Chereads / wiro sableng 212 " rahasia lukisan telanjang " / Chapter 7 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

Chapter 7 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

PENDEKAR 212 Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki

di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu

dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menj–

ura dan berkata, "Aku yang muda merasa beruntung sekali

dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan

penjuru angin."

Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan

yang tengah dipandangnya.

"Siapa namamu...?"

"Wiro."

"Apa kau punya gelar?"

Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab

dengan gelengan kepala.

Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi, "Kenapa kau

sembunyi di atas batu sana?"

"Aku tak ingin mengganggumu, orang tua."

"Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya."

Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh palingkan wajah

dan meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang

lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala.

"Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?" tanya Si

Pelukis Aneh.

"Bagus luar biasa," jawab Wiro Sableng.

Si Pelukis Aneh tertawa pendek.

"Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau

menerimanya...?"

Wiro berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah mena–

war lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak

menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui

kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih

dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya

atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si Pelukis

Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu

kepadanya!

Wiro menjawab, "Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku

yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu

yang bagus luar biasa ini?!"

Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya.

"Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,"

berkata Si Pelukis Aneh. "Apa yang kelihatan bagus itu

belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu...?"

Wiro anggukkan kepala.

"Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh

daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya

buruk?"

Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat

Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan

dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian

menunjuk ke arah gunung itu.

"Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?"

"Ya... ya..., aku lihat."

"Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan.

Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak

lebih daripada pohon-pohon besar liar, semak-semak

belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya."

Pelukis Aneh tertawa. "Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu

kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang

muda?"

Wiro Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab.

Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan

marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran.

Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-

senyum, "Pengalaman adalah guru yang paling baik dan

bijaksana bagi setiap manusia..."

Si Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras

si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandang lah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung

dan jurang batu.

"Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak

akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi

akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit

sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar.

Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat

macammu, Wiro!"

Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut

'bocah'. Maka bertanyalah Wiro, "Pelukis Aneh, siapakah

yang kau maksudkan dengan bocah itu?"

"Calon muridku!" jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian

ditelitinya lukisan di hadapannya.

Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan

perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa.

Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata.

Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga.

"Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli

lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak

menjualnya?" tanya Wiro.

Si Pelukis Aneh tertawa.

"Bacalah tulisan di sudut kanan bawah." katanya.

Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu

memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh

telanjang si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya

bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah

sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi:

Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira

Prakarsa.

Wiro manggut-manggut

"Calon muridmu itu, di manakah sekarang?"

"Tentu saja di rumahnya." sahut Si Pelukis Aneh.

"Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas

tahun baru dia kuambil jadi murid."

"Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak

kau serahkan padanya?" tanya Wiro tak mengerti,

"Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang muda."

Wiro maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian,

pendekar ini berkata pula, "Begitu selesai apakah lukisan

ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?"

Pelukis Aneh gelengkan kepala, "Aku tidak terlalu

bodoh." jawabnya. "Sekarang saja orang-orang jahat sudah

pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan

ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa

berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan."

"Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur

duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut

anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini

macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak

pada tempatnya...?!"

Si Pelukis Aneh tertawa.

"Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu

seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan

dunia, kita manusia ini tahu apa?!"

Wiro maklum kalau si orang tua adalah seorang yang

pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat

aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi

gelar Si Pelukis Aneh kepadanya!

"Wiro." berkata Pelukis Aneh. "Kalau aku tak salah raba

agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau

pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau

sebetulnya?"

Wiro Sableng merasa bimbang untuk mengatakannya

terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah

menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan.

Maka pendekar ini menjawab, "Manusia macamku ini

berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua."

Setelah bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro

Sableng minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di

kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa

perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar

212 Wiro Sableng teruskan perjalanannya dengan mem–

pergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul.

Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di

puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana bintang

malam bergerak cepat ke arah selatan.

Wiro hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas.

Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu adalah

dua orang manusia yang tengah berlari cepat. Wiro

memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit

di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah

berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana

sebelumnya Wiro berada. Akhirnya dua titik kuning itu

lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang

ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya

menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar!

Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi

yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya

mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke

gunung itu untuk melakukan perbualan yang tidak baik

terhadap Si Pelukis Aneh.

Wiro merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir

begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan

perjalanan namun langkah.yang dibuatnya tertahan-tahan

olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 memba–

likkan diri lalu berlari cepat kejurusan selatan.

Dua kali peminum teh baru Wiro Sableng sampai ke

tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya

Pendekar 212 sewaktu dia sampai di tempat itu!

Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya

laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada

menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang

terkatup rapat-rapat!

"Terkutuk!" desis Pendekar 212.

Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang

menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini

mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki

ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat

dari besi berlapiskan emas.

Benda-benda yang merupakan senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung racun yang

luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro melihat tubuh Si

Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru.

Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di

tangan kanan Si Pelukis Aneh yang sudah tidak bernyawa

itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah

kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini

mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang dilihatnya

sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan

lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah

terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara Si Pelukis

Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di

kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski

menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si

Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri

salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya

masih mencengkeran lengan itu!

Wiro Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan

perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari

situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si

Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri

perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh

meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia

harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua

itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat

yang baik mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil

tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa

jauh dari tepi jurang.

Cepat-cepat Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di

sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian compang-

camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut

besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan.

Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini

siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya

tolol sekali! "Namamu tentu Wira." tegur Pendekar 212.

Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu

memandang pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihat

tubuh Si Pelukis Aneh maka anak ini kembali menangis

lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan bagaimana dia

sampai berada di tempat itu.

Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak

memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa,

calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermain-

main di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian

kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah

seorang dari mereka langsung mendukungnya dan

membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan

orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di

mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh

calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia

memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis

Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning

itu menyerang calon gurunya.

Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu

bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menye–

rempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya

membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi!

Wiro maklum kini apa yang telah terjadi.

"Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?"

Wira Prakarsa menggeleng.

"Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan

sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan

itu?"

Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab

dengan masih sesenggukan. "Yang mendukungku matanya

cuma satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, ber–

mata besar merah dan tak punya kuping..."

Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu

dengan dua manusia macam itu, juga tak pernah mende–

ngar tentang ciri-ciri mereka sebelumnya.

"Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini

sebelum dia meninggal?"

"Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam

lukisan itu ada..." Si anak tarik kembali lidahnya dan tak teruskan bicara.

"Ada apa...?" tanya Wiro ingin tahu.

"Tidak, tak ada apa-apanya." Menyahuti si anak, lalu

kembali dia menangis.

Pendekar 212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di

dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada tersembunyi

satu rahasia besar yang cuma Si Pelukis Aneh dan calon

muridnya itu yang tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu

rahasia itu sehingga mereka menginginkan lukisan

tersebut? Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan

perempuan bertelanjang itu belaka? Tapi agaknya dua

manusia berpakaian kuning yang telah membunuh Si

Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan.

Mungkin sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang

terkandung dalam lukisan itu!

Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur

Si Pelukis Aneh maka Wiro Sableng mendukung Wira

Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang ke

rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani

miskin yang saat itu masih belum kembali dari ladangnya.

"Wira," kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si

anak. "Karena pemilik sah lukisan itu adalah kau, maka

aku akan mencarinya sampai dapat dan mengembalikan–

nya padamu..."

Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang

tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak

habis pikir bagaimana Si Pelukis Aneh telah memilih anak

yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat

pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang

tolol geblek maka segala pikiran yang bukan-bukan tentang

Si Pelukis Aneh maupun anak tadi segera lenyap.

"Kalau dia tolol karena dia masih anak-anak," ujar Wiro

dalam hati. "Aku yang sudah dedengkot begini rupa masih

sableng! Masih mending anak itu!"

Satu bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebo–

han. Tokoh-tokoh silat terkenal dari delapan penjuru angin

dan partai-partai persilatan berusaha keras untuk

mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang mengandung

rahasia besar. Siapa yang berhasil mendapatkan lukisan

itu dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti

akan sangat beruntung karena di dalam lukisan itu

terkandung semacam ilmu silat dan ilmu kesaktian yang

hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di delapan

penjuru angin!

Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut

Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh

silat. Terakhir sekali kabarnya kembali jatuh ke tangan

sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu bulan itu

telah belasan tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar

hancur lebur semua gara-gara lukisan perempuan telan–

jang yang mengandung rahasia besar itu!