KETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar
kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang
mendekatinya dari arah belakang. Menyangka
bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar
tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon.
Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan
tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan
memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada
di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana.
"Hai! Kau mencari aku?!" tanya Wiro dari balik pohon.
Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon.
"Lekas ikut bersamaku!" kata si pelayan.
"Ikut ke mana?" tanya Wiro heran.
"Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu.
Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti
pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!"
"Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!"
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali!
"Lekaslah!" kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda
cemas.
Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung kuda di
belakang si pelayan. "Bapak," bisik Wiro waktu mereka
berlalu dengan cepat, "Kalau kau menipuku, aku akan
gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!"
Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu
dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan
hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan
berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling.
Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan pengi -
napan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal
tangan si pelayan.
"Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke
sini?!" desis Wiro Sableng.
"Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot
batang leherku!" jawab si pelayan.
Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu
belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian
hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada
dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan
menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan
bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan
malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap
ditelan hembusan angin malam di kejauhan!
"Ikut aku!" kata pelayan itu.
"Tunggu!" jawab Wiro. "Terangkan dulu apa arti semua
ini!"
"Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma
diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun
tak ada yang bermaksud jahat padamu!"
"Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah
itu?!" tanya Wiro Sableng lagi,
"Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!"
Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola
matanya berputar liar waspada kian kemari sambil
melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan.
Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang
kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti
sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka
sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di
bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah
sebuah gudang tempat menyimpan segala macam pera–
botan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro
Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya
mereka sampai di sebuang gang. Pelayan memberi isyarat
agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya.
Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannya
terdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti
dan berpaling pada Wiro.
"Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan
masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu
adalah orang yang memerintah aku!"
Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam
hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati
pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata
pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat
dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam
kamar, terkesiaplah Pendekar212!
Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning
langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar
laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbunga-
bunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada
rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde
dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda.
Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu
kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis
hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujur–
nya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah
kembali ke tengah kamar.
"Saudari apakah artinya ini?" tanya Wiro Sableng.
Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si
jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka
akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak
dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro
ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang
dilihatnya di tengah jalan tadi sore!
"Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyu–
supkan suara?" si gadis bertanya perlahan.
Wiro Sableng terkejut "Apaan pula ini?" tanyanya dalam
hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga.
Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis
berkata, "Aku telah saksikan apa yang kau lakukan terna–
dap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi.
Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuan penolongku..."
"Hem...," Wiro garuk-garuk kepalanya. "Pertolongan
apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak
salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan
Garuda Sakti."
Si gadis anggukkan kepala.
"Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya
tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi..."
"Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melang–
sungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua
Perguruan Merapi."
"Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak
perlu panjang lebar menerangkannya padamu," jawab si
jelita. Lalu sambungnya, "Perkawinanku dengan anak laki-
laki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku
yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di
samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah!
Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua
Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan
tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk meng–
hindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah
antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi."
"Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Pergu–
ruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu,
kenapa tidak larikan diri saja?!" tanya Pendekar 212 pula.
"Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akan-
anak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri
bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat
meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir
pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah
sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri
mendapat tekanan dari mereka."
Wiro merenung sejenak.
"Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang
kau cinta?!" tanya Wiro seenaknya,
Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah
parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian angguk–
kan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia ber–
kata, "Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di
sebuah goa batu..."
Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro
Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian
mengambang di kelopak mata si gadis.
"Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?"
tanya Wiro.
"Menolong agar perkawinanku bisa batal!"
"Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan
itu?" tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala.
"Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Per–
tolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur
hayat."
Wiro berpikir, lalu, "Kau ingin kularikan sekarang?!"
tanya Wiro mengambil keputusan pendek.
"Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka
dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan
mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar
ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak
buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi
menjelang hari-hari perkawinan itu..."
"Berabe juga kalau begini," kata Wiro. Dipijit-pijitnya
keningnya. "Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di
puncak Merapi?"
"Lusa siang. Jam dua belas tepat!" jawab si gadis.
Wiro berpikir-pikir lagi.
"Baiklah," kata Pendekar 212 kemudian. "Aku sudah
dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawi–
nanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara perni–
kahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi
apakah aku boleh tahu namamu...?"
Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu
kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar
suara lantang.
"Permani! Buka pintu cepat."
Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis
pucat pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya
tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu
matanya membentur jendela, Wiro segera melompat.
Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga
dia sudah tenyap di luar sana setelah terlebih dulu
menutupkan daun jendela kembali!
"Permani!"
Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedoran-
gedoran.
Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang
laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan
tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari
tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua
Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul.
Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang
besar penuh teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki
dengan hati berdebar.
"Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!"
tanya Manik Tunggul.
Permani tertawa. "Kecurigaan ayah terhadap anak
sendiri keterlaluan sekali!" kata gadis itu. "Siapa dan untuk
apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar
ini?!"
Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa
setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat
tidur!
"Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang
malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang
masuk ke sini masa mereka tidak tahu?" ujar Permani.
Manik Tunggul masih belum percaya akan ucapan
anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya.
Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya
tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah
berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali.
"Permani, menjelang hari perkawinanmu ini kuharap
kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu
ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnya
permusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!"
"Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu,
tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain
daripada patuh atas segala kemauanmu..." kata Permani
dengan tundukkan kepala.
Manik Tunggul tepuk bahu anaknya.
"Kau anak yang berbakti," kata Ketua Perguruan Garu–
da Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan
kamar.
Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro
Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan
perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia
kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain?
Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis
anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini
berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Per–
guruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya sendiri.
Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua
itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghi–
raukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit
penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras
jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua
Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memu–
kaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan!
Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu,
"kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perem–
puan cantik..." Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk
kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.