"Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini.
Apakah kau sudi menjualnya?"
Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap
orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan
pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan
tersenyum lagi.
"Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi
sayang, lukisan ini bukan untuk dijual..."
Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu.
"Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja
harganya..."
Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
"Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual.
Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain."
"Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini," kata
Raden Mas Cokro.
"Menyesal sekali..."
"Akan kubeli lima puluh ringgit."
"Maaf Raden Mas..."
"Seratus ringgit!"
"Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun
tak dapat kukabulkan Raden Mas..."
"Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!"
Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain
dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling
pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu
bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga
yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak
sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati
keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si
orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya!
"Ini terimalah." kata Raden Mas Cokro seraya
mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang
ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya.
Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala.
"Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat
kujual Raden Mas. Mohon maafmu...
Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan
sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, "Apa dengan
harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada
Adipati Pamekasan?"
"Ah..." Si orang tua menjura dalam-dalam. "Tak tahunya
aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,"
katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya,
"Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati
Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan,
lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan
buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau
tak perlu membayar mahal... Kau pasti tak akan kecewa
Raden Mas..."
Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa.
Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke
dalam kereta.
"Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau,
orang tua. Di mana tempat tinggalmu?" tanya Raden Mas
Cokro lewat jendela kereta.
Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia
menjawab, "Aku seorang pengembara luntang lantung,
Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap.
Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku
akan antarkan sendiri ke Pamekasan..."
Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasa–
ran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintah–
kannya anak buahnya melanjutkan perjalanan!
Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan
pekerjaannya.
Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan
garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit!
Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua.
Betul-betul manusia ini aneh sekali!
Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang
berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok
tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua.
Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya
begitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini
tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng
memperhatikan dengan seksama.
Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek.
Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi
satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang
dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada
terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak
sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak
itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak
bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning
kelihatan menjorok ke luar.
"Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus
luar biasa!" berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola
matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang
tersandar di batu.
Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya
tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-
kata pada bagian bawah kanan lukisan itu.
"Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!" kata
si gemuk dengan suara keras lantang hingga menguman–
dang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam
jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini!
Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diper–
dulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah
mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya
di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi
tiada diambil perhatian oleh si orang tua!
"Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!"
bentak si gemuk.
Barulah orang tua itu berpaling.
Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik
ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit
senyum tersungging di bibirnya.
"Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini
aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis
Dari Selatan?"