PENDEKAR 212 Wiro Sableng tengah berlari di antara
rapatnya pohon-pohon dan semak belukar di dalam
sebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan
santar menggeledek membentaknya.
"Berhenti!"
Wiro terkesiap dan hentikan larinya. Belum lagi dia
sempat berpaling tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di
hadapannya.
Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai ke
dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi
kiri kanan tergantung dua buah bumbung bambu.
"Dewa Tuak!" seru Pendekar 212. Hatinya gembira tapi
juga bersangsi. Manusia di hadapannya kelihatan tambah
tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski demi–
kian masih tetap tegap kuat (Tentang siapa adanya Dewa
Tuak ini harap baca serial Pendekar 212 yang kedua yaitu:
Maut Bernyanyi di Pajajaran). Wiro Sableng menjura dalam-
dalam.
Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu
mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk
tuak di dalamnya sampai lepas dahaganya.
Setelah menyeka mulutnya yang berselomotan tuak
maka Dewa Tuak berkata, "Beratus hari mencarimu, saat
ini baru bertemu!"
Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini masih
hendak melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa
menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk mengetahuinya
maka Wiro cepat-cepat bertanya, "Apakah kau masih juga
hendak memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak...?"
Dewa Tuak angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya
beberapa kali. Kemudian digelengkan kepalanya perlahan-
lahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya minuman
yang diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar
212 merasa lega sedikit. Namun demikian apa pula
gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah
beratus hari dia mencari-cari dirinya?
"Aku tahu... aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik!
Soal jodoh mana bisa dipaksakan?!" Dewa Tuak tertawa
gelak-gelak.
"Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini,
Dewa Tuak?"
"Kau sendiri tengah menuju ke mana Wiro?"
Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang mencari
lukisan perempuan telanjang yang tengah dihebohkan
dunia persilatan waktu itu.
Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan
berkata, "Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat
dalam mencari lukisan itu, orang muda?"
Wiro terkejut.
"Kunasihatkan padamu agar segera mengundurkan diri
saja. Lukisan itu hanya mendatangkan malapetaka, lain
tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya. Satu
partai besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau
juga ingin mati percuma hanya karena lukisan telanjang
itu?!"
"Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku,
Dewa Tuak..."
"Eh, sangkut paut bagaimana?" tanya Dewa Tuak
heran.
Maka Wiropun menuturkan pertemuannya dengan Si
Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu
calon murid Si Pelukis Aneh itu.
Dewa Tuak menarik nafas panjang.
"Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang muda.
Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu
kembali pada pemiliknya yang sah..."
Keduanya berdiam diri sebentar.
"Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang
muridmu?" tanya Wiro.
"Sudah... sudah! Aku gembira melihat dia kini berada
dan bertapa di Goa Dewi Kerudung Biru. Dia beruntung
sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid oleh
Dewi Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku
bertemu katanya dia hendak mempersuci diri, mengun–
durkan diri dari segala urusan duniawi."
Wiro Sableng termenung mendengar keterangan Dewa
Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat,
berdua-duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu.
"Sekarang marilah ikut aku," kata Dewa Tuak.
"Ikut ke mana Dewa Tuak?"
"Ikut sajalah."
"Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau
sendiri sudah maklum."
"Justru aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang
ada sangkut pautnya dengan lukisan yang tengah kau cari
itu!" ujar Dewa Tuak.
Mendengar ini maka Wiro tidak membantah. Keduanya
segera meninggalkan tempat itu memasuki lebih dalam
rimba belantara yang jarang didatangi manusia!
Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai di bagian
rimba belantara yang paling lebat. Pohon-pohon sangat
besar dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang sunyi
sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya
daun-daun pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti
di malam hari layaknya!
Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang
tinggi. Wiro sampai di cabang dan berdiri di samping Dewa
Tuak, terkejutlah dia. Sekira dua puluh tombak di bawah
sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang beratap
rumbia.
"Pondok siapakah itu?" tanya Wiro.
Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu
dengan suara perlahan dia berbisik, "Ikut aku dan jangan
keluarkan suara!"
Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang
lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat
di atas wuwungan atap rumbia tanpa keluarkan suara
sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah berada
pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat
namun tanpa mereka mengandalkan ilmu meringankan
tubuh pastilah atap itu akan roboh!
Dewa Tuak membungkuk dan dengan hati-hati mem–
buat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar
Wiro melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu
lubang di atas atap itu. Keduanya kemudian mengintai ke
dalam pondok.
Karena di dalam pondok agak gelap maka mula-mula
Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya yang meng–
intai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam
legam berdiri terbungkuk-bungkuk di sudut pondok. Kedua
matanya meram tapi mulutnya yang kempot berkomat-
kamit.
Wiro hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa
adanya nenek-nanek itu tapi dia khawatir suaranya
terdengar oleh si nenek maka lantas dia pergunakan ilmu
menyusupkan suara. Namun belum sempat dia ajukan
pertanyaan mendadak pintu pondok terpentang lebar dan
dua orang masuk ke dalam. Keduanya ternyata nenek-
nenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut
biru, yang kedua berambut putih. Di bahu masing-masing
memanggul dua sosok tubuh yang agaknya telah ditotok
kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih
kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan
lain Nenek Rambut Putih yang sebelumnya telah dilihatnya
di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan lainnya itu
pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam!
"Pemimpin!" ujar Nenek Rambut Biru, "Inilah bangsat-
bangsat yang kau inginkan itu!"
Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi pemimpin
kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedua
laki-laki yang menggeletak di muka kakinya.