SEKEJAP lagi sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan
mengeremus hancur muka Sokananta, tiba-tiba,
Wuut! Sebuah pedang menyambar dahsyat ke arah
kedua lengan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu!
"Manik Tunggul manusia ular kepala dua! Akulah
lawanmu!"
Ketika berpaling ke kanan ternyata yang menyam–
pokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah
di kepala Manik Tunggul!
"Bogananta keparat! Kau sama saja dengan anakmu!"
Maka kedua orang itupun bertempurlah satu lawan
satu dengan hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya
lebih rendah dan lawan bersenjatakan pedang pula maka
lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun kena didesak!
Di lain pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan
Tasbih Kumala serta tujuh orang lainnya berkelebat cepat,
bertahan dengan hebat dan sekali-sekali lancarkan
serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan
dua orang anak murid Perguruan Merapi, namun keada–
annya tak bisa dikatakan di atas angin. Sokananta dan
yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih Kumala-lah yang
tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat,
satu gelombang angin yang laksana gunung beratnya
menerpa Pendekar 212! Dapat dibayangkan bagaimana
jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda oleh tasbih
sakti itu!
Dua jeritan terdengar. Dua anak murid Manik Tunggul
yang ikut mengeroyok Bogananta mandi darah dilanda
pedang.
Pada jurus keenam tadi dalam pertempuran satu lawan
satu, Manik Tunggul telah didesak hebat oleh Bogananta.
Kedua anak buahnya turun membantu dalam jurus
kesembilan mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini
dalam jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul didesak
hebat!
Pada saat Wiro Sableng berhasil merobohkan lagi dua
orang pengeroyoknya, maka pada saat itu pula terdengar
jeritan Manik Tunggul!
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua
tangan memegangi dada yang robek besar dibabat ujung
pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar
di tanah, detik itu pula nyawanya lepas!
"Jahanam!" teriak Pendekar 212. Dari mulutnya
terdengar suara bentakan menggeledek. Tubuhnya mele–
sat enam tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212
berkiblat memancarkan sinar putih dan menebar suara
bergaung.
"Ayah, awas!" teriak Sokananta.
Bogananta memang sudah melihat datangnya
sambaran senjata lawan. Dengan cepat dia angsurkan
pedang mustikanya ke depan untuk menangkis!
Trang!
Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan
Bogananta patah dan mental. Di kejap itu pula terdengar
lolongannya macam kerbau disembelih! Batang lehernya
hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke
tanah!
Wuut!
Satu sambaran angin mendera ke arah punggung
Pendekar 212. Wiro melompat ke muka dan balikkan
badan, sekaligus kiblatkan kapak. Yang menyerangnya
ternyata Tasbih Kumala!
"Manusia-manusia keparat!" kertak Wiro. "Satu nyawa
Manik Tunggul harus dibayar dengan nyawa kalian semua!"
Dari mulut Pendekar 212 kemudian terdengarlah
kumandang suara siulan yang menggidikkan bulu roma!
Jurus-jurus silatnya dengan serta merta berubah total. Tiga
pekikan terdengar, menyusul kemudian dua pekikan lagi!
Lima korban terhampar di tanah!
Kecutlah nyali Tasbih Kumala dan lebih-lebih
Sokananta. Hanya mereka berdua kini yang masih hidup!
Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek
Tasbih Kumala keluarkan seruan kesakitan. Lengan
kanannya yang memegang tasbih terbabat buntung.
Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak
Naga Geni 212 berbalik dan, cras! Terpisahlah kepala dan
badan Tasbih Kumala!
Lumerlah nyali Sokananta!
Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh
dan ambil langkah seribu!
"Jahanam cacingan! Kau mau minggat ke mana?!
Tempatmu toh di neraka!"
Wiro gerakkan tangan kirinya. Siap untuk lepaskan
pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya. Sebagai
gantinya dia lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh!
Tak ampun lagi tubuh Sokananta yang lari kencang itu
mendadak sontak menjadi kaku tegang!
Permani meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah
melepaskan totokan gadis itu. Kegelapan malam, angin
dingin yang mencucuki tulang-tulang sungsum, tebaran
mayat di mana-mana serta suara tangis Permani merupa–
kan hal-hal yang tidak enak bagi Wiro Sableng.
Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro kemudian
berkata, "Tak ada gunanya tangis itu, Permani. Tak ada
gunanya membuang-buang air mata lebih banyak! Kejadian
begini sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang
Kuasa. Masuklah ke dalam goa..."
Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka
kedua matanya. Setindak dia hendak melangkah ke mulut
goa, pandangannya membentur Sokananta yang tegak
kaku akibat totokan Wiro. Maka menggemuruhlah amarah
Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah keris yang
tersisip di pinggang ayahnya dan berlari ke arah Sokananta
seraya berteriak, "Bangsat! Kaulah yang jadi biang racun
segala-galanya!"
"Permani!" seru Sokananta dengan keras tapi gemetar.
"Ampunilah selembar nyawaku ini."
"Ini ampun untukmu!" teriak Permani garang dan keris
bereluk tujuh di tangan kanannya dihunjamkannya keras-
keras ke dada pemuda itu.
Sekejap lagi ujung keris akan menembus dada
Sokananta, sebuah tangan yang kuat mencekal lengan
Permani!
"Lepaskan tanganku!" teriak si gadis kalap.
Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu silat
serta memiliki tenaga dalam yang cukup ampuh agak
sukar juga bagi Wiro menahan gadis itu.
"Dengar Permani! Kematian dengan tusukan keris
seperti ini terlalu enak baginya!" kata Wiro. "Bangsat ini
musti diberi ganjaran yang setimpal...!"
Gelora amarah Permani menyurut. Dua bola matanya
memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia kemudian
maklum apa yang dikatakan Wiro adalah benar. Dilempar–
kannya keris di tangan kanan. Lalu dijambaknya rambut
Sokananta dan diseretnya ke dalam goa. Dengan rantai-
rantai besi yang dulu pernah mengikat Panuluh, Permani
membelenggu kedua tangan dan kaki Sokananta.
"Permani, kau mau bikin apa...?!" tanya Sokananta.
Keringat dingin membasahi sekujur badannya.
Gadis itu tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu
masuk lagi di tangannya ada seutas akar gantung
sepanjang satu setengah tombak. Permani putar-putarkan
akar gantung itu di atas kepalanya.
"Permani..."
Suara seruan Sokananta putus dilanda bunyi akar
gantung yang mendera dadanya. Pakaiannya yang bagus
robek, kulit dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan
kali di dalam goa itu terdengar suara cambukan-cambukan
yang dahsyat! Sokananta telah lama pingsan. Parasnya
hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang darah.
Pakaiannya robek-robek, sekujur kulit badannya pecah-
pecah bermandi keringat dan darah!
Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di
depan mulut goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi.
Kuburan Manik Tunggul yang berdampingan dengan
kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu
diletakkan dua buah batu besar dan pada batu itu dengan
dua ujung jari-jari tangannya Wiro telah menggurat nama
kedua orang itu.
"Kau akan kembali ke kota?" tanya Wiro Sableng yang
berdiri di samping Permani dan tengah memandangi dua
kuburan bertanah merah itu.
Si gadis gelengkan kepalanya.
"Memang tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih baik
terus langsung pulang ke kota kediamanmu..."
"Tidak, aku tak akan kembali pulang."
Wiro kernyitkan kening. "Lalu...?"
"Aku akan tinggal di sini. Akan bertapa di goa..."
Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia berkata, "Ibumu
akan susah bila kau tak kembali..."
"Setelah ayah meninggal, aku cuma sebatang kara di
dunia ini..."
"Jadi ibumu juga sudah meninggal?"
Permani mengangguk.
"Kau tak punya kerabat atau saudara?"
"Tidak..."
"Tapi hendak bertapa dalam umur semudamu ini betul-
betul belum masanya, Permani. Kau menyia-nyiakan masa
mudamu dan juga masa depanmu!"
"Masa muda dan masa depanku tak ada lagi sejak
orang yang kucintai masuk di bawah tumpukan tanah
merah itu..." sahut Permani dan butir-butir air mata ber–
jatuhan melewati kelopak kedua matanya.
Wiro Sableng menghela nafas. Sungguh sayang dara
secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi bagai–
mana dia bisa melarang? Diam-diam diperhatikannya
paras Permani dari samping dan ketika gadis itu memutar
kepala ke arahnya, pandangan mereka saling beradu untuk
beberapa lamanya.
"Dunianya Panuluh berakhir sampai di tempat ini,
Wiro," bisik Permani. "Aku akan tinggal di sini sampai
akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku pun akan
berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya..."
Wiro Sableng merasa terharu sekali. Betapa agungnya
nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda ini.
"Di samping bertapa, aku akan memperdalam ilmu silat
yang pernah diwariskan ayah..."
"Itu sudah semestinya..." kata Wiro perlahan. Hatinya
tetap menyayangkan keputusan gadis itu untuk tinggal di
goa itu dan bertapa sekalipun sambil memperdalam ilmu
silatnya.
"Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat. Setiap
kejahatan kadangkala dibarengi dengan ilmu yang tinggi-
tinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui
nasib buruk..."
Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu
tundukkan kepalanya dan untuk beberapa lamanya
suasana diliputi kesunyian.
"Aku akan mencuci tangan di anak sungai tak jauh dari
sini. Sebentar aku kembali..." kata Wiro.