Chereads / wiro sableng 212 " rahasia lukisan telanjang " / Chapter 16 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

Chapter 16 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

KETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar

kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang

mendekatinya dari arah belakang. Menyangka

bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar

tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon.

Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan

tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan

memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada

di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana.

"Hai! Kau mencari aku?!" tanya Wiro dari balik pohon.

Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon.

"Lekas ikut bersamaku!" kata si pelayan.

"Ikut ke mana?" tanya Wiro heran.

"Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu.

Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti

pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!"

"Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!"

Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali!

"Lekaslah!" kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda

cemas.

Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung kuda di

belakang si pelayan. "Bapak," bisik Wiro waktu mereka

berlalu dengan cepat, "Kalau kau menipuku, aku akan

gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!"

Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu

dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan

hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan

berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling.

Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan pengi -

napan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal

tangan si pelayan.

"Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke

sini?!" desis Wiro Sableng.

"Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot

batang leherku!" jawab si pelayan.

Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu

belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian

hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada

dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan

menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan

bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan

malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap

ditelan hembusan angin malam di kejauhan!

"Ikut aku!" kata pelayan itu.

"Tunggu!" jawab Wiro. "Terangkan dulu apa arti semua

ini!"

"Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma

diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun

tak ada yang bermaksud jahat padamu!"

"Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah

itu?!" tanya Wiro Sableng lagi,

"Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!"

Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola

matanya berputar liar waspada kian kemari sambil

melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan.

Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang

kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti

sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka

sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di

bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah

sebuah gudang tempat menyimpan segala macam pera–

botan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro

Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya

mereka sampai di sebuang gang. Pelayan memberi isyarat

agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya.

Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya

terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti

dan berpaling pada Wiro.

"Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan

masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu

adalah orang yang memerintah aku!"

Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam

hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati

pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata

pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat

dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam

kamar, terkesiaplah Pendekar212!

Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning

langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar

laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbunga-

bunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada

rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde

dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda.

Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu

kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis

hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujur–

nya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah

kembali ke tengah kamar.

"Saudari apakah artinya ini?" tanya Wiro Sableng.

Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si

jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka

akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak

dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro

ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang

dilihatnya di tengah jalan tadi sore!

"Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyu–

supkan suara?" si gadis bertanya perlahan.

Wiro Sableng terkejut "Apaan pula ini?" tanyanya dalam

hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga.

Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis

berkata, "Aku telah saksikan apa yang kau lakukan terna–

dap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi.

Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan penolongku..."

"Hem...," Wiro garuk-garuk kepalanya. "Pertolongan

apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak

salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan

Garuda Sakti."

Si gadis anggukkan kepala.

"Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya

tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi..."

"Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melang–

sungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua

Perguruan Merapi."

"Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak

perlu panjang lebar menerangkannya padamu," jawab si

jelita. Lalu sambungnya, "Perkawinanku dengan anak laki-

laki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku

yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di

samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah!

Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua

Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan

tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk meng–

hindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah

antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi."

"Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Pergu–

ruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu,

kenapa tidak larikan diri saja?!" tanya Pendekar 212 pula.

"Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akan-

anak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri

bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat

meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir

pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah

sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri

mendapat tekanan dari mereka."

Wiro merenung sejenak.

"Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang

kau cinta?!" tanya Wiro seenaknya,

Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah

parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian angguk–

kan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia ber–

kata, "Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di

sebuah goa batu..."

Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro

Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian

mengambang di kelopak mata si gadis.

"Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?"

tanya Wiro.

"Menolong agar perkawinanku bisa batal!"

"Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan

itu?" tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala.

"Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Per–

tolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur

hayat."

Wiro berpikir, lalu, "Kau ingin kularikan sekarang?!"

tanya Wiro mengambil keputusan pendek.

"Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka

dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan

mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar

ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak

buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi

menjelang hari-hari perkawinan itu..."

"Berabe juga kalau begini," kata Wiro. Dipijit-pijitnya

keningnya. "Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di

puncak Merapi?"

"Lusa siang. Jam dua belas tepat!" jawab si gadis.

Wiro berpikir-pikir lagi.

"Baiklah," kata Pendekar 212 kemudian. "Aku sudah

dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawi–

nanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara perni–

kahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi

apakah aku boleh tahu namamu...?"

Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu

kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar

suara lantang.

"Permani! Buka pintu cepat."

Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis

pucat pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya

tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu

matanya membentur jendela, Wiro segera melompat.

Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga

dia sudah tenyap di luar sana setelah terlebih dulu

menutupkan daun jendela kembali!

"Permani!"

Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedoran-

gedoran.

Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang

laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan

tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari

tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua

Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul.

Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang

besar penuh teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki

dengan hati berdebar.

"Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!"

tanya Manik Tunggul.

Permani tertawa. "Kecurigaan ayah terhadap anak

sendiri keterlaluan sekali!" kata gadis itu. "Siapa dan untuk

apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar

ini?!"

Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa

setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat

tidur!

"Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang

malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang

masuk ke sini masa mereka tidak tahu?" ujar Permani.

Manik Tunggul masih belum percaya akan ucapan

anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya.

Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya

tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah

berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali.

"Permani, menjelang hari perkawinanmu ini kuharap

kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu

ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya

permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!"

"Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu,

tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain

daripada patuh atas segala kemauanmu..." kata Permani

dengan tundukkan kepala.

Manik Tunggul tepuk bahu anaknya.

"Kau anak yang berbakti," kata Ketua Perguruan Garu–

da Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan

kamar.

Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro

Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan

perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia

kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain?

Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis

anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini

berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Per–

guruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya sendiri.

Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua

itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghi–

raukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit

penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras

jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua

Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memu–

kaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan!

Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu,

"kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perem–

puan cantik..." Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk

kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.