Kota M, 9 November 2018
Mobil audi r8 itu tak sedikit pun berubah tempat dari posisinya sejak dia kembali ke parkiran dosen Teknik Sipil Universitas B magrib kemarin. Supercar itu diam, membisu bersama hujan, menyendiri di tengah derasnya guyuran air dari langit. Dan mereka yang berlalu lalang ... seperti biasa melihat fenomena ini. Nah. Sebiji mobil mewah ini sudah dapat dipastikan siapa pemiliknya dan bukan hal yang mengherankan jika dia menginap.
Tapi satu yang berbeda dari mobil ini adalah, semalaman mesinnya menyala.
Hanya saja, bagi mereka ... ini bukanlah soal. Mereka terlalu tak peduli dan hanya melipir pergi meski keningnya tertaut. Mungkin mereka tak ingin melihat dua orang lagi kelon di dalamnya. Biasa, manusia Indonesia suka bershuudzon ria sebelum crosscheck apa yang sebenarnya terjadi.
Padahal di dalam sana ...
Wijaya sedang memejamkan mata dengan keringat sebesar jagung memasahi keningnya, mukanya. Lebih, napasnya ngos-ngosan, berat, dan terdengar kasar. Wajahnya pucat. Pucat pasi. Dan tampak dari pergerakan kelopak, lelaki ini berusaha membuka matanya. Namun tak kuasa, dia merasakan beban satu ton menekan. Mungkin setelah 10 menit berlalu, manik gelap itu perlahan terbuka.
Namun Wijaya tak merasakan dia sadar. Serius. Dia merasakan pandangannya kabur, berkunang-kunang. Langit cerah di atas sana saja terlihat mendung dan kabur seperti pixel video 3gp. Ada, tapi tak jelas. Lalu lalu lalang sepeda motor dan mobil dari sisi kanannya, mereka juga blur.
Eh? Lalu lalang?
Tertampar dengan kenyataan sudah banyak orang bersliweran, membuat Wijaya spontan bangkit dari posisinya terlentang. Gerakannya cepat, terlalu cepat hingga menjadikan seisi dunia teraduk dalam otak dan berujung dia kembali terlentang, melesak di empuknya jok mobil.
"Kh ... pala gue ...," desis Wijaya sambil memegangi dahi. Desisan ini berubah menjadi decak begitu dia sadar temperatur tubuhnya ... tak wajar. Bangsad! Pake acara sakit segala kek inces inces ew!Menggerakkan tangannya, Wijaya mencari ponsel. Dia ingin mengecek jam, rasanya belum lama dia memejamkan mata (terimakasih tugas kelompok sialan) dan setidaknya dia ingin tahu berapa lama lagi dia bisa berbaring sebelum masuk kelas, mengikuti kui—
"Jancik!" umpat Wijaya begitu dia melihat angka tegas di layar ponsel ber-lockscreen hitam itu 10:25. Shit! Dia telat!
Tergesa, Wijaya segera keluar mobil. Maksud hati, ia ingin bergerak ke kamar mandi terdekat, lalu secepat mungkin mandi bebek sebelum lari ke kelas. Lokasi gedung kuliahnya tidak jauh meski dia parkir di jurusan lain. Dia bisa melompat tangga naik turun yang memisahkan mereka sebelum lari di lorong dan masuk kelas. Untuk baju? Dia punya banyak simpanan baju di bagasi. Hanya saja ... baru turun dari mobil, kepala Wijaya rasanya seperti dihantam buku kedokteran Iruz. Membuatnya terhuyung, sebelum cepat dia menghantamkan bahu kirinya yang hampir melorot ke kaca mobil dan menahan bobot di sana.
Manik hitam Wijaya membelalak seiring napasnya yang makin tak beraturan. Mukanya terasa panas. Cahaya di sekelilingnya timbul tenggelam. Muncul ke permukaan, hilang, sebelum muncul lagi—begitu terus sampai akhirnya Wijaya memejamkan matanya. Erangan sakit meluncur dari bibir tipis pucat itu, "hssss."
Ah, sial! Wijaya ingin merutuki dirinya sendiri. Kenapa juga dia bisa demam begini?!
Menggigit bibirnya sendiri, pemilik rema coklat itu menarik diri ke dalam mobil. Dia kembali membanting pintu mobilnya dan berusaha menenangkan diri di sana sambil menyandarkan kepala di kemudi. Sementara itu tangan kirinya berusaha terjulur, membuka armrest mobilnya dan mengambil satu obat entah yang apa, dia telan obat itu tanpa air atau apa. Berikutnya dia berdiam ... berusaha menenangkan diri.
Naas, alih-alih tenang dia terbayang-bayang rumahnya.
Besar. Gelap. Sepi.
... harus pulang kemana dia nanti?
Dan setiap kondisinya lemah begini ... ucapan-ucapan orang terdekat selalu terngiang—
"Hariiiiisss, papa mama nggak ada di rumah loh, jangan sakit dong nak. Kalau sakit nanti ngerepotin Mas Pasya. Kasihan abangmu sedang berjuang ..."
"Haris, papa nggak mengajari anaknya untuk bermalas-malasan apa pun kondisinya!"
"Ris. Dasar kamu itu. Sakit nggak akan mengurangi beban hidup, jangan manja!"
—membuat sang Antaresa tersenyum kecut sebelum menampar pipinya sendiri dengan keras. Tidak. Di Keluarganya tak mengajarkan orang sakit untuk bermanja-manja. Kalau parah ya sudah ngamar, masuk ke sana sendiri, keluar sendiri, begitu seterusnya. Percuma juga sih ya ... manja ke siapa? Kan keluarganya juga ... entah dimana semua.
Satu logika di otaknya: dia tak boleh kalah melawan penyakit ini!
Menampar pipinya lagi, Haris Wijaya Antaresa turun dari mobilnya. Lalu perlahan, dia memantapkan diri dan menyongsong hari.
Luuuuaaar biasanyaaaa, dai sukses. Well, tak heran mengingat siapa dia, Wi-ja-ya!
Meski sakit, dia sukses mengikuti kuis yang sama sekali tak dia pelajari. Berikutnya di pun sukses dengan pelajran perhitungan ketahanan bangunan yang ternyata ada tugas dan baru dia kerjakan H-5 menit tanpa mencontek. Oh. 2 praktikum berturut-turut pun dapat dia lalui. Memakai topeng seolah dia baik-baik saja, dia membaur dengan dunia. Interaksi pun tak mengalami gangguan. Tugas kelompok yang dia lembur? Beres. Sempurna. Desain yang dia buat sampai matanya pedih menjadi kesukaan dosen. Bau-baunya dia bisa mengantongi nilai A nih karena hasil kerjaannya (dan kelompoknya) menggunakan perspektif yang berbeda dari yang lain.
Ya, at least, kuliahnya sempurna.
Kerjaan EM nya ... bisa dibilang hampir berantakan.
Kesempurnaan di dunia ini hanya milik sang Pencipta. Sehebat apa pun kau memasang topengmu, akan hancur di suatu waktu. Dan bagi Wijaya ... itu terjadi di dalam rapat.
Dia tidak menangkap sebagian besar isi rapat penting itu, kau tahu? Lucu. Bahkan dia merasa dirinya mengambang saat rapat dengan pihak luar ini berlangsung. Untung saja dia tak berubah menjadi ber-IQ jongkok. Kendati pendapat yang dia lempar tidak tajam, tapi masih memiliki bobot di dalamnya. Dan meski dia sedikit tak cepat tanggap, senyuman dan matanya masih mampu menekan dan membuat suasana kondusif saat diskusi melenceng.
"Jay, lu nggak apa?" adalah tanya yang terlempar dari teman-temannya selepas rapat. Wajah khawatir mewarni mimik kawan EM nya ini. Namun dengan senyum miring, Wijaya membalas, "kalian sedang berhadapan dengan siapa, hm? Tentu gua baik-baik saja," dengan kesongongan maksimal yang jelas kentara dipaksakan. Hanya saja, hah. Mungkin image Jay memang sudah bangsad atau tampak bisa apa saja, kerapuhan di balik topengnya yang perlahan hancur masih terbungkus rapat.
Namun sepintar apa pun dia meyakinkan orang lain dia baik-baik saja ... dia lebih tahu jika dia tak dalam kondisi baik-baik saja. Karenanya begitu masuk ke ruangannya ... Wijaya melesakkan dirinya di atas sofa, terbaring lemah di sana.
Pikir Wijaya ... jika dia di sini, Fairuz akan menemukannya. Si Wakil yang lagi sibuk dengan anatomi manusia sampai tak bisa hadir di rapat itu at least akan ke kantor, mencomot snack untuk di bawa pulang untuk teman begadang. Di sini dia berharap, Iruz menemukannya daaaan mengirimkan tubuhnya ke rumah sakit.
Mengerang, Wijaya memegangi tenggoroknya yang tiba-tiba gatal. Batuk kencang lepas dari mulutnya, sebelum dia kembali diam dan bernapas pendek-pendek.
... membicarakan tentang batuk, Wijaya jadi ingat Cakra. Kemarin si hitam itu begitu khawatir dia tambah sakit dan Jay cuek bebek? Sedihnya, kekhawatiran Cakra terjadi. Dia ambruk.
Ambruk dengan kondisi belum makan sama sekali dari pagi.
Berusaha mengabaikan sakit di kepala dan cacing yang malakukan konser dadakan di perut, Jay memandang langit-langit. Iseng, dia membayangkan ada domba berlompatan di atas sana. Hal yang Jay lakukan untuk menina bobokan dirinya sendiri. Cara yang efektif kalau boleh jujur. Dia mulai mengantuk. Namun sesaat sebelum kesadarannya hilang ... dia seperti mendengar pintu kantornya di ketuk.
... siapa? Iruz?
Suara langkah kaki mendekat. Terdengar dengan cukup jelas di telinga milik Wijaya. Iruz, hm? Tapi kenapa pakai diketuk segala? Mana cepat sekali? Dia kan kelar dengan tugas dan tetek bengek lainnya biasanya baru jam 9 malam ke atas. Tapi nah. Bomat.
Terbatuk kembali, Wijaya yang setengah sadar mengerang. "Ruz, aku kayaknya demam. Ambilin obat di laci, gih. Biar kamu engga repot-repot anterin aku ke RS," katanya lirih, dengan nada lemah dan gaya bahasa ... kembali ke logat ibunya. Dia sudah lelah. Lelah ceria. Lelah baik-baik saja.
Namun sedetik kemudian, bukannya sungut jawaban Iruz, Wijaya merasakan dahinya diusap oleh sebuah tangan yang dingin. Usapan lembut penuh kasih, terasa sangat nyaman.
Hal yang membuat internally, Jay mengerutkan kening, curiga. Iruz? Kesambet apa dia? Biasanya jika melihat Wijaya tumbang, Iruz akan berteriak kesetanan, "begooo! Makanya jadi orang jangan goblok! Badan itu dijaga biar nggak sakit! Dasar! Lu kalau mo ngerepotin orang jan gua molo, bajing!" Lantas mengapa kini ...
Ingin memastikan siapa yang sedang membelainya, manik obsidian itu terbuka perlahan. Dan mendapati sebuah wajah mungil, dengan rambut hitam agak bergelombang. Mengukir raut khawatir.
"Ngga enak badan ya? Mau teh hangat?" Adalah suara yang terdengar begitu familiar ditelinga Wijaya.
Refleks, Wijaya langsung benar-benar membuka matanya. Dan... "Cakra?" ia menyadarinya. Menatap Cakra sedang khawatir. Dan detik itu juga Wijaya bangkit dari posisi terlentangnya.
Hanya untuk merasakan dunia berputar hebat hingga, blusk, gravitasi menarik; ia kembali melesak ke atas sofa.
Melesak dengan mata terpejam, mengernyit kuat dengan erangan sakit meluncur lepas, "kkhh!"
Erangan yang seketika membuat tangan hangat nan lembut Cakra kembali pada tubuh Wijaya, menahan badan atletis itu dari gerakan sembrono lainnya. Lalu tegas, larangan Cakra lontar, "jangan banyan gerak dulu, Wi!"
Lemah, Wijaya menolak. Dengan suaranya yang serak dan jelek, ia berusaha lemparkan argumen, "tapi Cak, nggak keren banget gini ini ... aku nggak ap—" yang langsung dipenggal dengan ucapan tak mau tahu—
"Tiduran saja duh, Wi! Nanti tambah parah lho! Mau teh? Aku buatkan ya."
—tapi bukan ucapan yang mengharuskannya kuat, melainkan kalimat yang memintanya untuk beristirahat. Wijaya membelalak dibuatnya. Dia sampai kehilangan kata-kata.
Cakra yang tak kunjung dapatkan balasan tentu beranjak berdiri. Dia hendak membuat teh, Wijaya panas sekali, harus dihangatkan. Namun sebelum Cakra bergerak lebih lanjut, lelaki berema coklat itu meraih pergelangan tangannya, menahan.
"Tidak usah, aku tidak apa-apa ..." tersenyum lemah, Wijaya menggeleng. Menyuruh Cakra untuk melupakan apa yang ingin dia lakukan. Kemudian agar Cakra benar-benar lupa, ia bahkan menggeser topik, "kamu kemari ada perlu ... apa Cak? Tumben?" Sebelum dia batuk keras, sampai melepaskan cekalan tangannya dan melengkungkan punggung.
Seketika hati Cakra mencelos. Apa yang ia lihat membuatnya tak sampai hati. Memilih duduk dibawah lantai, lelaki itu duduk disamping sofa Wijaya. Lalu sambil menepuk punggung halus, dia berbisik, "ssstt ... sudah ... kondisimu lagi ngga sehat, Wijaya. Jangan banyak bicara," seulas senyum tersungging, tulus, lembut. Si manik coklat ini berusaha memberikan afeksi rasa aman pada Wijaya. Berusaha menyampaikan ... yang lain bisa besok. Sekarang yang terpenting adalah kesehatannya.
Dan berhasil. Wijaya menurut, ia mengangguk, lalu terbatuk, tapi memejamkan matanya. Beberapa detik kemudian si helaian hitam itu bertanya sudah makan atau belum. Dijawab dengan gelengan lemah.
Cakra menghela napas khawatir. Membuka tas ransel, ia kemudian mengeluarkan kotak bekal miliknya yang belum sempat ia makan tadi. "Bangun sebentar terus makan, ya Wi?" ujar Cakra lembut, sambil mengusap keringat Wijaya dengan sapu tangan.
Wijaya mengangguk lagi, pasrah. Menjawab 'iya' dengan suara lemah. Setelah mendapat izin, Cakra membangunkan Wijaya dengan hati-hati. Membuatnya duduk. Lalu, Cakra beranjak ke dispenser disebelah lemari. Mengambil sebuah gelas, dan membuat air hangat dari dispenser tersebut. Tak lama, Cakra memberikan air itu pada Wijaya.
"Perhatian banget sih, Cak?" Wijaya mencoba menggoda Cakra, cengiran lemah terbentuk.
Dan hanya ditanggapi helaan sebal. "Aku kemarin sudah bilang, baiknya kemarin nunggu hujan benar-benar reda saja, baru pulang, tapi kamu ga mau." Kemudian si helaian hitam menggedumal, masih sebal. "Saiki lara to! (Sekarang sakit kan!)"
Wijaya tak dapat menahan dirinya, mendengus geli. "Iya, iya ... maaf ya?" Kemudian meminum air hangatnya.
Cakra lalu duduk disebelah Wijaya, membuka kotak bekal yang tadi ia bawa. Mengambil sendok, kemudian mulai menyiapkan suapan untuk Wijaya. Yang akan disuapi sendiri mengintip isi makanan dari bekal tersebut. Oseng-oseng tempe tahu, telur dadar dan nasi. Sederhana sekali. "Masak sendiri, Cak?"
Cakra mengangguk, mulai menyuapi Wijaya. "Sudah biasa, kan aku punya adik 3," katanya lembut dengan pandangan menerawang. Dia teringat adik-adiknya yang ketika sakit akan disuapi oleh dirinya.
Si lelaki bertahi lalat itu mengunyah makanannya. Kemudian tersenyum. Memakan dengan khidmat masakan rumahan ... yang rasanya berkali-kali lipat dengan apa yang dia makan terakhir. Pertama karena masakan Cakra selalu enak. Kedua karena dia ... kangen 'rumah'.
Dan setelah semua habis, Cakra buru-buru menarik tisu dan mengusap bibir Jay dengan telaten. Namun di sini, Wijaya menangkap tangan yang lebih ramping darinya dan lirih, dengan suara lemah dan senyuman kecil lelahnya dia berkata, "Cak, aku bukan anak kecil, aku bisa sendiri kalau ini saja." Kemudian lembut dia meminta tisu di tangan Cakra dan membersihkan mulutnya sendiri. Setelah bersih, dia menatap Cakra. "Makasih sudah ada di sini, beb," katanya berusaha romantis, tapi gagal, karena tiba-tiba kepalanya serasa dihantam palu. Dia sampai meringis menahan nyeri. Khhhh!!
"Nggak apa-apa, Wi? Berbaringlah dulu ..." gumam Cakra yang tanggap, merengkuh Wijaya dan hati-hati membawa lelaki itu untuk kembali terlentang di sofa. "Obatnya di mana? Aku ambilkan," setelah Wijaya berbaring, Cakra segera bangkit. Seingat dia tadi Jay mengatakan sesuatu berhubungan dengan obat ketika dia datang.
"Di ... khh,"—uhuk, uhuk, batuk keras menyenggal kata si coklat, erangan meluncur—"di laciku Cak ..." setelah reda, ia kembali berbicara, menuntun Cakra untuk mendatangi meja besar di dekat jendela.
Selagi Wijaya menutup mata, berusaha menenangkan diri atas rasa perut yang ingin mengeluarkan makanan yang baru dia makan, Cakra mencari. Jujur si helaian hitam itu baru pertama kali menghampiri meja Wijaya. Dia jarang sekali—hampir tidak pernah bahkan—bertandang kemari. Biasanya pak Wakil yang mewakilinya berurusan dengan EM Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum ini. Dan melihat meja Wijaya ... rapi. Dan barang yang ada di atasnya ... pilihan. Nuansanya benar-benar klasik.
Jujur Cakra sedikit lupa tujuan dengan apa yang dia lihat di sini. Banyak hal baru yang dia lihat di sini. Namun mata Cakra yang menyapu benda demi benda, segera terhenti begitu dia melihat pigura. Wijaya, di luar dugaannya, memajang dua bingkai foto di mejanya tanpa malu.
Dan di pigura terbesar di sana ... terdapat foto yang sudah kusut dan sobek di sana-sini hingga harus ditambal plaster.
Foto keluarga Wijaya, dengan tulisan tangan tegak bersambung di bawahnya. Meski lecek, Cakra bisa membacanya: I miss this moment :').