Chereads / Danke / Chapter 23 - Mimpi.

Chapter 23 - Mimpi.

Sepasang eboni dengan pemilik yang tenang duduk di balik kemudi itu tengah mengawasi pergerakan seseorang di depan sebuah rumah elite, tangannya baru saja membuang puntung rokok keluar jendela mobil.

Dia tampak tenang, tapi tidak dengan pikirannya. Itulah aslinya Karang, bisa menyembunyikan kegelisahan dalam dirinya sewaktu-waktu. Wanita yang ia amati berusia sekitar lima puluhan, berambut cepak dan tengah bersua dengan suaminya yang akan berangkat ke kantor, wanita itu tampak membawakan tas kerja milik suaminya.

Karang hanya bisa diam sambil sesekali menghela napas, haruskah mereka sebahagia itu? Sedangkan dia? Bagaimana dengannya? Karang melajukan mobilnya melewati rumah itu, ketika ia menoleh matanya menangkap jelas bagaimana rona bahagia terpancar dari wajah sang wanita. Karang hanya bisa merasakan hatinya kian sesak setiap hari.

Tepat sebelum pintu keluar perumahan elite itu mobil Karang berhenti, dia kesal dan memukul dash board berkali-kali.

"Argh! Kenapa begini!" pekiknya tak peduli jika suaranya akan didengar orang-orang yang lewat, Karang kecewa.

"Karell di sini, Ma. Karell di sini!" Karang kembali memukul dash board, tak peduli akan selebam apa tulang jemarinya nanti. Emosi memang membutakan segalanya.

Karang menarik napas, dia menyudahi kekesalannya lalu menyugar rambut. Melirik arloji yang menunjukan pukul delapan pagi, harusnya sekarang ia menjemput Valerie, tapi tangannya masih enggan bergerak untuk mengemudi. Dia hanya diam sambil bersandar dan menatap ke depan, pikirannya terbang menghampiri masa kecil yang sudah terlewat.

Tiba-tiba dia berdecih, untuk apa mengingatnya lagi? Toh tak akan kembali.

Karang merogoh ponsel dari saku celananya dan mengetik pesan chat untuk seseorang.

Sunny :

Lo di rumah?

Nggak ada kelas?

Gue jemput.

Lalu send, barulah Karang mengemudikan mobilnya lagi. Terkadang ia ingin menghampiri wanita itu dan bertanya kenapa tak pernah mencarinya? Paling tidak menanyakan kesehatannya? Apakah seorang ibu sudah tak mungkin merindukan anaknya ketika ia sudah berpisah dengan suami? Atau memang Karang yang berpikir tidak logis, tidak juga.

________________

Pelita sudah menunggu Karang di depan rumahnya sejak sepuluh menit lalu, hingga mobil milik Karang muncul ia merasa lega. Ketika mobil Karang menepi di depan rumahnya dan si pemilik turun tiba-tiba menghampiri Pelita lalu merengkuhnya dengan erat, membuat gadis itu terhenyak bingung. Ada apa dengan laki-laki itu?

Pelita tak memberontak.

"Gue punya dua pilihan, dan gue berhak milih salah satunya. Gue pilih elo, Ta," ucap Karang sambil mengeratkan pelukannya pada gadis itu, dia meletakan dagunya di bahu kiri Pelita. Aroma lembut gadis itu menyerbu hidungnya, membuatnya tak ingin melepas apalagi melihatnya pergi jauh.

"Pilihan apa?"

Sebelum Karang menjawabnya ia lebih dulu menarik Pelita agar masuk ke dalam mobil, setelah mengitari mobilnya Karang duduk di balik kemudi dan memasang seat belt, lalu menatap Pelita sekilas. Gadis itu hanya diam menatap ke depan, Karang yang memperhatikannya menggangguk entah apa lalu mulai melajukan mobilnya.

Sepertinya Karang harus benar-benar tak ikut campur soal penampilan gadis itu, ia tetap saja memakai ripped jeans berlutut robek. Sepertinya Pelita sangat tidak peduli jika Karang akan mengomel atau protes semacamnya, itu gaya khasnya dan tak akan ia ubah.

"Kakak tadi bilang pilihan, pilihan apa?" Pertanyaan yang kembali terulang.

"Gue nggak tahu bakal hidup sampai kapan, kita ke Bandung yah?"

"Bandung?" Pelita mengerutkan kening. "Ke rumah ayah, Kakak?" Karang mengangguk. "Buat apa?"

"Gue mau lamar lo, gue mau minta persetujuan dia apa pun yang terjadi. Biar pun papa tetep paksa sama Valerie, gue punya pilihan."

Shit!

Kekonyolan macam apa yang telinga gadis itu dengar, ia bahkan tak pernah menganggap hubungan mereka serius.

"Nikah? Kakak nggak salah?"

Seketika kaki Karang menginjak rem, membuat mobilnya berhenti mendadak hingga penumpangnya terlonjak. Karang diam menatap ke depan.

"Kenapa pertanyaan aku nggak dijawab?" desak gadis itu. Ia tak tahu suasana kelabu tengah hinggap pada laki-laki di sebelahnya.

Karang menoleh. "Salah? Menurut lo gue salah kalau pilih salah satu, salah?"

"Aku tuh nggak pernah anggap—"

"Anggap apa, hm? Nggak pernah anggap gue nyata atau apa?"

"Kak!" hardik Pelita ikut terbawa emosi, "ini permainan macam apa sih! Kakak rencanain ini semua berapa lama, hm?"

"Gue tuh cuma mau hidup sama seseorang apa itu salah? Kalau gue pilih lo juga salah?"

"Nggak ada yang salah, Kak. Ini tuh aneh aja, kita berhubungan aja nggak jelas arahnya kenapa tiba-tiba Kakak mau nikahin aku? Gadis yang selama ini urus Kakak itu Valerie, bukan aku."

"Gue maunya elo!"

Karang melajukan mobilnya lagi, seperti orang kesetanan ia mengemudikannya dengan kecepatan tinggi. Membuat gadis di sebelahnya ketakutan, apa ini aslinya Karang? Ah, dia memang kasar.

"Kakak ngapain, berhenti! Ini bahaya, Kak!" tegur Pelita ketakutan, dia meremas seat belt kuat-kuat. Matanya menatap mobil-mobil di depan mereka yang berhasil Karang salip tanpa peduli umpatan sudah terlontar.

"Kakak mau mati yah!" celetuk Pelita kasar, alhasil Karang menginjak rem mendadak dan membuat gadis itu kembali terlonjak, untunglah ia memakai seat belt.

Kali ini Karang memukul dash board berkali-kali, tak peduli kulit tangannya mulai kemerahan. Suasana hatinya pagi ini sangatlah kacau, tak tentu arah dan tak punya kelemahan.

"Kakak kenapa sih! Kalau niatnya cuma ngamuk mending nggak usah bawa aku pergi, aku masih mau hidup!" maki Pelita tak suka melihat sikap ceroboh Karang.

Karang menyudahi aksinya, dia menatap Pelita dengan raut serius. "Apa selama hidup lo nggak punya mimpi, hm? Mimpi gue cuma mau hidup bahagia sama perempuan yang gue sayang, tapi dia malah nggak peduli dan anggap gue nggak ada, gue cuma mau bahagia, Ta."

Pelita menghela napas, ia mencoba mengontrol emosinya. Jika keduanya sama-sama hanyut dalam emosi hanya akan membawa bencana besar, apalagi Karang terbilang nekat dalam bertindak.

"Aku nggak tahu apa yang Kakak omongin, yang jelas aku nggak bisa nikah sama Kakak."

"Kenapa? Ada orang lain di hati lo, hm?"

"Bahkan sampai hari ini Kakak nggak masuk hati aku sedikit pun," aku gadis itu jujur, tahukah ia bahwa perkataannya mirip suara petir yang membelah langit. Ia berhasil mematahkan bagian tak terlihat dalam diri Karang, Pelita Sunny memang mimpi dan luka yang sama-sama merajai dirinya.

Karang melepas seat beltnya. "Kalau gitu biar gue akhiri sendiri, habis ini terserah lo mau ngapain."

"Akhiri apa? Kakak putusin aku?"

"Lo mimpi kalau gue putusin lo, gue mau mati!" Karang membuka pintu dan melangkah nekat menghampiri mobil-mobil yang berlalu lalang.

Pelita jelas tak bisa diam, akal sehatnya memaksa keluar dari dalam mobil dan berlari menghampiri Karang yang sedang gila, tak terkendali.

Karang mendekati sebuah mobil yang melaju kencang, tapi kedua tangan gadis itu lebih cepat meraih pinggangnya dari belakang dan memeluknya dengan erat. Gadis itu memejamkan mata sambil menyandarkan kepala pada punggung tegap Karang, semoga ia berhasil menyelamatkan napas laki-laki itu. Pelita hanya mendengar suara klakson mobil di mana-mana.

"Kakak jangan pergi, aku mau buka hati buat Kakak." Entah terpaksa atau tidak, yang jelas Pelita hanya ingin laki-laki itu tetap hidup, bukan mati konyol di tengah jalan.

Jika hati sudah memilih, ia sanggup apa?

Jika dunia sudah menentukan, ia mau lari ke mana?

Jika Tuhan sudah menunjuk, ia akan memberontak seperti apa?