Chereads / Danke / Chapter 53 - Gagal.

Chapter 53 - Gagal.

Pelita terbelalak setelah masuk ke dalam kamar dan mendapati begitu banyak kelopak mawar merah bertebaran di permukaan ranjang, belum lagi begitu banyak lilin ditata seperti jalan dari ambang pintu menuju ranjang. Jika Pelita terhenyak, beda halnya dengan Karang yang begitu santai menanggapi, ia justru bersemangat melepaskan jas hitamnya saat memasuki kamar.

Ini kenapa banyak beginian, mau tidur apa mandi kembang sih? Batin Pelita menelan ludahnya, ia mulai merinding saat kedua tangan Karang memeluknya dari belakang, menyandarkan dagunya di bahu kiri sembari mengecup pipi Pelita.

"Kamu siap?"

Pelita makin mendelik. "Ng ... aduh!" Tiba-tiba ia meremas perutnya seraya membungkuk dan memasang ekspresi kesakitan.

Karang segera melepas pelukannya, "Kamu nggak apa-apa, Ta?" Ia juga terlihat khawatir.

"Ini deh kayaknya."

"Apa? Kena maag?"

"Bukan, kebanyakan makan rujak kayaknya."

"Ng ...." Pikiran Karang dipenuhi tanda tanya. "Kapan makan rujak, kok aku nggak tahu?"

"Masa harus kasih tahu sih, aku ngupil juga harus kasih tahu kamu? Makan rujaknya dua hari yang lalu."

"Terus sakit perutnya sekarang?" tanya Karang memasang raut polos, ingin sekali Pelita tertawa melihat hal itu, tapi bukan saat yang pas sebab niatnya mengerjai seperti dianggap serius.

"Iya, nggak sinkron, kan? Aku beresin dulu ya." Pelita tersenyum masam, lantas melangkah menghampiri kamar mandi dan menguncinya dengan rapat. Barulah di kamar mandi gadis itu menatap cermin wastafel dan tertawa tanpa suara, menertawai kebodohan Karang.

Syukur, emang enak dikadalin. Ini kan cuma cara buat bohongin dia aja, mending mandi, batinnya seraya melepaskan gaun pernikahannya hingga benar-benar naked.

Sedangkan Karang yang terlalu percaya dengan akal bulus istrinya kini memilih keluar dari kamar. Karang mengamati setiap ruang dari rumah yang baru mereka tempati setelah menikah. Rumah yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri setelah menabung cukup lama dari gaji menjadi seorang fotografer. Karang bersyukur mulai sanggup berdiri di atas kakinya sendiri, dia selalu ingat saat Valerie menghinanya bahwa Karang tak bisa hidup tanpa uang dari Gibran. Lihatlah sekarang, ia sudah bisa membeli rumah mewah dua lantai di sebuah komplek yang cukup strategis. Sebuah jaminan untuk memulai masa depannya dengan Pelita.

Ia masuk ke ruang keluarga, menatap beberapa pigura yang ditata olehnya dengan rapi pada tembok, yakni foto kebersamaannya dengan Pelita, keluarga serta anak-anak penderita cancer. Betapa menyenangkannya hidup di bumi saat orang-orang yang disayangi bersedia merentangkan tangannya untuk bersandar kala lelah datang, betapa bahagianya hidup di bumi saat orang yang dicintai selalu mendukung cita-cita besarnya. Karang selalu bersyukur atas setiap napas yang masih berada dalam tubuhnya hingga hari ini.

Ia meraih salah satu pigura, ada foto ia dan Pelita bersama anak-anak cancer di sana. Senyuman-senyuman kecil itu apakah masih bisa ia temui esok hari? Apakah mereka semua masih ada untuk bertahan dan bertanya; Apa kabar Kak Karang?

Menyayat bukan?

Sudah sebulan Karang tak datang ke sana karena sibuk mempersiapkan pernikahannya, ia janji pasti akan datang, membuat mereka yang berjuang dengan kesakitannya sedikit ingat bahwa senyum adalah kenangan, kenangan yang tak bisa dijumpai lagi saat Tuhan meminta milik-Nya untuk kembali.

Karang menghela napas, ada sesak yang tertahan tiap kali mengingat mereka, ia meletakan lagi pigura pada tempatnya. Karang melangkah menghampiri dapur, ia menguap dan begitu lelah. Kebetulan belum ada IRT yang dipekerjakan, jadi semua perlu dilakukan sendiri. Karang membuka pintu kabinet di tembok, ia menegadah seraya mengambil tempat kopi hitam, dengan cekatan menyeduh kopi sendirian. Setelah jadi—baru ia duduk sesaat di sana, mengamati segala yang ada di dekatnya, apa pun yang ada di dalam rumah adalah dekorasi Karang sendiri.

Setelah kopi diteguknya hingga habis, barulah ia meninggalkan dapur, menapaki tangga yang di sisi tembok, di sepanjang tembok pun banyak pigura menempel, kesan rumah seorang fotografer benar-benar melekat di sana.

Saat Karang membuka pintu kamar, ia cukup terkejut karena lilin serta kelopak mawar itu sudah tak ada lagi, dan Pelita sudah terlelap di permukaan ranjang berbalut selimut dengan nyenyak.

Pasti dia capek, gue nggak mungkin maksa, batinnya lantas menghampiri Pelita, dia mencium kening istrinya dengan lembut, mengamati wajahnya yang setiap hari akan selalu ia lihat sebagai manusia pertama kala Karang bangun pagi, setelah itu barulah Karang masuk ke dalam kamar mandi guna membersihkan diri.

***

Tangan Karang meraba sebelah kirinya meski mata masih terpejam, saat tangannya tak mendapatkan sesuatu yang ia inginkan, barulah mata itu terbuka lebar, ia beranjak dan menemukan Pelita tak ada di sebelahnya.

"Jam berapa sekarang? Udah berangkat kuliah?" gumamnya seraya turun dan memakai sandal, ia menggucak mata lantas membuka pintu, aroma roti bakar menguar membaui indra penciumannya. Karang menuruni anak tangga hingga tiba di dapur, ia menemukan Pelita yang sibuk dengan toaster di permukaan panel.

"Pagi, Sayang," sapa Pelita kala menyadari kehadiran suaminya, ia sudah bangun sejak pukul lima dan mandi tanpa mengusik Karang, tentu saja hal itu akal bulusnya demi menghindari anu-anu dengan Karang, padahal mereka sudah menikah, tapi Pelita seperti ketakutan.

"Pagi juga, udah wangi aja." Karang memeluk Pelita dari belakang, mencuri ciuman di pipi kirinya.

Pelita tersenyum, "Namanya juga istri, kalau aku nggak bangun pagi nanti siapa yang urus kamu?"

"Ah, iya. Udah sah yah?" Karang melepas pelukan itu, lantas menarik kursi dan duduk sebelum ia meneguk susu putih yang disediakan Pelita.

"Anterin aku ke kampus bisa, kan? Lagian kamu masih cuti lima hari ke depan."

"Kapan kita honeymoon?"

Pertanyaan Karang membuat Pelita yang semula sibuk mengoles roti dengan mentega kini meletakan sendok kecilnya.

"Aku nggak tahu, aku masih sibuk ngampus. Kamu juga banyak kerjaan, kan?"

"Tapi, aku masih cuti, Ta. Lima hari ke depan mau ngapain?"

"Aku juga sibuk di kampus. Maaf." Pelita merasa bersalah karena tak bisa memenuhi keinginan Karang.

Ada raut kecewa, tapi Karang berusaha memahami keadaan. "Nggak apa-apa, weekend kita bisa jalan-jalan. Sini duduk, yang mau kuliah masa enggak sarapan."

Akhirnya Pelita duduk di sebelah Karang dan mulai menikmati sarapan pagi mereka, berdua. Biasanya yang dilihat adalah Mona, sekarang sudah beda. Apa Mona juga merasakan keadaan yang sama? Sesuatu yang terbiasa ada tak lagi terlihat.

Pukul delapan mobil Karang sudah keluar dari komplek perumahan, meski sudah menikah dan berstatus sebagai istri orang, kebiasaan Pelita dalam hal penampilan tetaplah seperti dulu—yang selalu casual dengan ripped jeans robeknya, ia terlalu mencintai benda itu sampai harus di bawa ke dalam lemari barunya. Toh, Karang tak pernah mempermasalahkannya, itulah Pelita yang selalu ia kenal, apa adanya.

Gadis itu juga memakai almameter warna navy karena kebetulan Pelita menjadi salah satu senior OSPEK, Karang merasa deja vu, ia jadi ingat lagi saat baru mengenal Pelita masa OSPEK; yang mau dihukum mengumpulkan batu hanya karena sebuah bolpoin.

Tiba-tiba kedua sudut bibir Karang tertarik, perempuan di sebelahnya jadi mengerutkan kening.

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Pelita.

"Matanya ada dua."

"Nggak jelas."

"Nanti, kalau di kampus jangan lirik-lirik cowok, apalagi junior yang baru masuk."

"Aku enggak gitu, kok. Kamu kali, model kamu kan cantik-cantik. Kayaknya aku juga kalah." Pelita memutar bola matanya.

Karang mendengkus, "Masa iya, sih? Bukannya semestaku udah berpusat di kamu?"

"Sejak kapan kamu pinter ngerayu."

"Ardo yang ajarin, dia kan suka ngerayu pacarnya kalau di rumah."

Pelita manggut-manggut, mobil terus melaju di jantung kota Jakarta yang mulai padat dengan segala aktivitas pagi hari, dan menghindari macet adalah sebuah kewajiban. Untungnya Karang hapal terobosan yang bisa mereka lewati agar lekas sampai di kampus.

Lima belas menit berlalu, barulah mobil hitam itu menepi di depan kampus. Keduanya lantas turun, Karang menarik Pelita dan merangkul pinggangnya dengan possesive di depan banyak orang, khususnya para junior yang memandangi Pelita sejak gadis itu turun dari mobil, mereka pikir Karang tidak tahu.

Hingga tiba di depan kelas Pelita, barulah Karang menurunkan tangannya dari pinggang sang istri, meski banyak mahasiswa di sekitar mereka tetap saja Karang pamer kemesraan dengan mencium kening Pelita.

Syaiton!

Mentang-mentang udah nikah!

"Kamu hati-hati ya, nanti pulangnya aku jemput, kalau ada yang macem-macem langsung bilang. Aku meluncur ke sini," pesan Karang.

"Oke, kamu mau ke mana habis ini?"

"Panti cancer, lama nggak lihat mereka."

"Aku mau ikut dong."

"Kamu kuliah, Ta. Kelarin kewajiban kamu."

"Ah, iya maaf. Hati-hati ya."

Cup!

Sekali lagi, Karang menambah panas suasana setelah mengecup pipi Pelita di depan banyak orang.

"Bye," ucap Karang seraya melangkah pergi dengan santai, tak peduli bagaimana orang lain akan iri padanya.

***