"Nah, begini baru masakan calon istri yang enak." Ucapan itu entah pujian atau ledekan, yang jelas Pelita terusik.
Dia juga ikut menemani Karang memakan sarapannya, meski terdengar aneh, memangnya ada sarapan pagi pukul dua belas siang? Karang yang aneh, sekarang Pelita bisa menyebutnya makan siang.
"Calon istri? Bukannya sebentar lagi kita juga bakal putus yah, Kak?" sahut Pelita tanpa merasa bersalah, lidah memang tiada bertulang, jika Karang protes salahkan lidahnya.
Karang mengerutkan kening, dia meletakan sendok serta garpunya dengan kasar hingga terdengar bunyi yang khas, ia tatap lurus gadis yang duduk di sebrangnya sambil menikmati sarapan siang ala Karang.
"Putus? Lo mau putus dari gue setelah apa yang kita lakukan?"
"Kita? Ngapain, Kak? Just a kissing, come on!" Pelita membuat perkataannya terdengar mudah, ia tampak tak peduli.
"Jadi, lo maunya lebih dari itu biar lo nggak ngomomg mau putus-putus terus gitu? Kapan? Sekarang? Gue siap kapan pun lo mau."
"Please, Kak nggak usah berlebihan. Aku yakin kok sama kata hati kalau suatu saat kita pasti putus, kan Kakak punya Valerie seorang." Pelita makin ngelantur saat bicara, ia seperti tak mendengar alarm tanda bahaya yang berbunyi.
Karang mulai kesal karena gadis itu seperti mendorongnya agar pergi, melemparnya pada tempat yang ia tak suka meski masih terus bertahan di sana. Karang memang salah, harusnya posisi kisah cinta mereka tak serumit ini, dia ada di antara dua gadis tanpa bisa melepas salah satunya. Jika soal Valerie semua itu karena bantuan ayah Valerie kepada Gibran—ayah Karang, kedua orangtua itu sudah saling kenal dan jadi partner kerja ketika Oktaf—ayah Valerie masih bekerja di Bandung.
Karang hanya ingin berterima kasih pada Oktaf lewat Valerie karena sudah membuat bisnis Gibran kembali bangkit dan maju seperti sekarang ini. Hanya itu alasan Karang terus bersama Valerie, apalagi gadis itu tipikal gadis yang baik meski terkadang manja, Karang hanya ingin jadi manusia yang tahu diri dan punya rasa terima kasih atas jasa Oktaf kepada ayahnya.
Jika soal rasa, Karang tidak tahu. Ia nyaman-nyaman saja berada di dekat gadis itu, mereka bersama hampir dua tahun sejak pertama kali masuk Universitas Merah Putih hingga saat ini. Banyak yang mendukung hubungan mereka khususnya keluarga dari kedua belah pihak, tapi Karang yang sudah berusia 23 tahun memang belum siap untuk memulai komitmen serius lebih jauh, ia belum jadi sarjana dan bekerja, bukankah itu alasan yang pantas?
Jadi, jika Karang mengakhiri hubungannya dengan Valerie maka sama saja ia melukai hati banyak orang. Ada Oktaf, Valerie, ayahnya, keluarga masing-masing dan orang-orang yang mendukung mereka. Ia juga tak ingin melepas Pelita meski baru mengenal gadis itu selama enam bulan dalam proses mengamati, membidik gambarnya dari jarak jauh, mengamati sekelilingnya, ia tahu banyak hal tentang Pelita dan hubungannya saat bersama Ardo. Karang sulit mendapatkan dan juga akan sulit melepaskan.
"Kenapa lo mau putus dari gue, hm? Karena sikap gue yang mesum?" terka Karang tanpa canggung. Dia melihat Pelita yang menelan makanannya lalu meneguk air, gadis itu menatap piring yang berisi sisa makanannya.
Pelita menatap manik Karang lekat, "Itu jadi bagian salah satunya."
"Apa gue perlu izin?"
"Perlu."
"Enggak, karena gue jamin lo nggak akan mau."
"Nah itu tahu jawabannya."
"Pelita!" hardik Karang, kekesalannya kian merangkak menghampiri ubun-ubun, mungkin telinganya segera berasap sekarang.
Pelita diam, dia meletakan sendok dan garpunya, napsu makannya seketika hilang. Dia paling tidak suka dibentak oleh siapa pun, jika Ardo yang membentaknya paling tidak dia akan mendiamkan laki-laki itu dalam dua hari, membuatnya menyesal. Bukankah tak sopan membentak seseorang yang sedang makan?
Karang mulai sadar dengan keterdiaman gadis itu, dia tak bisa mengontrol dirinya tadi. Karang mendorong kursi ke belakang dan beranjak duduk di sisi Pelita, gadis itu hanya diam sambil menatap jendela dengan tirai yang terbuka.
"Maaf," sesal Karang.
"Iya."
"Ikhlas nggak?"
"Iya."
"Coba lihat gue."
Pelita menoleh dan mereka saling tatap, harusnya Pelita menghukum laki-laki itu dengan caranya seperti pada Ardo. Namun, dia tahu Karang punya lebih banyak cara untuk membujuknya.
"Satu hal yang harus lo tahu, gue paling nggak suka ditolak," ucap Karang serius, "gue nggak mudah suka, nggak mudah serius, jadi kalau gue sampai semau itu sama lo, artinya gue—"
"Serius?" Pelita langsung menerkanya.
"Lo udah tahu jawabannya."
"Kakak mau serius sama dua perempuan sekaligus? Itu gimana mikirnya sih? Kakak ngebelah dua?"
"Dua? Satu cukup."
"Terus Valerie apa? Ngapain juga seriusin aku." Ucapan Pelita seperti melempar sesuatu yang tak ia butuhkan, menghidupkan lagi kekesalan seseorang.
Tangan Karang terulur menyentuh dagu gadis itu, menegaskan bahwa gadis itu harus terus menatapnya.
"Cukup satu, itu lo."
"Aku? Kakak itu nggak pinter ngelucu, jadi jangan ngelucu karena jatuhnya bisa kaku," sahut Pelita tidak peka.
"Dengerin omongan gue, gue akan lepasin Valerie setelah lo sayang sama gue."
Mustahil! Emang yang mau sayang sama lo siapa?
Pelita mendengkus. "Terserah Kakak mau ngomong apa deh, makanannku kasihan nggak habis nanti." Pelita menepis tangan Karang yang masih menyentuh dagunya lalu mengambil garpu dan sendoknya lagi, dia melanjutkan makan penuh minat.
Bukannya menghabiskan makanannya, laki-laki itu tetap duduk di sisi Pelita sambil memperhatikan cara makannya yang begitu berhati-hati.
Pelita menoleh, dia sadar apa yang dilakukan oleh Karang. "Kalau dimasakin itu dimakan, Kak. Kalau dianggurin gitu lain kali aku nggak mau masakin lagi," oceh Pelita tak suka.
"Maaf, maaf." Karang beranjak kembali pada kursi sebelumnya.
"Lagian kenapa sarapan yang dibuatin Valerie nggak dimakan? Malah dibuang ke tempat sampah," cibir gadis itu, Karang pikir Pelita tidak tahu ada dua tangkup roti serta telur berada di dalam tempat sampah.
"Gue bosen, yang bisa dia buat cuma itu," kilahnya.
"Kak, mau makanan apa aja yang dibuat sama calon istri tuh dimakan, harusnya Kakak hargai usaha dia dong, kalau Valerie tahu makanannya dibuang emangnya nggak sakit hati," jelas gadis itu menasehati.
Calon istri gue tuh elo, Ta. Elo.
"Maaf." Hanya kata itu yang terlontar dari bibir Karang, dia melanjutkan sarapan siangnya dengan lahap, makanan dan tukang masaknya sama-sama mengenyangkan.
Pelita memang istri idaman.