PEREMPUAN iblis!" teriak ketua Partai Angin Timur
yang menggeletak di lantai pondok. "Kalian bunuhlah
kami! Biar kami bisa jadi setan dan mencekik batang
leher kalian!"
Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh.
"Nyalimu boleh juga, kunyuk sialan! Kalian minta
mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian memang tidak ber–
guna hidup lebih lama!"
Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki Ketua Partai
Angin Timur dan Jaliwarsa. Sekali kedua tangannya berge–
rak maka mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke
atas atap. Serentak dengan itu si nenek berseru, "Tukang-
tukang intip keparat, terima ini!"
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak
sangka kalau si nenek begitu lihai sehingga sudah
mengetahui kehadirannya bersama Dewa Tuak di atas
atap! Wiro dan Dewa Tuak cepat melompat ke samping.
Pada saat itu pula atap pondok bobol dihantam dua tubuh
yang dilemparkan Nenek Rambut Hitam! Tubuh Ketua
Partai Angin Timur menghantam sebuah pohon,
pinggangnya hancur dan jatuh ke tanah tanpa nyawa!
Kawannya menyangsang sebentar di sebuah pohon lain,
lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala pecah!
Maklum kalau tiga perempuan tua berbadan bungkuk
itu sudah mengetahui kedatangannya bersama Wiro, maka
Dewa Tuak segera melompat turun, masuk ke dalam
pondok lewat atap yang bobol. Wiro menyusul dan berdiri di
sampingnya. Kelima orang itu saling menyapu dengan
pandangan mata masing-masing. Diam-diam ketiga nenek
itu mengagumi kegagahan tampang Wiro Sableng
meskipun kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik
ketololan! Sedang masing-masing mereka sama kerenyi–
tkan kening sewaktu melihat Dewa Tuak membawa dua
buah bumbung bambu yang agaknya berisi cairan. Cairan
apa mereka tak bisa menduga.
"Siapa kau?!" tanya Nenek Rambut Hitam. "Dan kau
juga?!" katanya sambil goyangkan kepala pada Wiro
Sableng.
Dewa Tuak tak segera menjawab melainkan meng–
angkat salah satu dari bumbung bambu dan meneguk
isinya beberapa kali. Perlu diketahui kedua bumbung itu
tidak ditutup. Meski dibawa berlari bagaimanapun ken–
cangnya atau dibawa melompat namun satu tetes pun tuak
itu tidak tumpah. Ini adalah berkat kehebatan tenaga
dalam Dewa Tuak yang sudah mencapai tingkat kesem–
purnaannya!
Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena
pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum
bahwa si orang tua berjanggut itu bukan seorang yang bisa
dianggap remeh maka dia cuma memandang saja dengan
mata mendelik!
"Sobat-sobatku," kata Dewa Tuak kepada tiga orang
nenek, "Sebelum kita bicara-bicara apakah tidak lebih
bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini dulu?"
Nenek Rambut Hitam terkesiap seketika. Diperhati–
kannya orang tua di hadapannya lebih teliti. Kemudian,
"Kalau aku tak salah duga, apakah kau manusia yang
bergelar Dewa Tuak?!"
Dewa Tuak usut-usut janggutnya yang panjang sampai
ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi tuaknya beberapa
kali.
"Aku memang doyan tuak, tapi aku bukan dewa!"
"Sejak puluhan tahun belakangan ini kau lenyap dari
dunia persilatan! Tahu-tahu kini muncul unjukkan
tampang! Tentu ada yang menyebabkannya! Apakah kau
yang sudah tua karatan ini telah terlibat pula dalam urusan
mencari lukisan perempuan telanjang itu?!"
Dewa Tuak tertawa gelak-gelak.
"Rupanya di dalam otakmu hanya lukisan itu saja yang
teringat nenek bangkotan! Kita yang sudah tua-tua begini
bukan tempatnya lagi mengurus segala macam persoalan
duniawi!"
"Lantas perlu apa kau datang ke sini dan mengintip tak
tahu adat?! Dan cecunguk hijau ini apamu?!"
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya
disebul cecunguk hijau lalu tertawa geli!
"Orang muda! Nyalimu cukup besar untuk berani
tertawa di hadapanku!"
"Tertawa saja apa susahnya?!" ujar Wiro lalu tertawa
lagi lebih keras hingga pondok itu terdengar hebat!
Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak
buahnya. Tiada dinyana kalau si anak muda memiliki
tenaga dalam yang sehebat itu!
"Kau tanyakan dia?" ujar Dewa Tuak seraya tuding Wiro
dengan ibu jarinya. "Dia adalah calon mantuku yang tidak
jadi!" Lalu orang tua ini tertawa bekakakan sampai kedua
matanya berair.
Wiro cuma cengar-cengir mendengar ucapan Si Dewa
Tuak.
"Cepat terangkan mengapa kau berada di daerah ini?!"
Saat itu untuk pertama kalinya Nenek Baju Biru buka
suara, "Pemimpin, bukan tak mungkin bangsat-bangsat ini
tengah mencuri dengar percakapan kita tadi dengan Ketua
Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya mereka
akan dapat diam-diam mencuri dengar keterangan sarang
Sepasang Elmaut Kuning!"
Nenek Rambut Putih menimpali, "Bukan tak mungkin
pula mereka tahu banyak tentang soal lukisan itu,
pemimpin!"
Ucapan-ucapan anak buahnya itu termakan oleh Nenek
Rambut Hitam. Maka segera dia memerintah, "Rambut
Biru! Kau ringkus si tua bangka itu! Dan kau Rambut Putih,
bekuk cecunguk hijau itu!"
Nenek Rambut Biru memang lebih tinggi
kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia disuruh
meringkus Dewa Tuak.
"Perempuan-perempuan keriputan! Kalian betul-betul
tidak tahu adat!" gerutu Dewa Tuak lalu cepat-cepal
menyingkir ke samping kanan, mengelakkan totokan yang
dilancarkan Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak Dewa
Tuak angkat bumbung bambunya hingga ujungnya dengan
tiada terduga menyerang ke arah pinggang lawan!
Tapi Nenek Rambut Biru tidak berkepandaian rendah!
Penasaran melihat totokannya lewat, dengan satu jeritan
keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah pertem–
puran yang hebat.
Nenek Rambut Putih di lain pihak maju menghadapi
Wiro Sableng. Dengan memandang enteng dia lakukan
serangan dan sekali menyerang dia yakin akan sanggup
meringkus si pemuda hidup-hidup. Tapi alangkah terkejut–
nya ketika sambil tertawa lawannya berkelit dengan mudah
bahkan berkata mengejek, "Ah, jurus seperti ini telah
kulihat kau pergunakan untuk menyerang Si Pelukis Aneh!"
"Bocah hijau! Ada hubungan apa kau dengan Si Pelukis
Aneh?!" tanya Nenek Rambut Putih.
Wiro tertawa. Bukan dia menjawab pertanyaan si nenek
malah berkata, "Orang tua semacammu ini sepantasnya
banyak bikin ibadat dan sucikan diri! Bukannya malang
melintang bikin kejahatan dan ikut campur segala macam
urusan duniawi!"
"Kentut ingusan. Atas nasihatmu itu aku akan
hadiahkan jurus Ekor Naga Mematuk Cakar Garuda
Berkiblat! Terimalah!"
Gerakan si nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal
bayangan dan tahu-tahu tiga jari tangan kanannya
menotok ke dada, sedang lima jari kiri mencakar ke arah
muka. Cakaran yang datangnya lebih dulu itu sebenarnya
hanya tipuan belaka karena serangan yang sebenarnya
ialah totokan pada dada! Bila lawan coba hindarkan
mukanya dari cakaran maka kecepatan totokan tangan
akan ditambah dua kali lipat!
Dan celakanya Pendekar 212 kini kena tertipu!
Begitu melihat lima jari mencakar di depan hidung dia
segera buang kepala ke belakang dan kaki kanan menderu
ke arah si nenek. Namun di saat itu si nenek sudah
melesat ke samping, sedang tiga jari tangannya dengan
kecepatan luar biasa menderu ke arah dada Wiro Sableng!
Penasaran sekali karena dia tahu bahwa totokan yang
lihai itu tak mungkin dikelit maka Wiro hantamkan tangan
kanannya dari atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si
nenek berseru keras. Dia tersurut sampai dua tombak,
mukanya pucat bahkan terkejut.
Nenek Rambut Hitam segera maklum bahwa tenaga
dalam anak buahnya itu jauh rendahnya dari si pemuda. Ini
adalah satu hal yang tak pernah disangkanya. Dan ketika
dia memandang ke lengan Si Rambut Putih, lengan nenek-
nenek itu kelihatan bengkak membiru sedang lengan Wiro
Sableng hanya berbekas merah sedikit! Kemudian
dilihatnya pula pertempuran si rambut biru dengan Dewa
Tuak. Anak buahnya itu tengah dibikin sibuk bahkan
dipermainkan malah! Gusarlah Nenek Rambut Hitam.
Segera dia berseru, "Kalian berdua jangan bikin malu aku!
Kuberi kesempatan tiga jurus lagi! Jika kalian tak bisa
meringkus kunyuk-kunyuk itu, kalian akan tahu rasa!"
Mendengar seruan Si Rambut Hitam, Rambut Putih dan
Rambut Biru jadi takut sekali. Keduanya segera loloskan
setagen yang melilit di pinggang masing-masing lalu
menyerang dengan lebih sebat!
Dua setagen yang merupakan senjata ampuh itu tak
ubahnya laksana dua ekor ular besar yang meliuk-liuk
sebat kian kemari, kadang-kadang bergerak cepat mem–
belit pinggang, kadang-kadang menotok jalan darah
bahkan kadang-kadang mematuk ke arah kedua mata!
Dan semua itu terjadi bertubi-tubi laksana kilat. Betapapun
Wiro dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka,
namun tetap saja keduanya dibikin terdesak dan tak sang–
gup ke luar dari gulungan setagen lawan!