Saat gumpalan kapas putih masih menggantung di angkasa, sebuah mobil baru berhenti di area parkir, pengemudinya turun bersama sosok perempuan yang duduk di kursi penumpang. Seperti janji Valerie kemarin malam kalau ia akan kembali, wujud perempuan itu sudah terlihat di area parkir kampus pagi ini, tangannya langsung memeluk pinggang Karang begitu mereka turun, membiarkan semua orang memperhatikannya.
Karang tak acuh, ia terbiasa dengan segala tingkah laku Valerie jika bersamanya, entah itu bermanja-manja, atau sengaja mencari perhatian dari orang lain dengan menggunakan bahan paling menarik seperti Karang. Keduanya tinggalkan area parkir menuju koridor utama, hal yang paling disukai Valerie adalah ketika fokus semua orang tertuju pada mereka, menjadi inti pemandangan paling menarik di setiap kehadirannya, ia tetap merangkul pinggang Karang seolah memberitahu penghuni kampus kalau laki-laki itu adalah miliknya, mutlak.
"Kita sarapan dulu ya, kamu kan nggak mau sarapan tadi di rumah aku," ujar Valerie seraya tatap laki-laki yang fokusnya masih mengarah ke depan, lurus dan dingin.
"Iya."
Penuh semangat Valerie menarik kekasihnya menuju kafetaria, kebetulan suasana di sana benar-benar ramai oleh penghuni kampus lainnya. Ada Pelita CS juga meski sesuatu yang empat gadis itu nikmati hanyalah hal sederhana, masing-masing segelas teh hangat serta beberapa snack yang penuhi permukaan meja, empat gadis itu sibuk dengan urusan ponsel masing-masing tanpa menyadari kehadiran primadona kampus serta pangerannya.
Sejak Karang menghubungi Pelita semalam dan mengatakan harus menikmati waktu bersama Valerie, senyum gadis itu tak pernah pudar, ia merasa sudah mimpi indah semalam. Pagi ini saja tawanya begitu renyah ketika bercerita dengan teman-temannya, dia sampai tidak sadar jika kekasih back street-nya telah datang, memperhatikannya seraya berdiri di sisi Valerie, tubuh Karang memang bersama Valerie, tapi hati serta pikirannya terus mengacu pada Pelita.
"Lo udah balik, Val?" tanya seorang gadis yang kebetulan berpapasan dengan mereka di ambang pintu kantin.
"Udah dong, kan mau jagain Karang," balas Valerie terdengar angkuh.
"Iya tuh, kemarin-kemarin nggak tahu tuh ngilang ke mana."
"Ngilang?" Valerie menatap Karang dengan kening berkerut, ingin rasanya Karang menyumpal mulut gadis yang sudah mengadu pada Valerie tadi. Namun, Valerie enggan memusingkan, ia tarik Karang sampai mereka temukan meja kosong, duduk di sana.
"Maksud dia tadi, kamu ngilang ke mana?" tanya Valerie yang masih penasaran.
"Nggak ke mana-mana, aku di apartemen aja selama kamu nggak ada."
"Benar? Ya udah aku pesenin makan dulu ya, kamu di sini aja." Lekas Valerie beranjak, hampiri beberapa stand makanan yang berjejer rapi di bagian tepi kafetaria.
Karang masih fokuskan mata pada Pelita yang asyik tertawa dengan teman-temannya tanpa peduli suasana sekitar, mereka paling berisik satu kantin. Karang berharap Pelita akan menoleh dan menatapnya, tapi semua itu tak kunjung terjadi hingga Valerie kembali.
"Tunggu aja ya, aku udah pesen makanannya kok," ujar Valerie setelah duduk, tak ada jawaban dari Karang. Sudah biasa, seseringnya Karang bersikap tak acuh seperti itu. Kesabaran Valerie memang tak bisa diragukan lagi, jika ia cengeng dari dulu pasti hubungannya dengan Karang sudah berakhir sejak lama.
Tanpa sengaja Anggi mendapati Karang yang menatap ke arah mereka berempat.
"Eh! Kalian tahu nggak, Kak Karang lagi lihat ke arah kita tuh!" celetuk Anggi, alhasil ketiga temannya langsung melihat ke arah Karang termasuk Pelita yang baru sadar sudah ada sosok itu juga di dalam kantin.
Ketika semua teman Pelita menatapnya, Karang diam tanpa melirik mereka satu pun, ia masih setia pada gadis itu. Alhasil, kini Pelita yang merasa kurang nyaman, dia menggendong ransel kecil yang berada di atas meja seraya beranjak tanpa melepas tatapannya pada Karang.
"Guys, gue mau ke toilet dulu ya. Tiba-tiba kebelet," kilah Pelita, sengaja setelah merasa benar-benar tak nyaman berada di sana.
"Lho, buru-buru amat, Ta. Baru juga ngobrol-ngobrol cantik," sahut Kamila.
"Maaf deh, cuma sebentar kok." Pelita beringsut pergi, terlihat jika Karang kecewa, dia terus menatap kepergian Pelita yang akhirnya menghilang dari kantin.
"Pelita!" seru seseorang ketika melihat gadis itu melangkah terburu-buru di koridor kampus, Pelita seakan tak mendengar dan terus melangkah tanpa berani menoleh ke belakang.
"Pelita!" Laki-laki itu menarik tangan Pelita dan membuatnya menoleh, ternyata Ardo.
"Ta?"
Pelita hanya diam, tiba-tiba rasa tidak nyamannya hilang, tapi kening mengernyit saat dapati tangannya masih digenggam Ardo. "Lepasin tangannya, Ar. Gue nggak mau ada yang lihat," ujar Pelita.
Enggan mengidahkan ucapan mantan kekasihnya, Ardo justru lebih nekat saat ia selipkan jemari Pelita di antara buku-buku jarinya, menggenggam erat tangan gadis itu seolah masih memilikinya—tanpa ia sadari kalau Pelita dimiliki orang lain.
"Dulu bukannya kayak gini yah, Ta?"
Pelita menghela napas, bagaimana dia harus menjelaskannya sekarang kalau mereka saja sudah beda alam, beda urusan dan beda hati.
"Lepasin deh!" paksa Pelita.
"Kenapa? Kan udah lepas dari semingguan ini, emang pegang tangan aja nggak boleh, nanti nama lo bukan lagi Pelita, tapi pelit!"
Pelita ingin tertawa, tapi masih bisa menahannya. Masih saja Ardo seperti itu, mengatainya pelit jika hal yang Ardo minta darinya selalu tak pernah dituruti.
"Gue cuma mau lo baik-baik aja, Ar. Jadi lepasin tangannya."
Ardo mengulas senyum. "Ciye, yang peduli sama mantan. Gagal move on yah? Sama dong, balikan aja yuk!"
Pelita diam, andai apa yang diinginkan Ardo semudah dulu ketika ia mendapatkan Pelita. Namun, tidak untuk saat ini, semuanya terasa berbeda, Pelita harus melawan kata hatinya. Dia tak boleh berhubungan lagi dengan Ardo, dia ingin Ardo baik-baik saja tanpa menjadi incaran Karang.
"Ardo."
"Iya, mantan. Kenapa?"
"Lepasin tangan gue." Masih saja Pelita memohon.
"Lo baper yah pegangan tangan sama mantan, kayak jedug-jedug gitu, kan? Gue kangen sama Pelita Sunny yang cerewet, masih cerewet nggak sih?"
"Nggak gitu, Ar. Intinya tuh kita udah nggak berhak lagi kayak gini, kita udah beda," ujar Pelita.
"Beda apanya? Lo masih utuh, lo masih sayang kan sama gue, Ta? Apa karena lo udah punya—" Ardo menatap curiga pada Pelita. "Jadi lo beneran pacaran sama Karang, hm?" Ekspresinya langsung berbeda, kadar percaya dirinya menurun.
"Bukannya itu yang lo mau, bukannya lo yang udah lepasin gue buat dia!"
Seketika Ardo melepaskan tangan Pelita, dia melangkah mundur sambil menggeleng tak ingin mempercayai pengakuan gadis itu. Memang apa yang Ardo inginkan? Sebuah lelucon? Bukankah ia inti awal dari semua masalah yang tercipta.
"Nggak mungkin lo sama dia, gue nggak percaya, Ta. Bilang sama gue kalau lo bohong, Ta."
Pelita menggeleng, menatap Ardo datar. Tiba-tiba saja Ardo memukul pilar di dekatnya berkali-kali, melupakan emosi yang akhirnya membuncah. Gadis itu menghampirinya dan menarik Ardo agar berhenti. "Jangan, Ar jangan!"
"Kenapa!" bentak Ardo, tatapan teduhnya sudah berubah jadi mata elang dengan alis menyatu.
"Gue nggak mau kalau lo—"
"Kalau apa! Kalau gue terluka, tapi emang lo udah buat gue luka, Ta! Tangan gue mati!"
"Apa gue sengaja buat lo luka, Ar? Gue nggak sengaja bahkan gue nggak berniat, tapi semua itu keputusan lo, lo tinggalin gue, sekarang siapa yang lebih jahat?"
Ardo menggeleng, dia tak menyahut ucapan Pelita dan beringsut pergi. Ardo sadar, semua salahnya, sejak awal dia yang memulai semua luka itu, dia juga yang meninggalkan Pelita untuk diberikan pada orang lain. Ardo pikir posisi Pelita sekarang mudah? Tidak sama sekali, dia sudah menjadi gadis simpanan orang lain, dan semua itu kesalahan Ardo mutlak. Jika Ardo merasa ia menjadi korban, maka omong kosonglah yang tercipta.