DI SEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menju–
lang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke
duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng
dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia
tengah menuju ke sebuah kota kecil yang terletak di
selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi
Pendekar 212 hentikan larinya dan berjalan seperti biasa.
Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpa–
kaian compang-camping berjalan melenggang-lenggok
dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi
batu yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga
mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya
terkempit sebuah tas daun pandan.
Yang membuat Wiro diam-diam jadi tertegun ialah
karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua
berpakaian compang-camping itu sudah berada di
hadapannya.
Wiro sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus
saja melangkah seenaknya dan hendak memapasi Wiro.
Maka Pendekar 212 pun menegur bertanya, "Orang tua,
apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala?"
Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh
pada si pemuda dia membuka mulut, "Siapa tanya siapa?"
Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu
berbunyi berkerontangan.
Wiro tersenyum lagi. "Namaku Wiro. Aku dalam perjala–
nan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang
betul?"
Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya dan
memandang Wiro Sableng dari atas sampai ke kaki.
"Ah... melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah
mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang..." Dan
habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan
lagi kaleng di tangan kanannya.
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan si
orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini.
"Coba ulurkan telapak tangan kirimu!" si orang tua tiba-
tiba memerintah.
Wiro Sableng meragu seketika. Dia tidak kenal dengan
orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya.
Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu Wiropun
ulurkan telapak tangan kirinya.
Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu
dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan
garis pada telapak tangan pemuda itu. Wiro Sableng
terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak
tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah
batu besar yang ratusan kati beratnya!
Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka
Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan
kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada
telapak tangannya dan Wiro merasa tangannya tergetar
hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat
dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga
dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua.
Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak
tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu
untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil
batuk-batuk dia berkata, "Orang muda, masa depanmu
penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis
di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya
yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi kau tak
perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun
besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati
semuanya." Orang tua aneh kerontangkan kalengnya
beberapa kali lalu meneruskan, "Garis percintaanmu tidak
begitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat
mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik..."
Kaleng berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar
212 kelihatan merah menjengah!
Dan si orang tua bertanya, "Kau tengah menuju ke
Paritsala?"
"Betul orang tua," jawab Wiro.
"Kunasihatkan agar dibatalkan saja..."
"Memangnya ada apakah?"
"Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan
dan bahaya di mana-mana..."
"Tapi seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke
utara...," kata Wiro yang ingat akan petunjuk yang
diberikan Dewa Tuak.
Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontang-
kerontangkan kalengnya lalu hendak menindak
meninggalkan tempat itu.
"Orang tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu.
Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu..."
Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan
dengan melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan Wiro
Sableng sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si
Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku
tidak tahu...
Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua
aneh itu terus diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap
di kejauhan.
Wiro Sableng berdiri terlongong-longong. Orang persila–
tan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar
tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu?
Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengem–
bara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia
berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan mengata–
kan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul.
Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh orang-
orang dunia persilatan. Wiro merasa beruntung sekali
dapat bertemu dengan orang tua itu.
Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persim–
pangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai
dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke
Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di
belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan
gemeletak suara kereta. Wiro berpaling, sepuluh orang
penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing
dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik
oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan.
Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang
kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka
terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian
samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu.
Dan sewaktu Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas
dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik
sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi Wiro masih terke–
siap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana
sinar bintang timur di malam cerah! Wiro memandang ke
jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 212 akan
ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah
menempuh jalan vang ditempuh rombongan itu.
Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng memasuki
Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang
dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun
tertambat di halaman. Karena bangunan itu adalah rumah
penginapan maka Wiro Sableng pun segera menuju ke
sana.
Baru saja Pendekar 212 berdiri di tangga bawah pintu
penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah
agak lanjut.
"Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini?"
"Betul" sahutWiro.
"Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang..."
"Seluruh kamar?" ujar Wiro heran. Dia menggoyangkan
kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di hala–
man. "Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah
menempatinya?"
"Ya."
"Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?"
"Enam belas... Mengapa?"
"Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas
orang," kata Wiro. "Pasti ada kamar yang masih kosong
untukku..."
"Sudah kubilang semua kamar diambil oleh rombongan
itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja
yang hendak menginap di sini..."
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya, "Kalau begitu aku
musti cari penginapan lain," katanya setengah
menggerutu.
"Di sini tak ada lagi penginapan lain."
"Hem..." Wiro menggumam. "Terpaksa kau menolong
menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak
jadi apa."
"Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini
sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!"
Wiro Sableng jadi penasaran.
"Apa kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk
sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?!"
Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal.
"Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara
lantang. Salah-salah kau bisa berabe!"
Wiro keluarkan suara bersiul.
"Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?" tanya pemuda ini
"Ah! Tak usah kau banyak tanya!" Pelayan itu putar
tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro mencekal bahunya
hingga dia tak bisa bergerak.
"Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe!" desis Wiro ke
telinga pelayan itu.
Dan si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu
merasakan bagaimana telapak tangan Wiro yang berada di
bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai!
"Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh
Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya
tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akan
dilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang
pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi..."
Wiro angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada
sekilas bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya
tewat jendela kereta.
"Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu,
Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali
dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan
kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali
tampar saja pasti kepalamu menggelinding!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!" Tiba-
tiba satu suara garang membentak dan sesaat kemudian
seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di
ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada
bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia
berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro.
Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat!
"Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau
tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!"
"Hak apakah kau mengusirku?!" tanya Wiro dengan
senyum mengejek.
Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya dengan
cepat diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng. Begitu
terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi
besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya
yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang
sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras
luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir!
"Mampus!" teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan
tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditang–
galkannya kepala Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya
rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok
kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak
diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyen–
takkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan
darah di dadanya! Si tinggi besar mengeluh tertahan.
Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan
kaku, Wiro cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya
ke sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi
besar menyangsrang di antara cabang pohon, tak bisa
bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. Wiro
sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu!
Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik
jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti keper–
gian Pendekar 212.