PENDEKAR 212 Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki
di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu
dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menj–
ura dan berkata, "Aku yang muda merasa beruntung sekali
dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan
penjuru angin."
Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan
yang tengah dipandangnya.
"Siapa namamu...?"
"Wiro."
"Apa kau punya gelar?"
Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab
dengan gelengan kepala.
Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi, "Kenapa kau
sembunyi di atas batu sana?"
"Aku tak ingin mengganggumu, orang tua."
"Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya."
Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh palingkan wajah
dan meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang
lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala.
"Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?" tanya Si
Pelukis Aneh.
"Bagus luar biasa," jawab Wiro Sableng.
Si Pelukis Aneh tertawa pendek.
"Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau
menerimanya...?"
Wiro berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah mena–
war lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak
menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemui
kematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih
dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya
atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si Pelukis
Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu
kepadanya!
Wiro menjawab, "Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku
yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu
yang bagus luar biasa ini?!"
Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya.
"Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,"
berkata Si Pelukis Aneh. "Apa yang kelihatan bagus itu
belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu...?"
Wiro anggukkan kepala.
"Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh
daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya
buruk?"
Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat
Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan
dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian
menunjuk ke arah gunung itu.
"Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?"
"Ya... ya..., aku lihat."
"Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan.
Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak
lebih daripada pohon-pohon besar liar, semak-semak
belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya."
Pelukis Aneh tertawa. "Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu
kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang
muda?"
Wiro Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab.
Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan
marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran.
Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-
senyum, "Pengalaman adalah guru yang paling baik dan
bijaksana bagi setiap manusia..."
Si Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras
si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandang lah suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung
dan jurang batu.
"Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak
akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi
akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit
sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar.
Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat
macammu, Wiro!"
Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut
'bocah'. Maka bertanyalah Wiro, "Pelukis Aneh, siapakah
yang kau maksudkan dengan bocah itu?"
"Calon muridku!" jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian
ditelitinya lukisan di hadapannya.
Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan
perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa.
Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata.
Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga.
"Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli
lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak
menjualnya?" tanya Wiro.
Si Pelukis Aneh tertawa.
"Bacalah tulisan di sudut kanan bawah." katanya.
Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu
memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh
telanjang si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya
bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah
sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi:
Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira
Prakarsa.
Wiro manggut-manggut
"Calon muridmu itu, di manakah sekarang?"
"Tentu saja di rumahnya." sahut Si Pelukis Aneh.
"Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas
tahun baru dia kuambil jadi murid."
"Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak
kau serahkan padanya?" tanya Wiro tak mengerti,
"Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orang muda."
Wiro maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian,
pendekar ini berkata pula, "Begitu selesai apakah lukisan
ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?"
Pelukis Aneh gelengkan kepala, "Aku tidak terlalu
bodoh." jawabnya. "Sekarang saja orang-orang jahat sudah
pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan
ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa
berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan."
"Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur
duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut
anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini
macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak
pada tempatnya...?!"
Si Pelukis Aneh tertawa.
"Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu
seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan
dunia, kita manusia ini tahu apa?!"
Wiro maklum kalau si orang tua adalah seorang yang
pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat
aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi
gelar Si Pelukis Aneh kepadanya!
"Wiro." berkata Pelukis Aneh. "Kalau aku tak salah raba
agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau
pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau
sebetulnya?"
Wiro Sableng merasa bimbang untuk mengatakannya
terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah
menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan.
Maka pendekar ini menjawab, "Manusia macamku ini
berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua."
Setelah bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro
Sableng minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di
kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa
perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar
212 Wiro Sableng teruskan perjalanannya dengan mem–
pergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul.
Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di
puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana bintang
malam bergerak cepat ke arah selatan.
Wiro hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas.
Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu adalah
dua orang manusia yang tengah berlari cepat. Wiro
memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit
di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah
berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana
sebelumnya Wiro berada. Akhirnya dua titik kuning itu
lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang
ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya
menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar!
Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi
yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya
mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke
gunung itu untuk melakukan perbualan yang tidak baik
terhadap Si Pelukis Aneh.
Wiro merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir
begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan
perjalanan namun langkah.yang dibuatnya tertahan-tahan
olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 memba–
likkan diri lalu berlari cepat kejurusan selatan.
Dua kali peminum teh baru Wiro Sableng sampai ke
tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya
Pendekar 212 sewaktu dia sampai di tempat itu!
Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya
laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada
menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang
terkatup rapat-rapat!
"Terkutuk!" desis Pendekar 212.
Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang
menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini
mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki
ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat
dari besi berlapiskan emas.
Benda-benda yang merupakan senjata rahasia hebat ini pastilah mengandung racun yang
luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro melihat tubuh Si
Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru.
Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di
tangan kanan Si Pelukis Aneh yang sudah tidak bernyawa
itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah
kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini
mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang dilihatnya
sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan
lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah
terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara Si Pelukis
Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di
kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski
menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si
Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri
salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya
masih mencengkeran lengan itu!
Wiro Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan
perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari
situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si
Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri
perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh
meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia
harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua
itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat
yang baik mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil
tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa
jauh dari tepi jurang.
Cepat-cepat Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di
sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian compang-
camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut
besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan.
Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini
siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya
tolol sekali! "Namamu tentu Wira." tegur Pendekar 212.
Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu
memandang pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihat
tubuh Si Pelukis Aneh maka anak ini kembali menangis
lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan bagaimana dia
sampai berada di tempat itu.
Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak
memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa,
calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermain-
main di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian
kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah
seorang dari mereka langsung mendukungnya dan
membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan
orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di
mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh
calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia
memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis
Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning
itu menyerang calon gurunya.
Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu
bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menye–
rempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya
membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi!
Wiro maklum kini apa yang telah terjadi.
"Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?"
Wira Prakarsa menggeleng.
"Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan
sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan
itu?"
Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab
dengan masih sesenggukan. "Yang mendukungku matanya
cuma satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, ber–
mata besar merah dan tak punya kuping..."
Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu
dengan dua manusia macam itu, juga tak pernah mende–
ngar tentang ciri-ciri mereka sebelumnya.
"Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini
sebelum dia meninggal?"
"Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam
lukisan itu ada..." Si anak tarik kembali lidahnya dan tak teruskan bicara.
"Ada apa...?" tanya Wiro ingin tahu.
"Tidak, tak ada apa-apanya." Menyahuti si anak, lalu
kembali dia menangis.
Pendekar 212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di
dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada tersembunyi
satu rahasia besar yang cuma Si Pelukis Aneh dan calon
muridnya itu yang tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu
rahasia itu sehingga mereka menginginkan lukisan
tersebut? Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan
perempuan bertelanjang itu belaka? Tapi agaknya dua
manusia berpakaian kuning yang telah membunuh Si
Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan.
Mungkin sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang
terkandung dalam lukisan itu!
Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur
Si Pelukis Aneh maka Wiro Sableng mendukung Wira
Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang ke
rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani
miskin yang saat itu masih belum kembali dari ladangnya.
"Wira," kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si
anak. "Karena pemilik sah lukisan itu adalah kau, maka
aku akan mencarinya sampai dapat dan mengembalikan–
nya padamu..."
Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang
tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak
habis pikir bagaimana Si Pelukis Aneh telah memilih anak
yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat
pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang
tolol geblek maka segala pikiran yang bukan-bukan tentang
Si Pelukis Aneh maupun anak tadi segera lenyap.
"Kalau dia tolol karena dia masih anak-anak," ujar Wiro
dalam hati. "Aku yang sudah dedengkot begini rupa masih
sableng! Masih mending anak itu!"
Satu bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebo–
han. Tokoh-tokoh silat terkenal dari delapan penjuru angin
dan partai-partai persilatan berusaha keras untuk
mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang mengandung
rahasia besar. Siapa yang berhasil mendapatkan lukisan
itu dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti
akan sangat beruntung karena di dalam lukisan itu
terkandung semacam ilmu silat dan ilmu kesaktian yang
hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di delapan
penjuru angin!
Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut
Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh
silat. Terakhir sekali kabarnya kembali jatuh ke tangan
sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu bulan itu
telah belasan tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar
hancur lebur semua gara-gara lukisan perempuan telan–
jang yang mengandung rahasia besar itu!