Chereads / wiro sableng 212 " rahasia lukisan telanjang " / Chapter 2 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

Chapter 2 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

"Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini.

Apakah kau sudi menjualnya?"

Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap

orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan

pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan

tersenyum lagi.

"Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi

sayang, lukisan ini bukan untuk dijual..."

Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu.

"Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja

harganya..."

Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

"Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual.

Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain."

"Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini," kata

Raden Mas Cokro.

"Menyesal sekali..."

"Akan kubeli lima puluh ringgit."

"Maaf Raden Mas..."

"Seratus ringgit!"

"Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun

tak dapat kukabulkan Raden Mas..."

"Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!"

Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain

dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling

pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu

bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga

yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak

sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati

keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si

orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya!

"Ini terimalah." kata Raden Mas Cokro seraya

mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang

ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya.

Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala.

"Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat

kujual Raden Mas. Mohon maafmu...

Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan

sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, "Apa dengan

harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada

Adipati Pamekasan?"

"Ah..." Si orang tua menjura dalam-dalam. "Tak tahunya

aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,"

katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya,

"Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati

Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan,

lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan

buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau

tak perlu membayar mahal... Kau pasti tak akan kecewa

Raden Mas..."

Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa.

Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke

dalam kereta.

"Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau,

orang tua. Di mana tempat tinggalmu?" tanya Raden Mas

Cokro lewat jendela kereta.

Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia

menjawab, "Aku seorang pengembara luntang lantung,

Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap.

Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku

akan antarkan sendiri ke Pamekasan..."

Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasa–

ran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintah–

kannya anak buahnya melanjutkan perjalanan!

Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan

pekerjaannya.

Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan

garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit!

Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua.

Betul-betul manusia ini aneh sekali!

Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang

berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok

tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua.

Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranya

begitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini

tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng

memperhatikan dengan seksama.

Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek.

Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi

satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang

dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada

terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak

sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak

itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak

bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning

kelihatan menjorok ke luar.

"Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus

luar biasa!" berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola

matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang

tersandar di batu.

Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya

tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-

kata pada bagian bawah kanan lukisan itu.

"Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!" kata

si gemuk dengan suara keras lantang hingga menguman–

dang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam

jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini!

Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diper–

dulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah

mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya

di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi

tiada diambil perhatian oleh si orang tua!

"Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!"

bentak si gemuk.

Barulah orang tua itu berpaling.

Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik

ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit

senyum tersungging di bibirnya.

"Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini

aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis

Dari Selatan?"