Chereads / wiro sableng 212 " rahasia lukisan telanjang " / Chapter 20 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG 14

Chapter 20 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG 14

SEKEJAP lagi sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan

mengeremus hancur muka Sokananta, tiba-tiba,

Wuut! Sebuah pedang menyambar dahsyat ke arah

kedua lengan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu!

"Manik Tunggul manusia ular kepala dua! Akulah

lawanmu!"

Ketika berpaling ke kanan ternyata yang menyam–

pokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah

di kepala Manik Tunggul!

"Bogananta keparat! Kau sama saja dengan anakmu!"

Maka kedua orang itupun bertempurlah satu lawan

satu dengan hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya

lebih rendah dan lawan bersenjatakan pedang pula maka

lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun kena didesak!

Di lain pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan

Tasbih Kumala serta tujuh orang lainnya berkelebat cepat,

bertahan dengan hebat dan sekali-sekali lancarkan

serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan

dua orang anak murid Perguruan Merapi, namun keada–

annya tak bisa dikatakan di atas angin. Sokananta dan

yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih Kumala-lah yang

tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat,

satu gelombang angin yang laksana gunung beratnya

menerpa Pendekar 212! Dapat dibayangkan bagaimana

jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda oleh tasbih

sakti itu!

Dua jeritan terdengar. Dua anak murid Manik Tunggul

yang ikut mengeroyok Bogananta mandi darah dilanda

pedang.

Pada jurus keenam tadi dalam pertempuran satu lawan

satu, Manik Tunggul telah didesak hebat oleh Bogananta.

Kedua anak buahnya turun membantu dalam jurus

kesembilan mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini

dalam jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul didesak

hebat!

Pada saat Wiro Sableng berhasil merobohkan lagi dua

orang pengeroyoknya, maka pada saat itu pula terdengar

jeritan Manik Tunggul!

Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua

tangan memegangi dada yang robek besar dibabat ujung

pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar

di tanah, detik itu pula nyawanya lepas!

"Jahanam!" teriak Pendekar 212. Dari mulutnya

terdengar suara bentakan menggeledek. Tubuhnya mele–

sat enam tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212

berkiblat memancarkan sinar putih dan menebar suara

bergaung.

"Ayah, awas!" teriak Sokananta.

Bogananta memang sudah melihat datangnya

sambaran senjata lawan. Dengan cepat dia angsurkan

pedang mustikanya ke depan untuk menangkis!

Trang!

Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan

Bogananta patah dan mental. Di kejap itu pula terdengar

lolongannya macam kerbau disembelih! Batang lehernya

hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke

tanah!

Wuut!

Satu sambaran angin mendera ke arah punggung

Pendekar 212. Wiro melompat ke muka dan balikkan

badan, sekaligus kiblatkan kapak. Yang menyerangnya

ternyata Tasbih Kumala!

"Manusia-manusia keparat!" kertak Wiro. "Satu nyawa

Manik Tunggul harus dibayar dengan nyawa kalian semua!"

Dari mulut Pendekar 212 kemudian terdengarlah

kumandang suara siulan yang menggidikkan bulu roma!

Jurus-jurus silatnya dengan serta merta berubah total. Tiga

pekikan terdengar, menyusul kemudian dua pekikan lagi!

Lima korban terhampar di tanah!

Kecutlah nyali Tasbih Kumala dan lebih-lebih

Sokananta. Hanya mereka berdua kini yang masih hidup!

Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek

Tasbih Kumala keluarkan seruan kesakitan. Lengan

kanannya yang memegang tasbih terbabat buntung.

Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak

Naga Geni 212 berbalik dan, cras! Terpisahlah kepala dan

badan Tasbih Kumala!

Lumerlah nyali Sokananta!

Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh

dan ambil langkah seribu!

"Jahanam cacingan! Kau mau minggat ke mana?!

Tempatmu toh di neraka!"

Wiro gerakkan tangan kirinya. Siap untuk lepaskan

pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya. Sebagai

gantinya dia lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh!

Tak ampun lagi tubuh Sokananta yang lari kencang itu

mendadak sontak menjadi kaku tegang!

Permani meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah

melepaskan totokan gadis itu. Kegelapan malam, angin

dingin yang mencucuki tulang-tulang sungsum, tebaran

mayat di mana-mana serta suara tangis Permani merupa–

kan hal-hal yang tidak enak bagi Wiro Sableng.

Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro kemudian

berkata, "Tak ada gunanya tangis itu, Permani. Tak ada

gunanya membuang-buang air mata lebih banyak! Kejadian

begini sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang

Kuasa. Masuklah ke dalam goa..."

Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka

kedua matanya. Setindak dia hendak melangkah ke mulut

goa, pandangannya membentur Sokananta yang tegak

kaku akibat totokan Wiro. Maka menggemuruhlah amarah

Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah keris yang

tersisip di pinggang ayahnya dan berlari ke arah Sokananta

seraya berteriak, "Bangsat! Kaulah yang jadi biang racun

segala-galanya!"

"Permani!" seru Sokananta dengan keras tapi gemetar.

"Ampunilah selembar nyawaku ini."

"Ini ampun untukmu!" teriak Permani garang dan keris

bereluk tujuh di tangan kanannya dihunjamkannya keras-

keras ke dada pemuda itu.

Sekejap lagi ujung keris akan menembus dada

Sokananta, sebuah tangan yang kuat mencekal lengan

Permani!

"Lepaskan tanganku!" teriak si gadis kalap.

Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu silat

serta memiliki tenaga dalam yang cukup ampuh agak

sukar juga bagi Wiro menahan gadis itu.

"Dengar Permani! Kematian dengan tusukan keris

seperti ini terlalu enak baginya!" kata Wiro. "Bangsat ini

musti diberi ganjaran yang setimpal...!"

Gelora amarah Permani menyurut. Dua bola matanya

memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia kemudian

maklum apa yang dikatakan Wiro adalah benar. Dilempar–

kannya keris di tangan kanan. Lalu dijambaknya rambut

Sokananta dan diseretnya ke dalam goa. Dengan rantai-

rantai besi yang dulu pernah mengikat Panuluh, Permani

membelenggu kedua tangan dan kaki Sokananta.

"Permani, kau mau bikin apa...?!" tanya Sokananta.

Keringat dingin membasahi sekujur badannya.

Gadis itu tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu

masuk lagi di tangannya ada seutas akar gantung

sepanjang satu setengah tombak. Permani putar-putarkan

akar gantung itu di atas kepalanya.

"Permani..."

Suara seruan Sokananta putus dilanda bunyi akar

gantung yang mendera dadanya. Pakaiannya yang bagus

robek, kulit dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan

kali di dalam goa itu terdengar suara cambukan-cambukan

yang dahsyat! Sokananta telah lama pingsan. Parasnya

hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang darah.

Pakaiannya robek-robek, sekujur kulit badannya pecah-

pecah bermandi keringat dan darah!

Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di

depan mulut goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi.

Kuburan Manik Tunggul yang berdampingan dengan

kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu

diletakkan dua buah batu besar dan pada batu itu dengan

dua ujung jari-jari tangannya Wiro telah menggurat nama

kedua orang itu.

"Kau akan kembali ke kota?" tanya Wiro Sableng yang

berdiri di samping Permani dan tengah memandangi dua

kuburan bertanah merah itu.

Si gadis gelengkan kepalanya.

"Memang tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih baik

terus langsung pulang ke kota kediamanmu..."

"Tidak, aku tak akan kembali pulang."

Wiro kernyitkan kening. "Lalu...?"

"Aku akan tinggal di sini. Akan bertapa di goa..."

Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia berkata, "Ibumu

akan susah bila kau tak kembali..."

"Setelah ayah meninggal, aku cuma sebatang kara di

dunia ini..."

"Jadi ibumu juga sudah meninggal?"

Permani mengangguk.

"Kau tak punya kerabat atau saudara?"

"Tidak..."

"Tapi hendak bertapa dalam umur semudamu ini betul-

betul belum masanya, Permani. Kau menyia-nyiakan masa

mudamu dan juga masa depanmu!"

"Masa muda dan masa depanku tak ada lagi sejak

orang yang kucintai masuk di bawah tumpukan tanah

merah itu..." sahut Permani dan butir-butir air mata ber–

jatuhan melewati kelopak kedua matanya.

Wiro Sableng menghela nafas. Sungguh sayang dara

secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi bagai–

mana dia bisa melarang? Diam-diam diperhatikannya

paras Permani dari samping dan ketika gadis itu memutar

kepala ke arahnya, pandangan mereka saling beradu untuk

beberapa lamanya.

"Dunianya Panuluh berakhir sampai di tempat ini,

Wiro," bisik Permani. "Aku akan tinggal di sini sampai

akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku pun akan

berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya..."

Wiro Sableng merasa terharu sekali. Betapa agungnya

nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda ini.

"Di samping bertapa, aku akan memperdalam ilmu silat

yang pernah diwariskan ayah..."

"Itu sudah semestinya..." kata Wiro perlahan. Hatinya

tetap menyayangkan keputusan gadis itu untuk tinggal di

goa itu dan bertapa sekalipun sambil memperdalam ilmu

silatnya.

"Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat. Setiap

kejahatan kadangkala dibarengi dengan ilmu yang tinggi-

tinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui

nasib buruk..."

Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu

tundukkan kepalanya dan untuk beberapa lamanya

suasana diliputi kesunyian.

"Aku akan mencuci tangan di anak sungai tak jauh dari

sini. Sebentar aku kembali..." kata Wiro.