Chereads / wiro sableng 212 " rahasia lukisan telanjang " / Chapter 8 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

Chapter 8 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

PENDEKAR 212 Wiro Sableng tengah berlari di antara

rapatnya pohon-pohon dan semak belukar di dalam

sebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan

santar menggeledek membentaknya.

"Berhenti!"

Wiro terkesiap dan hentikan larinya. Belum lagi dia

sempat berpaling tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di

hadapannya.

Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai ke

dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi

kiri kanan tergantung dua buah bumbung bambu.

"Dewa Tuak!" seru Pendekar 212. Hatinya gembira tapi

juga bersangsi. Manusia di hadapannya kelihatan tambah

tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski demi–

kian masih tetap tegap kuat (Tentang siapa adanya Dewa

Tuak ini harap baca serial Pendekar 212 yang kedua yaitu:

Maut Bernyanyi di Pajajaran). Wiro Sableng menjura dalam-

dalam.

Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu

mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk

tuak di dalamnya sampai lepas dahaganya.

Setelah menyeka mulutnya yang berselomotan tuak

maka Dewa Tuak berkata, "Beratus hari mencarimu, saat

ini baru bertemu!"

Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini masih

hendak melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa

menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk mengetahuinya

maka Wiro cepat-cepat bertanya, "Apakah kau masih juga

hendak memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak...?"

Dewa Tuak angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya

beberapa kali. Kemudian digelengkan kepalanya perlahan-

lahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya minuman

yang diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar

212 merasa lega sedikit. Namun demikian apa pula

gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah

beratus hari dia mencari-cari dirinya?

"Aku tahu... aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik!

Soal jodoh mana bisa dipaksakan?!" Dewa Tuak tertawa

gelak-gelak.

"Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini,

Dewa Tuak?"

"Kau sendiri tengah menuju ke mana Wiro?"

Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang mencari

lukisan perempuan telanjang yang tengah dihebohkan

dunia persilatan waktu itu.

Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan

berkata, "Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat

dalam mencari lukisan itu, orang muda?"

Wiro terkejut.

"Kunasihatkan padamu agar segera mengundurkan diri

saja. Lukisan itu hanya mendatangkan malapetaka, lain

tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya. Satu

partai besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau

juga ingin mati percuma hanya karena lukisan telanjang

itu?!"

"Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku,

Dewa Tuak..."

"Eh, sangkut paut bagaimana?" tanya Dewa Tuak

heran.

Maka Wiropun menuturkan pertemuannya dengan Si

Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu

calon murid Si Pelukis Aneh itu.

Dewa Tuak menarik nafas panjang.

"Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang muda.

Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu

kembali pada pemiliknya yang sah..."

Keduanya berdiam diri sebentar.

"Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang

muridmu?" tanya Wiro.

"Sudah... sudah! Aku gembira melihat dia kini berada

dan bertapa di Goa Dewi Kerudung Biru. Dia beruntung

sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid oleh

Dewi Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku

bertemu katanya dia hendak mempersuci diri, mengun–

durkan diri dari segala urusan duniawi."

Wiro Sableng termenung mendengar keterangan Dewa

Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat,

berdua-duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu.

"Sekarang marilah ikut aku," kata Dewa Tuak.

"Ikut ke mana Dewa Tuak?"

"Ikut sajalah."

"Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau

sendiri sudah maklum."

"Justru aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang

ada sangkut pautnya dengan lukisan yang tengah kau cari

itu!" ujar Dewa Tuak.

Mendengar ini maka Wiro tidak membantah. Keduanya

segera meninggalkan tempat itu memasuki lebih dalam

rimba belantara yang jarang didatangi manusia!

Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai di bagian

rimba belantara yang paling lebat. Pohon-pohon sangat

besar dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang sunyi

sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya

daun-daun pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti

di malam hari layaknya!

Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang

tinggi. Wiro sampai di cabang dan berdiri di samping Dewa

Tuak, terkejutlah dia. Sekira dua puluh tombak di bawah

sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang beratap

rumbia.

"Pondok siapakah itu?" tanya Wiro.

Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu

dengan suara perlahan dia berbisik, "Ikut aku dan jangan

keluarkan suara!"

Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang

lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat

di atas wuwungan atap rumbia tanpa keluarkan suara

sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah berada

pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat

namun tanpa mereka mengandalkan ilmu meringankan

tubuh pastilah atap itu akan roboh!

Dewa Tuak membungkuk dan dengan hati-hati mem–

buat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar

Wiro melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu

lubang di atas atap itu. Keduanya kemudian mengintai ke

dalam pondok.

Karena di dalam pondok agak gelap maka mula-mula

Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya yang meng–

intai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam

legam berdiri terbungkuk-bungkuk di sudut pondok. Kedua

matanya meram tapi mulutnya yang kempot berkomat-

kamit.

Wiro hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa

adanya nenek-nanek itu tapi dia khawatir suaranya

terdengar oleh si nenek maka lantas dia pergunakan ilmu

menyusupkan suara. Namun belum sempat dia ajukan

pertanyaan mendadak pintu pondok terpentang lebar dan

dua orang masuk ke dalam. Keduanya ternyata nenek-

nenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut

biru, yang kedua berambut putih. Di bahu masing-masing

memanggul dua sosok tubuh yang agaknya telah ditotok

kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih

kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan

lain Nenek Rambut Putih yang sebelumnya telah dilihatnya

di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan lainnya itu

pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam!

"Pemimpin!" ujar Nenek Rambut Biru, "Inilah bangsat-

bangsat yang kau inginkan itu!"

Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi pemimpin

kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedua

laki-laki yang menggeletak di muka kakinya.