Kaki jenjangnya baru saja turun dari sebuah taksi, sesaat setelah kendaraan itu pergi—tangannya melepas sebuah ikat rambut dari pergelangan tangan—sebelum membuat rambut panjang tergerainya menjadi sebuah cepolan. Pelita tersenyum miring, dia yakin tampil tak jelas hanya akan membuat mood Karang untuk menemuinya hari ini rusak, itulah tujuannya!
Kedua tangannya masuk ke saku jaket, dia memang terlihat begitu casual. Matanya bergerak ke segala sisi, tak pernah berharap akan menemukan Karang, lagipula setelah chat siang tadi Karang tak berkata apa-apa lagi dan Pelita takkan pernah sudi untuk mengirim pesan chat lebih dulu.
Beberapa saat tubuhnya tetap berdiri di sana, memperhatikan keadaan sekitar, di mana Valerie? Pelita bahkan lupa untuk memikirkan tentang itu, ah dia bisa menyimpulkan sendiri jika Karang mengajaknya bertemu maka takkan ada Valerie antara mereka. Harusnya dia muncul sebagai malaikat penyelamat Pelita malam ini.
Pelita mengembuskan napasnya, memantapkan hati serta pikiran di balik pintu yang terbuat dari kaca tebal. Dia masuk, memperhatikan keadaan sekitar, ternyata cukup ramai. Matanya berkeliling mencari sosok Karang, harusnya takkan lagi begitu. Namun, demi apapun Karang memang begitu merepotkannya sampai harus mencari sosok itu sekarang.
Tidak ada, Pelita berdecak, tak ada pilihan lain, dia memilih melangkah malas ke arah kursi yang kosong.
"Itu manusia mana sih? Apa udah berubah jadi Jin biar mata gue nggak bisa lihat?" gumam Pelita kesal, dia duduk seorang diri di pojokan kafe ketika orang-orang menikmati quality time mereka bersama pasangan. Ah ya, pasangan Pelita kan terbagi dua.
Seorang waitress datang, meletakan buku menu di permukaan meja seraya pasang senyum—sebagai sapaan bagi para pelanggan, hanya saja Pelita tak meraih buku menu tadi, ia justru menatap si pelayan seraya berkata, "Lemon tea aja deh, saya lagi nunggu teman."
"Baik, Mbak. Tunggu sebentar." Si pelayan beringsut pergi tanpa melepaskan senyum manisnya.
Pelita mengetukan telunjuknya di atas meja, dia menatap ke luar kafe yang hanya dibatasi kaca tebal, suasana kota Jakarta malam hari begitu terasa, lampu-lampu jalan belum merasakan kesunyian mereka karena angka baru bergerak ke arah tujuh, tapi tetap menjadi saksi bisu bagi lalu-lalang kendaraan di sekitarnya, perlihatkan siluet mereka yang bergerak cepat.
Gadis itu merasa bosan, dia ingin menghubungi Karang, tapi terlalu gengsi. Ada untungnya jika Karang tidak datang, dia bisa langsung pergi ke bioskop dan menonton bersama teman-temannya. Ya, harunsya sekarang Pelita sedang tertawa renyah dengan ketiga temannya, bukan di sini seperti orang hilang yang mencari keluarganya, seperti kambing congek.
"Ehem, selamat malam semua pengunjung Kafe Oliver yang berbahagia," sapa seorang MC kafe yang baru naik ke atas altar, sengaja didesign untuk para pengunjung yang ingin bernyanyi atau pihak kafe yang sengaja menyediakannya untuk menghibur mereka.
Pelita menatap malas ke arah panggung. Begitu juga para pasangan yang datang ke tempat itu malam ini, sepertinya hanya Pelita yang datang seorang diri, sial!
"Malam ini ada seseorang yang ingin bernyanyi untuk kalian semua, kita sambut sekarang. Karell!" Sang MC menatap seseorang pada pintu sebuah ruangan di dekat altar.
Dia masuk, seseorang yang disebutkan bernama Karell itu membawa serta gitar akustik miliknya dan melangkah dengan santai ke arah kursi yang disediakan, semua orang bertepuk tangan melihat laki-laki tampan itu.
Pelita tertegun pada posisinya. Dia hanya bisa melongo menyaksikan semuanya, Karell? Siapa itu Karell? Bukankah yang duduk di atas panggung itu adalah Karang dan bukan nama yang disebutkan oleh MC yang sudah menghilang itu.
"Dia ganti nama? Tukang nyanyi? Apa-apaan sih ini!" gumam Pelita gemas sendiri, bibirnya menggigit ujung kuku sambil terus memperhatikan aktivitas Karang di atas panggung rendah itu.
Telunjuk Karang mengetuk kepala mic beberapa kali, sekadar mengetes berbunyi dengan baik atau tidak. Dia memangku gitarnya dan menatap orang-orang sekitar, khususnya pada gadis berjaket pink yang hanya diam tanpa seulas senyum. Ternyata kejutan malam ini sama sekali tak berarti untuk gadisnya.
Ketika pelayan meletakan lemon tea di depan meja, Pelita pun ia tak peduli, entah kagum atau kesal—yang jelas tatapan Pelita terus mengarah pada sosok Karang, menghunjamnya tanpa kedip saat rasakan kebingungan mendominasi, ada banyak tanya bermunculan di kepala.
"Selamat malam," sapa Karang pada semua pengunjung kafe, wajah yang biasa dihiasi ekspresi dingin itu kali ini terlihat hangat dan ramah seolah bersahabat dengan suasana.
"Selamat malam," balas mereka kompak, hanya Pelita yang mengatupkan bibir. Kini ia bertopang dagu, memasang tampang malasnya seolah sudah bosan sebelum pertunjukan dimulai.
Karang menghela napas, dia mulai memetik senar gitarnya seraya sesekali menatap para pengunjung. Beruntungnya Pelita karena Karang tak memintanya naik ke atas panggung seperti kebanyakan orang yang punya kekasih, sekadar mengajak mereka menemani bernyanyi atau pamer pada semua orang kalau objek seseorang di sebelahnya adalah sosok paling disayang.
Dia menempelkan bibirnya pada puncak mic, bersiap akan bernyanyi.
Apa jadinya hati yang terbagi,
Diseparuh perjalananku,
Rusaklah sudah cinta putih ini,
Keinginan tiada sejalan dengan kenyataan hidup.
Betapa kupasrahkan hatiku,
Betapa kumencintaimu,
Tapi apa yang kauberi untukku,
Kautukar semua dengan luka, dan kesakitanku.
Semua orang tampak menikmati nyanyian Karang, bahkan ada juga yang merekamnya. Sedangkan Pelita tetap diam tanpa melepas tatapannya pada laki-laki itu.
Lagu buat diri sendiri itu mah, batin Pelita.
Khianati, sebisa dirimu mengkhianati.
Karena kelak kupastikan kelak kaumohon aku,
Untuk kembali padamu lagi.
Jadi ini yang dimaksud Karang? Datang ke Kafe Oliver dan menyaksikan dia bernyanyi dengan lagu yang lebih cocok untuk dirinya sendiri, Pelita tersenyum miring, terlihat meremehkan. Dia ingin beranjak, .tapi Karang terus menatapnya, seolah lagu itu ditujukan pada gadisnya. Namun, sama sekali tidak. Lirik lagunya saja sudah terdengar berkhianat, yang sedang melakukan hal itu adalah Karang sendiri.
Ketika Karang menyelesaikan lagunya—semua orang bertepuk tangan, termasuk Pelita meski melakukannya dengan ogah-ogahan. Karang meninggalkan panggung.
Gadis itu bernapas lega, akhirnya penampakan sudah menghilang di depan matanya. Dia meneguk lemon tea itu hingga habis.
Drrt! Drrt!
Pelita merogoh ponselnya dari saku celana, sebuah chat masuk yang membuatnya sampai memutar bola mata, ada kesal tertahan di dada.
Manusia batu :
Kalo udah kelar minumnya cepet keluar, gue mau pacaran.
Pelita berdecak, ada-ada saja mau Karang. Bukannya menghampiri gadisnya lebih dulu—malah menunggu di luar kafe, seperti benar-benar takut hubungan mereka diketahui banyak orang. Pelita sendiri mengalah, ia keluarkan uang dari saku sebelum meletakannya di bawah gelas lemon tea tadi, ia beranjak keluar dari kafe meski masih dengan tampilan rambut yang sama; dicepol. Dia masih terus meyakinkan diri kalau Karang pasti akan sangat kesal dengan penampilan yang terlihat norak baginya itu, semoga saja.