Chereads / Tresno : Wijaya & Cakra Series / Chapter 5 - 03 : Ujan-ujan ayo?!

Chapter 5 - 03 : Ujan-ujan ayo?!

Kota M, 8 November 2018

Manik coklat itu berkali-kali melirik seseorang dengan tinggi setara disebelahnya. Seorang ketua EM di kampus depan itu, manusia seumuran dengannya yang juga memiliki pangkat sebagai kekasihnya tanpa sengaja, kini tengah berbicara dengan seorang penjaga toko jasa servis dengan serius. Mukanya kalem dengan mata hitam yang tajam, menelisik raut lawan bicara dalam penjelasan. Bukan, bukan. Mereka bukan sedang berhadapan dengan aparat kepolisian atau apa, lelaki itu hanya tengah menjelaskan pada pak service komputer, mengenai laptop Cakra yang mulai kadaluarsa. Dan selama kegiatan ini berlangsung, si empunya laptop, tanpa sadar sering mencuri pandang. Tidak, tidak. Ini bukan karena ia sedang kesengsem dengan si doi. Tapi lebih tepatnya karena—

"Iya, pak. Jadi Windowsnya diganti ya pak,"—uhuk uhuk—"yang ori ya,"—uhuk— "saya nggak mau bajakan" Yep. Karena Wijaya, sedari tadi batuk-batuk tidak kunjung berhenti. Kalau cuma batuk saja tidak begitu dipikir, tapi ini suaranya juga ... mulai terdengar serak. Dan jujur ini membuat Cakra khawatir!

Well, beberapa hari ini mereka sering keluar—entah cari makan atau sekedar mengikuti keinginan Wijaya putar-putar karena suntuk—tapi yang jelas, setiap keluar mereka kehujanan. Apa yang kau harapkan dari bulan November, kan ya? Menurut pembelajaran dan Wikipedia saja sudah dijelaskan jika curah hujan akan melimpah ruah di bulan-bulan ini. Namun Cakra kira, Wijaya tidak akan sampai—

"Iya pak,"—uhuk—"nanti saya yang bayar," uhuk uhuk!

—batuk seperti ini. Cakra merasa tak enak hati jadinya. Kasihan. Dan harus bertanggung jawab.

Beberapa saat kemudian, manik coklat itu masih melihat Wijaya berdiskusi. Baru mungkin 5 menit berikutnya, dia mendapati sang penjaga toko mengangguk paham, menjelaskan akan menservis laptopnya sambil mengambil laptop tersebut, mengusungnya ke dalam. Di saat inilah Cakra menggunakan kesempatan. "Minum dulu, Wi," ucapnya lembut seraya mengulurkan botol tumblrnya, memberikannya pada Wijaya.

"Aah, makasih Cak," lelaki itu tersenyum simpul, menerima botol minum. Lalu membuka tutupnya dengan cepat. Tapi, sebelum Wijaya bisa meminum isinya, alisnya menaut. Kemudian kembali batuk-batuk. Menutup mulutnya dengan lengan.

Dan kemudian, pancaran raut khawatir terpancar di wajah Cakra. Cepat, setelah si Pemilik service kembali dan memberikan nota, sang manik cokelat bergegas lemparkan ajakan, "ayo, gek ndang muleh bae, arepe udah ki, (Ayo, langsung pulang aja. Mau hujan ini kayaknya)" menggunakan aksen daerahnya yang yang kental, meminta Wijaya untuk cepat bergerak. Mereka harus segera kembali!

Wijaya mengangguk, setelah menenggak lagi air didalam botol hingga sisa separuh. Rona wajahnya sedikit melunak, sepertinya air hangat dari cakra sukses sedikit meredakan rasa gatal pada tenggorokannya. "Cak, nih," ucapn Wijaya buru-buru sambil mengembalikan botol di tangannya ini pada Cakra, lalu merapatkan jaket yang dia kenakan selagi Cakra memasukkan botol itu kembali ke dalam tas, dan akhirnya mereka memutuskan pulang. Segera, secepatnya, sebelum presipitasi cair turun dari langit.

Saat keluar dari toko tersebut, awan terlihat sangat hitam. Seolah memperparah keadaan … hembusan angin yang cukup kencang gila-gilaan menerpa. Tambahan, karena kota M ini lokasinya terapit gunung-gunung dan tempat Wijaya mengajak Cakra service laptop bututnya ke ujung dunia yang masih dipenuhi sawah dan sedikit gedung pencakar langitnya ... angin yang berhembus rasanya setajam silet. Duingin! Dan Wijaya, mengatakan rasa kedinginannya dengan gamblang melalui sikap. Iya, dia spontan memeluk dirinya sendiri! Padahal dia sudah berbalut jaket! Dan ini membuat Cakra khawatir. Sangat. Khawatir.

"Aku aja ya yang gonceng, biar kamu nggak banyak-banyak kena angin ya, Wi," adalah apa yang diucapkan Cakra, di tengah Wijaya yang sedang menahan batu. Ucapan yang serta merta membuatnya terdiam, memandang pemilik rema arang itu lekat seusai batuknya mereda.

Setelah beberapa saat terdiam, sebuah senyum melengkung di bibirnya. Hatinya sedikit berdebar melihat pacar 4 bulannya ini perhatian. Untung saja tadi dia menyanggupi Cakra untuk membelah kota M pakai motor supri tak bersayap sang kekasih ketimbang Audinya, ya? Kapan lagi coba kan dia diperhatikan?

Mengibaskan tangan, Wijaya bermaksud menolak tawaran Cakra. Dia bahkan sudah melemparkan kalimat, "cie perhatian," dengan maksud menggoda selagi kakinya melangkah menghampiri motor bebek di sana. Namun belum juga Wijaya meraih kemudi motor, Cakra yang tak acuh segera merebut kunci yang ia pegang. Tergesa, dia segera mendudukkan diri dengan manis pada jok bagian depan, tangannya cepat memakai helm lusuhnya.

Sesaat Jay terhenyak. Matanya mengerjap cepat dengan apa yang dia saksikan. Kerjapannya lebih cepat saat dia melihat Cakra mulai menstater motor (dengan kaki) sembari menyodorkan helm ke arahnya. Saking terkejutnya dengan pemikiran sebegitu-khawatirnya-kah-Cakra-pada-kesehatanku, Wijaya diam di tempat. Diam dengan jantung … menderu deram? Berdentum tak karoan? Eh?

Menyadari Wijaya yang tak segera beranjak, muka kalem di sana sedikit berubah. "Ayo Wi! Selak udan ki lho! (Keburu ujan nih!)" teriak Cakra dengan dua alis tertaut. Tangannya yang menjulur menggoyangkan helm untuk Wijaya, isyaratkan pada pemilik rema coklat itu untuk tanggap dan cepat duduk di belakang tanpa protes.

"Wi! Jane kowe pingin soyo loro po piye to? (Sebenarnya kamu ingin tambah sakit apa gimana?" erang Cakra kesal, saat Jay masih diam. Gerutuan yang membuat Jay terkekeh dan segera mengambil helm di tangan Cakra, memakainya, membiarkan kenyataan kaca helm langsung jatuh—breek!—meski tidak dia turunkan dan duduk anteng di bagian belakang.

Sambil tertawa, melepas gaya bicara gaulnya, Jay menjawab Cakra, "iya ini aku udah naik beb, skuy!" sedikit berseru lantaran anginnya makin kencang. Sayup-sayup dia mendengar Cakra menjawab dengan oke atau sebangsanya, sebelum motor tua itu melaju.

Duduk di belakang Cakra begini membuat Jay menyunggingkan senyum diam-diam. Eh, Cakra mulai perhatian. Dan itu membuatnya berdebar! Hei! Selama 4 bulan lebih 10 hari ini dia terus menerus mendapatkan tatapan permusuhan, kau tahu? Intensi baiknya selalu disalah artikan dan berujung mereka perang dingin meski yah … ditutup dengan tawa sih. Jay sampai pernah mengeluh pada Fairuz, bertanya kenapa Cakra begini. Kau tahu jawaban temannya apa? "Ya iya dia kesel lihat muka lu. Tuh muka udah diapit berapa tetek juga? Udah nggak steril!" Wijaya jadi kesel sendiri tanya ke Iruz.

Tapi anyway, dengan sedikit kemajuan ini Wijaya bahagia. Saking bahagianya dia … ia sampai tanpa sadar menggerakkan tangannya ke pinggang Cakra dan memeluknya dari belakang. Mengagumi betapa tak berisinya tubuh di depannya ini.

Sebelum tiba-tiba breeeesssshhhh! hujan turun begitu saja seperti air bah yang dituang dari langit. Wijaya terkejut, serius, dia sampai menengadah, mengamati langit setelah kaca helm dia buka. Tapi bukannya panik untuk mencari tempat berteduh, wajahnya seperti —woooaaa! Hujan! Gua hujan-hujanan di atas motor!

Entah bagaimana ceritanya, hal sesimple itu membuat Wijaya ... excited mendadak. Matanya membesar, jantungnya berdegup kencang daaan, meniru film kapal karam yang terkenal, Wijaya main-main merentangkan tangannya sebelum—TIIIIIIIIIIINNNNNN!!!

Sebuah jeritan klakson dari belakang melengking. Dan tangan kanan Wijaya tertampar spion sepeda motor berkecepatan tinggi yang mendahului dari kanan. Sepeda motor yang ... penumpangnya menyerukan makian, "coook! Tanganmu coook! Jok Titanik-titanikan nang embong!! (Jangan titanik-titanikan di jalan!)" meski motornya sudah melesat jauh. Seketika Wijaya sadar. Dia sedang apa dan baru saja mau berbuat apa.

Mengulum bibir, muka Wijaya memerah. Malu. Untung hujan, harga dirinya terselamatkan. Namun dia kicep begitu melihat spion motor Cakra dan mendapati kekasihnya itu tengah melihatnya dari pantulan kaca. Mampus!

Oho, tapi bukan Wijaya namanya kalau tidak bisa mengatasi semuanya. Dua segera menyeringai lebar, lalu memajukan tubuhnya hingga makin rapat ke Cakra dan berteriak dalam derasnya rinai hujan, "Cak! Bawa jas hujan nggak lu?!" Sengaja membelokkan pembicaraan, menggiring Cakra untuk melupakan atraksi tadi. "Ngiyup (Berteduh), pakai jas hujan dulu gimana baru cus lagi?!" imbuhnya cepat sambil menoleh kesana-kemari mencari tempat berteduh. Dari tadi sawah bro! Iya, si Wijaya ... mau benerin laptop saja harus melipir ke kabupaten!

Hahaha! Ya mau gimana lagi ya mbak, mas, Wijaya sebegitu inginnya berduaan dengan kekasihnya, makanya dia sengaja memilih tempat service yang jauh! Mana tadi momennya tepat sekali. Cakra lagi kebingungan harus mengerjakan tugasnya dengan apa karena laptopnya black-screen, sementara Wijaya sedang asyik makan apel sambil scroll-scroll game apa yang bisa di download dan yah … endingnya seperti ini. Dia berhasil meyakinkan Cakra untuk membawa laptopnya berobat, sementara mac apel keroaknya dia pinjamkan ke Cakra. Modus sih, biar makin deket dan terkesan selalu sedia, siap berkorban untuk sang terkasih.

Sementara itu Cakra … yang tak pernah memikirkan adanya udang di balik tepung, sangat berterimakasih sekali atas apa yang dilakukan Jay. Dan orang yang sama ini, setelah mendengar tawaran Wijaya untuk menepi dan pakai jas hujan sebelum kembali melanjutkan perjalanan, cepat langsung menggeleng.

"Engga! Kita berteduh dulu aja ya!" teriaknya kemudian sembari makin memutar gas, mengencangkan laju motornya. Sebelum tiba-tiba dia melihat deretan ruko yang belum di tempati di pinggir jalan. Cepat, dia menggerakkan motornya ke sana. Dan usai memarkirkan motor, dua anak manusia itu spontan berlari ke bawah atap ruko, berteduh. Begitu air hujan tak lagi mengguyuri tubuh mereka, dua netra kontras saling bersua. Mereka diam, saling pandang dalam alunan musik rintik hujan, sebelum … keduanya tergelak.

Gelak yang makin lama makin lirih. Dan sebelum tawa itu hilang seutuhnya, Cakra memandang lurus Wijaya dengan sebuah senyum terlukis elok di wajahnya. Lalu pelan, penuh perhatian dia bertanya, "Wi, basah?!" Pertanyaan yang jelas jawabannya sudah tersaji di depan mata sejujurnya, tapi entah mengapa, Cakra ingin melontarkannya.

Jawaban Wijaya? Oh. Dia malah dengan senyum lebar berkata enteng, "kebes heb, (basah kuyup, bro)," sambil terkekeh dan mengamati pantulan dirinya dari kaca pintu ruko. Hahahaha! Dia sudah seperti kucing mandi! Dan melihat ini, melihat wajahnya sendiri yang dipenuhi cucuran air hujan, Jay tertawa lepas.

"Anjiiir! Seru banget! Pertama kalinya mandi di bawah shower langit, di atas motor, kecepatan segitu! Ujan-ujan lagi ayo!" katanya bersemangat dengan tubuh berbalik ke arah Cakra, mengajak kekasihnya untuk menari di bawah tangisan ibu pertiwi.

Yang tentu saja dijawab dengan gelengan. "Tidak, nanti kamu tambah sakit," kata Cakra mirip mamak-mamak yang tak ingin dibantah. Jawaban yang membuat Wijaya memajukan bibirnya. Dia sedikit kecewa.

"Aku nggak mau kamu sampai sakit, Wi. Lagian kenapa kamu girang sekali hujan-hujanan Wi?" adalah respon Cakra, melihat Wijaya yang lagi, melakukan hal kebocahan.

Pertanyaan yang dibalas dengan kekehan seiring kaki panjang bergerak, mendekati pinggiran toko dan menadahkan tangan, menikmati air hujan yang merajam. Baru beberapa detik selepas sang Antaresa memainkan air, Wijaya berkata lagi, "yah, apa daya gua yang kemana-mana naik mobil. Jarang banget ngerasain yang begini. Jadi gua excited banget gitu Cak!" kata si rema coklat kemudian, di tengah tangannya yang masih memainkan kucuran air langit.

Mendengar hal ini Cakra diam. Dia memandang teman berstatus pacarnya lekat. Rentet pikir berkelibat.

Sombong. Kalimat Wijaya terkesan merendahkan, bukan di beberapa titik? Namun di sini, Cakra melihat raut muka lelaki tajir melintir yang sedang asyik mainan air itu … seperti anak kecil. Tak ada sedikit pun maksud menunjukkan dia berasal dari kasta yang berbeda di mata itu. Tak ada. Dia murni excited. Dia murni menikmati ini semua, bukan sarkas.

Dugaan mencuat perlahan dari benak Cakra.

... jangan-jangan selama ini, Wijaya tak pernah bermaksud congkak?

Ahh…

Mungkinkah begitu? Seorang lelaki asli sultan sejak lahir ini, yang hidupnya tidak pernah kekurangan –kelebihan sekali malah— ternyata seseorang yang sangat sederhana. Membuat Cakra refleks menaruh tangannya diatas kepala Wijaya. Mengusapnya perlahan. "Wijaya seperti bocah, ya?"

Dan respons si lelaki berhelaian cokelat itu, dia sedikit salah tingkah, sebelum menepis tangan Cakra dan menggeser badan, memalingkan mukanya yang merah padam, tapi kembali main air. Haha. Benar-benar, ya. Wijaya yang seperti ini mengingatkan Cakraa dengan adik-adiknya dirumah. Terlihat sangat polos, tidak ada aura menyebalkan yang biasanya. Hari itu, ditengah rinai hujan deras dan angin kencang, Cakra menyadari sisi lain Haris Wijaya.

Dan seulas senyum terpatri pada wajahnya.

Aura hangat juga dirasakan oleh Wijaya, memilih untuk melanjutkan obrolan agar suasana tidak mati. Ia mulai menanyai hal-hal yang terjadi hari ini, bercerita tentang artis papan atas yang wajahnya cantik sekali memakai narkoba, kemudian obrolan-obrolan ringan lainnya. Cakra sendiri, menanggapi ceritanya. Lelaki itu tersenyum, tertawa, beberapa kali kagum pula. Semuanya terekam dalam otak Wijaya. Hingga si lelaki bertahi lalat di dagu itu bertanya, "sejak kapan kamu ikut silat, Cak?" Iya. Cakra bisa silat, makanya dia terbanting dengan mudah beberapa bulan yang lalu itu. Hahah! Memori indah.

Mendengar pertanyaan Wijaya, Cakra kemudian memasang pose berpikir, menggulirkan manik cokelatnya kearah kiri atas. "Hmm… sejak kelas 11 SMA kayaknya? Pokoknya aku pacaran sama mantanku yang pertama itu, aku sudah ikut silat," dan jawaban Cakra membuat Wijaya tertarik. Mantan Cakra, huh?

"Mantanmu kayak gimana, Cak?" Wijaya, yang mulai tertarik, mencondongkan tubuhnya. Menatap mata Cakra. Memusatkan perhatiannya pada lelaki berkulit lebih gelap didepannya.

Yang disebut namanya hanya tersenyum kecil dan berkata, "namanya Kirana. Elok sekali wajahnya, senyumnya manis. Kami pacaran selama dua tahun." Tampak jelas Cakra mengingat momen bahagia itu sejenak. Senyumnya merekah lebar. Namun perlahan senyum itu jatuh, "Tapi, kemudian Kirana diminta sama anak tuan tanah di desa."

Wijaya mengerjap, berkomentar hal seperti, 'Jadi kamu putus sama dia karena hal begitu?' yang dibalas anggukan oleh Cakra, namun kemudian Cakra hanya tertawa. Mengatakan hal tersebut hanya masa lalu. Tak ada yang perlu disesali, karena hidup itu bergerak maju.

"Yang penting masa depan, kan?" bibir Cakra kembali terbuka, berujar.

Kali ini Wijaya yang mengangguk. Setuju sekali dengan kata-kata itu. Apalagi dengan masa depan. Membuat Wijaya meraih tangan Cakra, menggenggam jemari dingin di sana dan menciumnya. Berkata dalam hati, 'setidaknya aku tidak akan dibeli oleh tuan tanah, Cak,' sebelum cepat, Cakra menarik tangannya. Mukanya dirajah keterkejutan saat itu, Wijaya melihatnya. Namun berikutnya, bukannya marah, Cakra justru memerah.

Memerah dan memalingkan muka.

Dan disisi lain, melihat hal ini, Wijaya merasa hubungan ini berjalan kearah yang bagus.

.

[tbc]