Chereads / wiro sableng 212 " rahasia lukisan telanjang " / Chapter 15 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

Chapter 15 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

DI SEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menju–

lang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke

duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng

dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia

tengah menuju ke sebuah kota kecil yang terletak di

selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi

Pendekar 212 hentikan larinya dan berjalan seperti biasa.

Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpa–

kaian compang-camping berjalan melenggang-lenggok

dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi

batu yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga

mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya

terkempit sebuah tas daun pandan.

Yang membuat Wiro diam-diam jadi tertegun ialah

karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua

berpakaian compang-camping itu sudah berada di

hadapannya.

Wiro sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus

saja melangkah seenaknya dan hendak memapasi Wiro.

Maka Pendekar 212 pun menegur bertanya, "Orang tua,

apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala?"

Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh

pada si pemuda dia membuka mulut, "Siapa tanya siapa?"

Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu

berbunyi berkerontangan.

Wiro tersenyum lagi. "Namaku Wiro. Aku dalam perjala–

nan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang

betul?"

Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan

memandang Wiro Sableng dari atas sampai ke kaki.

"Ah... melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah

mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang..." Dan

habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan

lagi kaleng di tangan kanannya.

Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan si

orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini.

"Coba ulurkan telapak tangan kirimu!" si orang tua tiba-

tiba memerintah.

Wiro Sableng meragu seketika. Dia tidak kenal dengan

orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya.

Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu Wiropun

ulurkan telapak tangan kirinya.

Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu

dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan

garis pada telapak tangan pemuda itu. Wiro Sableng

terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak

tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah

batu besar yang ratusan kati beratnya!

Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka

Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan

kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada

telapak tangannya dan Wiro merasa tangannya tergetar

hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat

dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga

dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua.

Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak

tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu

untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil

batuk-batuk dia berkata, "Orang muda, masa depanmu

penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis

di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya

yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi kau tak

perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun

besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati

semuanya." Orang tua aneh kerontangkan kalengnya

beberapa kali lalu meneruskan, "Garis percintaanmu tidak

begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat

mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik..."

Kaleng berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar

212 kelihatan merah menjengah!

Dan si orang tua bertanya, "Kau tengah menuju ke

Paritsala?"

"Betul orang tua," jawab Wiro.

"Kunasihatkan agar dibatalkan saja..."

"Memangnya ada apakah?"

"Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan

dan bahaya di mana-mana..."

"Tapi seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke

utara...," kata Wiro yang ingat akan petunjuk yang

diberikan Dewa Tuak.

Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontang-

kerontangkan kalengnya lalu hendak menindak

meninggalkan tempat itu.

"Orang tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu.

Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu..."

Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan

dengan melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan Wiro

Sableng sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si

Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku

tidak tahu...

Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua

aneh itu terus diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap

di kejauhan.

Wiro Sableng berdiri terlongong-longong. Orang persila–

tan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar

tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu?

Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengem–

bara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia

berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan mengata–

kan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul.

Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh orang-

orang dunia persilatan. Wiro merasa beruntung sekali

dapat bertemu dengan orang tua itu.

Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persim–

pangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai

dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke

Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di

belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan

gemeletak suara kereta. Wiro berpaling, sepuluh orang

penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing

dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik

oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan.

Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang

kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka

terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian

samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu.

Dan sewaktu Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas

dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik

sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi Wiro masih terke–

siap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana

sinar bintang timur di malam cerah! Wiro memandang ke

jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 212 akan

ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah

menempuh jalan vang ditempuh rombongan itu.

Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng memasuki

Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang

dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun

tertambat di halaman. Karena bangunan itu adalah rumah

penginapan maka Wiro Sableng pun segera menuju ke

sana.

Baru saja Pendekar 212 berdiri di tangga bawah pintu

penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah

agak lanjut.

"Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini?"

"Betul" sahutWiro.

"Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang..."

"Seluruh kamar?" ujar Wiro heran. Dia menggoyangkan

kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di hala–

man. "Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah

menempatinya?"

"Ya."

"Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?"

"Enam belas... Mengapa?"

"Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas

orang," kata Wiro. "Pasti ada kamar yang masih kosong

untukku..."

"Sudah kubilang semua kamar diambil oleh rombongan

itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja

yang hendak menginap di sini..."

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya, "Kalau begitu aku

musti cari penginapan lain," katanya setengah

menggerutu.

"Di sini tak ada lagi penginapan lain."

"Hem..." Wiro menggumam. "Terpaksa kau menolong

menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak

jadi apa."

"Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini

sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!"

Wiro Sableng jadi penasaran.

"Apa kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk

sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?!"

Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal.

"Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara

lantang. Salah-salah kau bisa berabe!"

Wiro keluarkan suara bersiul.

"Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?" tanya pemuda ini

"Ah! Tak usah kau banyak tanya!" Pelayan itu putar

tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro mencekal bahunya

hingga dia tak bisa bergerak.

"Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe!" desis Wiro ke

telinga pelayan itu.

Dan si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu

merasakan bagaimana telapak tangan Wiro yang berada di

bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai!

"Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh

Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya

tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan

dilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang

pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi..."

Wiro angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada

sekilas bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya

tewat jendela kereta.

"Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu,

Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali

dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan

kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali

tampar saja pasti kepalamu menggelinding!"

Wiro tertawa gelak-gelak.

"Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!" Tiba-

tiba satu suara garang membentak dan sesaat kemudian

seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di

ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada

bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia

berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro.

Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat!

"Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau

tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!"

"Hak apakah kau mengusirku?!" tanya Wiro dengan

senyum mengejek.

Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya dengan

cepat diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng. Begitu

terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi

besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya

yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang

sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras

luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir!

"Mampus!" teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan

tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditang–

galkannya kepala Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya

rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok

kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak

diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyen–

takkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan

darah di dadanya! Si tinggi besar mengeluh tertahan.

Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan

kaku, Wiro cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya

ke sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi

besar menyangsrang di antara cabang pohon, tak bisa

bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. Wiro

sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu!

Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik

jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti keper–

gian Pendekar 212.