Makan malam kami selesai, Tuan Gornio menuntun kami ke arah ruang keluarga untuk berbincang. Ini yang kutunggu-tunggu, mungkin mereka akan membicarakan maksud kedatangan kami kesini.
Aku mencoba duduk dengan tenang dan sesekali menimpali lelucon dari Renandra, anak itu menempel terus padaku. Bukannya aku tak suka, tapi aku pikir kenapa dia tak menempel pada ayahnya saja.
"Nak Reista, mungkin kamu bertanya tanya kenapa Renandra, cucu kami berkata kau mommy barunya", aku berhenti memainkan rambut Renandra yang halus itu. Menatap Tuan Gornio yang sudah menatapku intens.
Aku hanya tersenyum dan sesekali melirik kearah Mommy, ia memberikan isyarat lewat matanya untuk membuatku tetap tenang. Lalu aku melirik kearah Renandra Dan Tuan Ramel mereka terlihat tenang saat menatapku.
Mengapa tatapan mereka membuatku sebal, mereka benar-benar ayah dan anak yang serasi, lihat saja dari cara duduk dan matanya yang tak berkedip itu.
"Papahmu dan saya sudah bersahabat saat kami SMA sampai sekarang, dan kami sudah berjanji sedari dulu, jika kami mempunyai anak dengan dua jenis kelamin yang berbeda, kami akan menjodohkannya", cerita tuan Gornio berhenti dan melirikku.
Aku tetap tersenyum dan berusaha tenang. Walaupun aku sudah semakin mengerti apa maksud dari ini semua.
"Kami mengundang kamu sekeluarga kesini untuk membuat janji kami menjadi kenyataan, kamu Reista dan Ramelson akan kami jodohkan",
Mencelos sudah rasa-rasa jantungku yang sedari tadi berdetak kencang, aku tetap tersenyum tenang. Tapi kakiku terasa bergetar, sialnya aku tak bisa memegang tangan siapapun. Mataku tak berhenti terpaku pada mata Tuan Gornio.
Ucapannya seperti lelucon. Sangat lucu tapi tidak membuatku tertawa.
Aku terdiam kaku, bagaimana bisa keluarga ku menjodohkan aku tanpa sepengetahuanku?. apalagi dengan Bos ku sendiri, tak bisakah mereka bertanya dulu kepadaku? walaupun aku tau keluarga Bos ku adalah keluarga baik baik, tapi tetap saja ini hidupku dan masa depanku .
Aku benar benar tak bisa berkata apa-apa aku hanya melihat keluarga ku dan keluarga Bos ku dengan tatapan kosong. Seolah-olah kata perjodohan tadi seperti omong kosong yang tak pernah ku harapkan.
"Reista? Hei kau melamun sayang?", Panggil Mommy yang menghampiri dan menepuk pundak ku pelan.
Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Benar-benar gila, sudah berapa kali aku tersenyum dalam kurung waktu sejam ini. Aku mencoba menarik nafas dan menatap Tuan Gornio lembut.
"Tuan Gornio, mengapa anda memilih saya? maksud saya, mungkin memang kalian mempunyai janji. tapi kan itu sudah lama sekali kan, janji masa muda itu hanya lelucon menurutku". Ucapku pelan.
" Nak lihat Mommy, ini semua demi kebaikanmu dan demi kebaikan keluarga kita. Lagipula putra tuan Gornio itu putra yang baik dan bertanggung jawab tidak salah bukan jika Mommy dan Daddy menjodohkanmu dengannya", sela mamahku .
"Mom aku bertanya kepada tuan Gornio", ucapku tegas.
"Nak Reista maafkan saya, saya tau kamu kaget atas informasi ini. Tapi itu seperti yang saya bilang tadi, ini sudah perjanjian saya dan ayah kamu sejak dulu. walaupun kami membuat keputusan sudah sangat lama, tapi kami tak pernah menganggap itu sebuah lelucon.", tuan Gornio memandangku lembut dan penuh kasih sayang.
"Maaf sebelumnya Tuan Gornio selain hal perjanjian tadi saya juga punya pendirian hidup, bahwa saya tidak suka dijadikan istri kedua. Selain itu, saya juga perempuan. Tidak mungkin saya menyakiti istri dari Ramelson", ucapku penuh dengan penegasan. Apa apaan ini aku dijadikan istri kedua Hah! Dalam mimpi kalian saja.
Toh aku masih muda aku masih bisa mencari laki laki baik dan bertanggung jawab diluar sana.
"Nak istri Ramelson sudah lama meninggal sekitar 5 tahun, maka dari itu kami mau menjodohkanmu dengannya", ucap Daddy padaku.
Pantas saja mereka begitu menggebu-gebu untuk menjodohkanku dengan Bos ku itu, ternyata duda kaya dan tampan. Tapi tetap saja apa-apaan ini bahkan aku tidak bisa menentukan kehidupanku sendiri.
"Jadi Reista perjodohan ini akan tetap berlanjut setuju atau tidak setujunya dirimu nak, karena ini sudah keputusan Daddy", ia berkata tegas dan tak terbantahkan.
Aku menunduk sedih kukepalkan tanganku, aku benar-benar merasa terhina atas perjodohan ini. mereka benar-benar tidak menganggapku ada, kuhembuskan nafasku untuk menetralkan amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun. aku tidak mungkin bertindak semena-mena disini.
"Seterah Daddy dan Mommy saja, toh apapun jawabanku itu tidak penting bukan, ini hidupku tapi aku seperti boneka yang selalu dijalankan sesuai perintah saja", aku membuang nafasku gusar, aku bangkit untuk meninggalkan tempat itu. saat ini aku benar benar butuh udara segar.
Beberapa langkah aku berjalan, terdengar suara bass yang mengintrupsikan langkahku.
"Bukankah umurmu sudah cukup dewasa Nona? Namun pemikiranmu seperti umur anak 7 tahun yang butuh waktu untuk bermain",
Apa dia sedang menghinaku, benar-benar, dia belum menjadi suamiku tapi kelakuannya seperti sudah menjadi sah suami saja.
"Ini hidupku tuan. pernikahan bukan mainan untukku, ini hanya satu sekali seumur hidup. maka dari itu aku menginginkan suami yang kelak bisa bersamaku dalam susah ataupun senang, sampai ajal menjemputku. selain itu aku juga menginginkan suami yang mencintaiku bukan atas dasar suatu perjanjian seperti ini", aku benar benar emosi nafasku sudah naik turun tak menentu.
"Kau hidup selama ini karena dihidupi oleh kedua orang tuamu, semua yang kau inginkan selalu dipenuhi oleh mereka, apa ini balasanmu terhadap orang tuamu?". Langkah Ramel semakin dekat, aku tak membalik tubuhku. Aku tak kuat menatap matanya.
"Mereka hanya meminta satu permintaan dalam hidup mereka. tapi kau? Kau bahkan dengan egoisnya memikirkan kehidupanmu sendiri", dia mengejekku dengan kata katanya.
Aku benar benar tidak bisa berfikir jernih sekarang, aku ingin menangis, aku ingin berteriak, aku ingin kehidupanku dengan suami yang mencintai dan dicintai olehku. Tidak seperti ini.
"Apa kau bisa menjamin bahwa kelak kehidupan kita akan bahagia? Pernikahan tanpa cinta? Bahkan kita tak terlalu dekat! Kita dua orang asing yang mempunyai jalan berbeda, bagaimana kita bisa membangun satu atap yang sama?",
"Reista cinta datang karena telah terbiasa, aku memang tidak bisa menjamin kehidupan kita akan selalu bahagia. tapi kita yang akan bisa menjamin kebahagiaan itu. Jika kita bersama-sama".
Ramel memutar tubuku dan menatap mataku dengan lembut. Ia menarik tanganku dan menggenggamnya.
"Maka dari itu maukah kau menikah denganku? Menjadi ibu bagi anak-anakku, menyayangi mereka sebagaimana kau menyayangi dirimu sendiri?
Kita memang tak saling mengenal, tapi ketahuilah bahwa orang tua kita, tak akan menjerumuskan kita ke lubang yang salah. Jika mereka percaya akan pernikahan kita. berarti mereka tau kita akan bahagia".
Aku tercekak atas kata katanya. sederhana namun langsung menusuk tepat dijantungku, apa dia pandai merangkai kata? Sial! Bahkan aku sudah termakan oleh kata-katanya.
Bagaimana ini? Disatu sisi kata-katanya benar, tapi disisi lain ini bukan keinginanku.
"Begitukah menurutmu tuan Ramelson?". Aku melepaskan tanganku dari genggamannya.
"Jika itu memang menurutmu, atas penghormatanku kepada orang tua ku yang sudah membesarkanku. Aku menerimanya, aku menerima takdir hidupku!", Ucapku tegas.
Namun jauh didalam hatiku, aku benar benar hancur. Hatiku,hidupku, mimpiku. dihancurkan oleh keluargaaku sendiri.
"Pernikahannya akan diadakan satu Minggu lagi maka bersiaplah", dia berbalik meninggalkanku yang masih berdiri seperti orang bodoh.
Benar-benar gila, apa-apaan dia? seenaknya saja langsung meninggalkanku.
"Selamat adik kecilku kau akan segera meninkah", kakakku tersenyum kearahku dan mengelus puncak kepalaku lembut. aku tau sedari tadi dia sudah mengikuti dan mendnegar obrolanku dengan Ramel.
Kutatap matanya sedatar mungkin seolah mataku bicara apa kau bahagia atas kesedihanku?jika iya,maka berbahagialah!.
Kutinggalkan rumah itu dan berlari pergi, air mataku sudah benar-benar jatuh, aku menangis dan terus berlari. malam semakin dingin dan jalanan sudah semakin gelap dan sepi. aku tidak peduli keluargaku mencariku atau tidak, aku merasa mereka tak akan memikirkanku juga.
Langkahku terhenti didepan taman kota, aku duduk di bangku taman dan memandang ke arah depan dengan tatapan kosong.
Aku ingin egois, aku ingin hidupku, bahkan dimimpi sekalipun aku tak pernah menyangka akan dijodohkan seperti ini.
Air mataku sudah mengering, tubuhku menggigil karena udara malam. Aku tidak peduli jika aku harus mati hari ini! Aku tidak peduli!.
Tubuhku mulai melemah, kepalaku berputar-putar aku merasa sepertinya malaikat pencabut nyawa sudah memanggilku. Lucu sekali, aku menginginkan kematian.
Aku melangkah ke arah jalanan dengan sempoyongan, banyak kendaraan lalu lalang meng klakson kencang kearah ku.
Sampai di tengah jalan lampu menyorot tajam ke arahku, aku tidak peduli jika kendaraan itu menabrakku.
Bahkan aku akan berterimakasih kepadanya jika aku benar benar mati!.
Bodoh! Kurasa otakku benar benar sudah tidak berfungsi,
Tak berapa lama aku merasakan kesadaranku mulai menghilang, disusul suara klakson mobil yang memekakkan telinga ku dan seketika itu aku mendengar suara.
Ciittttttt!!!!
Brrrruuuuakkkkk!!
Pandanganku samar-samar dan mulai menggelap.