"Kok nggak seneng gitu sih beb pacarnya dateng?" respon Wijaya santai, masuk saja terus tanpa permisi. Untuk cara berbicara yang sepertinya kesal sekali hanya karena melihatnya ... ah, Jay tahu doinya selalu begini selama 67 hari kebersamaan mereka. Jadi dia lempeng saja, desisan itu tak berimbas apa-apa dan manusia berbalut kemeja putih berlogo dua huruf C saling caplok itu ... tetap melenggang santuy ke arah meja Cakra.
Di depan Cakra dia bersedekap sejenak, memandangi pria biasa saja di depannya lamat-lamat sebelum tersenyum miring. "Jangan pasang tampang kayak gitu, cepet tua lho," komentarnya di tengah seringai. Dan ketika Cakra makin menekuk keningnya, tunjukkan gamblang ekspresi tak suka, Jay tergelak. Berikutnya tanpa ada yang menduga, dia meletakkan sebuah tumblr ke atas meja Cakra dan mendorongnya ke arah si lelaki berema hitam itu setelah membuka tutupnya.
"Lu suka jahe kan, gua muter-muter tadi cari itu," kata si Wijaya santai sambil menikmati ekspresi Cakra yang terkejut (atas apa yang dia bawakan) serta kebingungan (dari mana Wijaya mengetahui informasi minuman favoritnya yang ndeso ini). Jujur, bagi Wijaya, semakin kau mengenal Cakra ... kau akan tahu manusia plain ini lucu sekali. Mukanya selalu jujur, responnya tanpa dusta.
... tidak seperti 'mereka'.
"Kamu—"
"Ndang (lekas) diminum," dua kalimat terlontar dalam satu waktu. Wijaya sedikit terkejut melihat Cakra membalas ucapannya dan sedikit kecewa ketika melihat lelaki berkemeja polos itu menutup mulut. Kebiasaan, dia pasti mendahulukan orang lain lagi. Oh, Wijaya sudah membaca banyak testimoni pertemanan Cakra dengan banyak orang pun sudah mengamati track record lelaki ini sampai hapal diluar kepala.
Akhirnya, tak menunggu Cakra, Wijaya merubah posisi berdirinya menjadi setengah duduk, pantatnya naik ke atas meja, sementara tangan menjulur ke piring kecil dan mencomot anggur, selagi bibirnya kembali bersuara, "ndang (lekas) diminum jahenya, mumpung anget." Kemudian bahkan sebelum bibirnya menutup, Wijaya melemparkan anggur dua biji dan mulai menguyah. Iya, dia langsung makan saja tanpa bilang permisi. Agaknya dia seolah sedang di rumah sendiri.
Perilaku kecil tak beradab yang membuat penilaian Wijaya di mata Cakra terjun bebas, anjlok. Mengesalkan! Tidak menghargai yang punya!
Menggemeletakkan gigi tak suka, Cakra kembali berdesis, "kamu benar-benar tak punya sopan santun, Wijaya," nadanya rendah, menantang.
Sesuatu yang seketika membuat Wijaya menghentikan gerakannya. Serta merta dia melupakan manisnya anggur di lidah, menurunkan tangan. Netra jelaganya bergeser, dari melihat ke jajaran piala di atas lemari jadi ke muka Cakra. Dalam diam dia memandang Cakra. Sedetik, dua detik, dia tunggu perubahan ekspresi keras sarat kebencian di sana. Lima, tujuh, delapan detik ... tidak ada. Meski Wijaya memberikan dia pandangan tajam, Cakra masih sama, berikan tatapan tak mau kalah.
Menarik.
"Hee ...," adalah apa yang Wijaya lempar beberapa detik kemudian, sambil mengambil tisu di meja Cakra dan memakainya tanpa permisi, lagi. Setelah tangannya bersih, pelan dia membawa tubuhnya mencondong di atas meja. Lalu satu tangannya meraih dagu Cakra, mengapitnya kuat, memaksa lelaki kalem di sana bertemu pandang dengannya.
"Lu emang menarik, Cakrawala Pangestu," ujar ketua EM universitas depan itu pelan, ibu jarinya menekan dagu Cakra sedangkan telunjuknya mengangkat kepala itu untuk lebih mendongak. "Lu selalu melakukan sesuatu yang bikin gua tercengang. Wow! Lu perlu penghargaan!" Kata Jay lagi, kini dengan nada rendah, mata berkilat tajam.
Seketika, kehangatan musim kemarau ini terjun drastis menjadi minus.
Dingin.
Dua orang petinggi di dua universitas agung kota M, tengah saling berusaha melumpuhkan satu sama lain.
Keduanya menekan dalam diam, berusaha mendesak lawan tuk berbicara duluan. Namun di sini Cakra akhirnya membuka mulut. Penuh tantangan, pemuda dengan rema bergelombang itu berdecak, "apa maumu Wijaya? Membuat onar?"
Tuduhan yang membuat Jay terkekeh. Ingin hati dia tekan dagu di tangannya, tapi tidak, alih-alih menekan dia seret dua tangannya ke pipi Cakra dan kuat dia menarik pipi di sana, gemas. "Iya, membuat onar hati lu!" Sebelum melepaskan tarikannya seperti ketapel dan turun dari tempatnya duduk, masih sambil tertawa.
Cakra menghela napas, mengikuti gerak-gerik Wijaya yang tengah menuju tempat dimana cemilan yang tadi ia suguhkan. Menghela napas, sang manik cokelat itu memutuskan untuk menutup laptopnya. Beranjak dari tempat duduk, mengambil gelas air mineral di atas lemari. 'Yah, setidaknya Wijaya masih tamu,' sekelebat pemikiran seperti itu terlintas di benak Cakra. Membawa tiga gelas air mineral. Kemudian, menaruh gelas-gelas plastik itu diatas meja. Disamping toples-toples camilan.
"Kamu hanya akan membuang-buang waktumu, Wijaya," Cakra kembali membuka bibirnya. Helaan napas ikut keluar, lelah.
Wijaya, yang asyik makan kacang polong di dalam toples hanya menarik sebelah alisnya. "Lu bilang gua buang-buang waktu, tapi lu masih siapin gua minum," seiring dengan tangannya yang menutup kembali toples itu, maniknya menatap sang pacar yang masih berdiri di sampingnya.
Cakra memutar bola matanya, "aku berusaha menghormati tamu," katanya asal.
"Tamu, hm? Serius hanya sebagai tamu?" Seringai menyebalkan muncul di wajah tampan itu. Berdiri, menatap manik Cakra. "Lu ngga ada pikiran gitu kalau pacar elu pasti kemari?"
Manik berkilat Wijaya menatap sang kekasih dengan intens, tajam menusuk. Belum lagi lengkung senyum di bibir tipisnya. Lalu bagaimana cara dia membawa diri dalam berjalan ... kh! Seketika semua itu membuat bulu roma Cakra berdiri dan ia refleks melangkah mundur, merasakan bahaya. Namun sayang, dia lupa posisi. Dalam beberapa langkah lebar, punggung lelaki berhelaian hitam kelam itu bersentuhan dengan dingin tembok. Berada dalam area Wijaya, yang secepat kilat menjadi berada di dalam kungkungan satu tangan kokoh sang ketua EM universitas depan.
Berkilat, manik obsidian Jay enggan melepaskan kontak mata, melamati setiap ekspresi Cakra yang cenderung tidak berubah. Namun, Wijaya mampu melihat bahwa setitik rona muka di sana berganti. Ada kilat tak nyaman, ada pula gurat tak ingin dikalahkan. Namun semua, terbungkus apik dengan ekspresi kokoh, tegas. Bahkan manik cokelat di hadapan Wijaya ini menatapnya tajam, tajam sekali tanpa sedikit pun getar. Seakan dalam diam Cakra mengatakan bahwa ia tidak takut.
Hahah! Menarik! Sangat menarik!
This is just so sexy.
Maka, Wijaya pegang kembali dagu lelaki yang sepantaran tingginya itu sebelum menyeringai lebar. Decak kagum dia gumamkan sebelum dia berbisik, "ini alasan gua suka sama elu, Cak," dan menghapus jarak antara mereka.
Dan ... sebelum sempat merespon, Cakra mampu merasakan bahwa bibirnya telah ditempeli dengan sesuatu yang kenyal. Bibir Wijaya. Lelaki kurang ajar didepannya ini ... tengah menciumnya. Manik cokelat itu membola beberapa saat. Terkejut. Napasnya tercekat.
Tapi refleks mengambil alih tindakan si korban pelecehan, mencengkeram lengan Wijaya. Kemudian dengan cepat memajukan satu kakinya, Cakra menendang engsel kaki Wijaya. Memaksa Wijaya melepaskan ciuman, dan sedetik kemudian—
Bruuk!
—dia terhempas ke lantai.
Di atasnya, Cakra terengah dengan wajah yang merona merah. Ia masih tetap berdiri tegak, memandang Wijaya yang baru saja ia banting ke karpet dengan pandangan campur aduk. Kesal, tak suka, lalu ... malu? Berdebar atas ketidak terprediksian ini?
Ekspresi yang tentu saja membuat Wijaya terkekeh, menyeringai. Ia dengan cepat duduk, menarik tangan Cakra. Hingga si lelaki itu berada dalam pangkuannya.
Memandang lekat Cakra, Wijaya menggumamkan rajukan, "pacarnya kok digituin sih beb, sakit loh," meski alih-alih tunjukkan wajah meminta ampun, Wijaya memasang seringaian. Oh. Jangan lupakan matanya, kilat di sana beritahukan betapa dia menikmati semua ini.
Cakra yang mendengar penuturan Wijaya sedikit kelabakan, takut kalau memang temannya itu kenapa-napa. Hanya saja, belum juga Cakra menanyakan maksud, lelaki di depannya, dua telapak tangan besar menangkup wajahnya lalu cepat sebuah bibir menempel di bibirnya lagi. Lalu lidah menyapu sebelum tiba-tiba ada gigitan nakal. "Aww—eeemph!" Dan tiba-tiba saja ada daging tak bertulang menginvasi mulut seiring tubuhnya terhuyung ... dan berakhir terlentang di atas karpet.
Cakra kaget bukan kepalang.
Dia shock bahkan.
Tapi entah mengapa, dia merasakan jika lelaki di atasnya ... tidak memiliki niatan lebih. Dia hanya menggoda, menunggu respon kekasihnya.
Hal yang tentu saja membuat si manik cokelat kesal. Lalu cepat dia menggigit lidah lelaki di depannya, keras. Oh, mungkin sangat keras hingga sang korban melepaskan dirinya, menjauh.
"Jangan macam-macam kamu!" Cakra menekan nadanya. Setengah menggeram. Dan jangan lupa wajahnya yang memerah.
Sedangkan yang diancam, malah tertawa, terbahak. Kemudian tersenyum manis sebelum menangkup pipi Cakra, mengelus dan menciumnya cepat. "Lu emang menarik," bisik pemilik rema coklat itu seraya menarik diri lalu duduk diatas karpet. Sambil menyandarkan kepala di lutut kaki yang tertekuk, Wijaya memandang Cakra lekat. Manik hitamnya berkilat di balik rema depan yang menjuntai. Namun tiada kelicikan di sana, tiada kecongkakan; hanya murni menikmati. Dan Cakra yang menemukan hal ini, hanya bisa mengulum bibir sambil mengangkat tubuh, duduk.
"Gua nggak salah pilih emang ya," adalah ucap Wijaya lagi, sebelum kembali tertawa sambil menyibak rema depannya ke belakang dan menahan kening di atas telapak tangan yang bertumpu pada lutut. Dia menggeleng pelan, sambil bergumam, "hebat banget cuk! Gua digigit! Pertama kali dalam sejarah ini! Hahahaha!" dan terus tertawa, menertawai diri sendiri, memuja pengalaman baru yang dia rasa.
Sedangkan Cakra ... awalnya ia sedikit tersengal, ingin sekali memukul Wijaya dengan amat keras. Hei! Kenapa tertawa dan bukannya minta maaf?! Namun ditahan. Demi menatap lelaki itu tertawa. Dan diam-diam manik coklat itu melembut, berpikir, bahwa disaat seperti ini, Wijaya terlihat sama seperti orang lain pada umumnya. Dia menjadi orang biasa.
"Eh, Cak," lalu, memotong rentet pikir Cakra, Wijaya kembali menyebut namanya. Menatap maniknya. "Nanti ke STMJ waktu itu yuk," menyuarakan ajakan main—atau setidaknya itu adalah pikiran Cakra.
Dan yang diajak? Kalem, dengan semua emosi telah sirna dalam hitungan detik, ia menjawab, "Besok aja ya? Kamu kan sudah bawakan jahe hari ini,"
Wijaya cemberut. Iya kali ini dia literal cemberut. Oh bahkan mulutnya sedikit di monyongkan sebelum dia menirukan ucapan Cakra, "bisik iji yi? Kimi kin sidih biwikin jihi hiri ini." Yang serius membuat Cakra ingin menampolnya keras. Kok bikin kesel gitu bibirnya sama ekspresinya itu!
Tapi urung. Benar, Cakra menahan dirinya karena sebelum dia melakukan itu, Jay kembali terkekeh. Renyah. Lalu sesuatu yang tak terduga terjadi, di tengah tawa tak mengesalkan itu, Wijaya tiba-tiba menjulurkan tangan dan menepuk puncak kepala Cakra. "Oke. Besok gua jemput lu di kosan," katanya kemudian, tanpa senyum mengesalkan melengkung. Dan dia mengucapkannya dengan lembut.
Hal yang entah mengapa, membuat mulut Cakra merekahkan senyum sebelum menjawab lembut, "okay. Akan aku tunggu."
.
[tbc]