Senyum Karang terbit untuk satu alasan, nama kontak yang Pelita berikan untuknya tampak konyol, tapi begitu berkesan. Manusia batu? Apa Karang benar-benar segila itu di mata kekasih barunya, ia duduk di balik meja makan seraya bergantian lirik Pelita yang sibuk mengurus sarapan paginya, ponsel gadis itu berada dalam genggam tangan Karang.
"Kenapa nama gue harus Manusia Batu? Emangnya nggak ada nama yang lain?" tanya Karang sambil terus mengotak-atik isi ponsel Pelita.
"Lho bukannya cocok yah," ujar gadis itu seraya membalik daging ayam yang tengah ia goreng, untung saja ada stok bahan makanan di dalam lemari pendingin, Pelita yakin jika Valerie benar-benar mengurus Karang, menyiapkan segalanya seperti seorang ibu rumah tangga—atau benar-benar calon istri masa depan mungkin.
"Cocok di mana? Gue ini manusia, bukan batu."
"Dengerin aku deh." Pelita menoleh padanya, apron biru membalut bagian depan tubuh ramping gadis itu. "Nama Kakak itu Karang, semua orang juga tahu kalau Karang itu ya sejenis batu di tepian pantai. Sayangnya Kakak malah manusia, ya udah aku namain aja kayak gitu, lucu, kan?" Ia terkekeh sendiri setelahnya, tak lagi menatap Karang yang semakin merona merah muda.
Lucu, gue anggap ini nama kesayangan, batin Karang senang, meski memang terdengar aneh.
"Terserah, lo mau kan seharian temenin gue di sini?"
Pelita menoleh. "Berdua?"
"Kalau maunya bertiga sih nggak apa-apa, dua lawan satu malah lebih seru."
Rasanya Pelita ingin melemparkan wajan penggorengan saat ini juga ke arah Karang, tapi ia masih bisa bersabar, laki-laki itu suka asal ceplos dan berakhir mengundang sedikit demi sedikit emosi Pelita.
Meninggalkan kekesalan yang berangsur mereda, Pelita mulai tiriskan sepasang paha serta dada pada piring ceper yang dilapisi tisu penyerap minyak, ia benar-benar tekun saat melakukan tugasnya tanpa memedulikan Karang yang masih sibuk dengan urusan ponsel Pelita.
Sesekali mata Karang melirik aktivitas gadisnya, dia sedang asyik main game online dari ponsel Pelita, Karang mengulas senyum ketika menyadari bahwa penampilan gadis itu sangatlah sederhana.
Pelita mengenakan celana jeans ¾ tanpa robekan di mana-mana dengan bagian ujung yang ia lipat serta sneakers putih, t-shirt putih yang dipadukan dengan kemeja polos warna merah muda dengan bagian tangan yang ia lipat hingga mencapai lengan, tak lupa Pelita mencepol asal rambutnya.

Pelita Sunny—gadis sederhana yang mampu membuatnya menunggu hingga enam bulan, mendapatkannya dengan cara yang tidak wajar dan harus menempatkannya pada posisi tersulit sebagai kekasihnya. Jika Karang bisa memberikan yang lebih baik untuk gadis itu pasti dia akan melakukannya, tapi belum saatnya, mereka baru saja memulai.
Pelita meletakan ayam goreng yang sudah tak beralaskan tissue itu di permukaan meja makan, ketika ia hendak pergi—tangan Karang lebih dulu meraihnya dan menarik Pelita hingga duduk di pangkuannya sekarang.
"Kak Karang!" tegur Pelita terkesiap, apalagi Karang sudah memeluk tubuhnya dari belakang.
"Apa? Nggak boleh? Kan cuma kayak gini, enggak lebih. Lagian lo itu pelukable banget, gue jadi doyan," ujar Karang terdengar menggelitik.
"Geli tahu!" Pelita berusaha melepaskan tangan Karang dari kedua pinggangnya, tapi terlalu sulit. Dia memeluknya dengan erat seolah tak ingin kehilangan gadis itu, memang benar.
"Kak! Aku mau masak!" hardik Pelita tanpa menyudahi usahanya. Karang sama sekali tak peduli, dia senang mencium aroma gadis itu, menenangkan. Bukannya melepaskan Pelita justru kedua tangan Karang mulai menggelitik pinggang gadis itu dengan gencar, membuatnya menggelinjang kegelian.
"Kakak! Geli! Nanti aku nggak bisa tidur!" tegur gadis itu sambil sesekali tertawa menahan ulah nakal Karang, ia merasa sangat terjebak.
"Bodo! Yang penting gue seneng." Karang tak mau menyudahinya, tubuh mungil Pelita bisa dikuasainya hingga gadis itu mengubah posisi duduk menghadap ke kanan—membuat kedua tangan Karang menangkup wajah Pelita, rasa geli di pinggangnya berganti momen canggung yang merajai, sungguh Pelita ingin akhiri detik-detik itu segera.
Keduanya sama-sama diam, kalau boleh jujur Pelita paling benci adegan ini. Di mana ia saling tatap dengan Karang sedekat itu tanpa batas penghalang, merasakan embusan napasnya yang hangat, lebih dari itu detak jantungnya berpacu lebih cepat, wajah Pelita terasa panas sekarang, mungkin Karang sudah merasakannya.
Bertolak belakang dengan Pelita, adegan semacam itu salah satu yang Karang suka. Mata Karang melirik leher Pelita yang masih tertempel plester, bekasnya memang akan hilang sedikit lama, paling tidak saat itu dia memberi tanda jika gadis itu adalah miliknya, tapi sayangnya tak bisa dipamerkan.
Wajah Karang mendekat, kemarin dia hanya bersentuhan dengan bibir merah muda gadis itu, tapi kali ini ia sangat ingin merasakannya, tidak apa-apa bukan? Gadis itu miliknya, tak perlu minta izin dulu agar bisa menciumnya.
Kini bibir mereka sudah bersentuhan, Karang menjebak posisi Pelita dengan terus menangkup wajahnya, keuntungan Karang kian bertambah sekarang. Gadis itu hanya diam tanpa memberi celah pada Karang untuk bisa menerobos masuk ke dalam bibirnya, dia mengatupkan bibirnya kuat-kuat, tak peduli dengan semua itu Karang melumat bibir Pelita dengan begitu lembut, teramat manis melebihi aroma parfumnya. Alhasil sentuhan itu membuat suhu tubuh Pelita naik, ia merasakan darahnya berdesir panas. Kedua mata Karang sama sekali tak terpejam, begitu juga gadis di depannya, mereka saling tatap saat salah satunya merasakan debaran jantung yang kian mengencang, seperti lari marathon.
"Buka," perintah laki-laki itu sambil terus melumat bibir Pelita.
Pelita menggeleng kuat, dia sama sekali tak ingin Karang bisa menerobos pertahanannya. Napas keduanya kian memburu, kini Karang makin liar dengan memancing gadis itu. Salah satu tangan Karang turun dari wajah Pelita dan menyingkap kemeja Pelita yang tak ia kancing, tangan Karang berusaha masuk lewat bawah tapi Pelita berusaha menahannya, Karang tersenyum miring.
"Buka sekarang, sekalinya kena nggak akan gue lepas," ujar Karang memperingatkan, tapi Pelita memang bebal tak mau mengalah, sekuat apa dia sekarang? Ketika tangan kanan Karang menyingkirkan tangan kanan gadis itu, sekuat apa pun Pelita dia tak mampu lebih dari Karang, tangan Karang mampu menerobos masuk ke dalam t-shirt Pelita dan mengusap lembut pinggang gadis itu bahkan menggelitiknya agar menyerah.
Pelita sampai menggelinjang akibat ulah Karang, dia mengalah dan membuka mulutnya, membiarkan lidah Karang bisa leluasa masuk dan bermain di sana, tapi tangan kanannya terus mengusap pinggang gadis itu dengan lembut, kini tangan kirinya juga meluruh dan menekan tengkuk kekasihnya.
Pelita mulai rasakan napasnya terengah, tak menemukan jalan keluar karena hidung mancung Karang juga menguncinya, Pelita memaksa terlepas tapi Karang masih ingin menikmatinya tanpa akhir, dia terlalu menyukai aksinya itu.
"Hmmph! Susah, lepas," erang gadis itu rasakan dada yang kian sesak.
Karang mengalah dan melepas ciuman itu, meski akal sehatnya menolak berhenti, tapi ia berusaha melawan anomali yang mencuat. Mereka saling diam, Pelita merasakan bibirnya terus berkedut, dia pernah melakukan hal itu dengan Ardo, tapi tak pernah segila ketika bersama Karang.
"Aku mau lanjutin masak," izin Pelita. Tanpa menunggu jawaban Karang, dia beranjak dari pangkuan laki-laki itu dan menghampiri lemari pendingin, mengambil sebotol air mineral dingin sebelum meneguknya seraya lirik Karang yang kini tatap jendela dapur, ternyata perang mulut itu membuatnya kehausan.
Pelita memang milik Karang.