinta Pelita sambil terus melangkah karena tangannya masih digenggam erat oleh Ardo.
"Karang harus dikasih tahu, Ta! Dia harusnya mikir!"
"Ar, gue mohon, nggak usah."
"Jangan ngebela dia, Ta. Gue nggak suka."
"Ardo! Gue mohon."
Ardo tak menggubris ucapan Pelita, gadis itu tak kehilangan akal untuk membuat Ardo berhenti. Dia ingat sesuatu yang selalu membuat Ardo berhenti jika hendak melakukan sesuatu yang salah. Pelita menarik tangan Ardo lalu memeluknya dengan erat, membenamkan kepalanya pada dada bidang laki-laki itu, jelas saja Ardo menghentikan langkahnya. Dia tertegun tak berdaya, Pelita memang hebat, dia ingat cara bagaimana menenangkan Ardo yang emosi. Ardo selalu senang jika merasakan detak jantung Pelita menempel dengan miliknya.
"Ardo jangan ke sana ya, demi Pelita," rayu Pelita dengan nada bicara yang begitu lembut.
Ardo bisa apa sekarang, jika bersentuhan dengan gadis itu membuat syaraf motoriknya melemah. Kini Ardo membelai lembut puncak kepala Pelita, lalu mengecupnya.
"Tapi nggak janji kalau Karang masih otak-atik elo, cuma Valerie yang boleh dia otak-atik. Lo itu masa depan gue yang tertunda, Ta."
Pelita mengulas senyum mendengar penuturan polos laki-laki itu, dia senang karena Ardo akhirnya mengerti.