Chereads / As Good As It Gets / Chapter 12 - 11

Chapter 12 - 11

Demoy memejamkan matanya sambil menarik nafas dalam-dalam, membayangkan aroma laut merasuki setiap saraf penciumannya gak lama setelah tatapannya terpaku ke arah layar laptopnya. Gak lama, cewek itu menautkan kedua telapak tangannya dan memasang senyum terbaiknya.

Keputusannya bulat. Apalagi setelah berkutat dengan berbagai bahan materi dan inspirasi dari Mbah Google, akhirnya Demoy bisa bernafas lega. Malah saking leganya, Deandra gak sabar untuk segera terjun ke lapangan demi menyusun skripsinya.

"Demoy ..."

Demoy menoleh begitu mendengar suara khas barusan dan menemukan Abe dengan tatapan teduhnya kayak biasa.

"Lo udah pulang? Kok cepet meetingnya?"

"Kenapa kamu senyam senyum begitu?"

Abe menyipitkan matanya dan menjatuhkan bokongnya di sofa kosong di hadapan Demoy sambil melonggarkan ikatan dasinya. Cara Demoy yang tersenyum lebar begitu bisa dihitung pake jari, dan biasanya cuma ada dua kemungkinan kalo Demoy sampe senyum selebar itu. Menang undian ato baru aja nerima transferan dua digit dari Daddy.

"Kamu habis menang undian apaan?"

"Apaan sih?" Demoy menatap kembali layar laptopnya. Mood hepinya barusan langsung ambyar. "Siapa juga yang menang undian. Sotoy!"

"Lah kok sotoy? Kan biasanya emang cuma ada dua kemungkinan kamu senyum selebar itu. Menang undian ato Daddy transfer kamu uang. Nah barusan kamu ngelak soal menang undian, berarti tinggal kemungkinan terakhir. Daddy transfer kamu uang. Ya kan?"

Demoy menggelengkan kepalanya sambil memanyunkan bibirnya. Beneran deh. Bisa gak sih Abe nih gak usah ngerusak mood semangat Demoy yang udah susah payah dibangunnya?

"Lo tuh bisa gak sih gak usah sotoy?"

"Aku tuh gak sotoy, Demoy sayangku. Kan aku nanya tadi. Kamu ini loh ngegemesin ya. Sini aku cium."

"Dih ogah! Lo pikir gue cewek apaan yang gampang lo sosor seenak jidat lo?"

PLETAK!

Abe menyentil jidat Demoy saking gemesnya lalu tertawa renyah. Apalagi ditambah sama ekspersi muka Demoy yang semakin terlihat menggemaskan dengan bibir manyunnya itu.

"Apaan sih nyentil-nyentil? Sakit tau. Mana lo belom cuci tangan. Sana mendingan mandi daripada nyentil-nyentil gak jelas! Ntar yang ada muka gue jadi jerawatan gara-gara terkontaminasi sama tangan lo."

"Gak gitu juga lah, Demoy. Kalo muka kamu jerawatan ya gak apa-apa. Aku tetep cinta kok, dan pastinya tetep aku manjain dong. Aku bakal suruh kamu sering-sering ke klinik skincare."

"Pretlah! Dasar modus. Rayuan lo gak mempan di gue, Be."

"Trus apaan dong yang mempan di kamu?"

"Udah sana ah! Buruan mandi. Pokoknya jangan deket-deket gue lagi kalo lo belom mandi!"

CUP!

Abe mendaratkan ciuman kilatnya di puncak kepala Demoy dan membiarkan cewek itu diem beberapa saat sebelom akhirnya teriakan tujuh oktafnya terdengar nyaring.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAABBBBBBBBBBBBBBBBBBBBEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE!!!"

Abe gak menjawab. Cowok itu cuma memasang senyum terbaiknya sesaat sebelom akhirnya beranjak ke kamar mandi.

*

"Demoy!"

Demoy menatap Abe dengan kesal. Keindahan pantai dan laut yang dari tadi memenuhi lamunanya lagi-lagi ambyar gara-gara Abe. "Apaan lagi sih?"

"Kok apaan sih? Aku panggil-panggil kamu daritadi malah dicuekin.", protes Abe setengah bete. "Kamu kenapa sih? Ngelamun terus daritadi aku perhatiin. Nanti kesambit jin botol loh!"

"Biarin aja kesambit jin botol, daripada kesambit sama lo. Amit-amit jabang bayi."

KRIIIINGGG!!

Belom sempet Abe menjawab omongan Demoy barusan, sebuah suara dering telepon mau gak mau bikin Abe menoleh ke arah asal suara. Dan tatapannya tertegun sepersekian detik begitu membaca nama sang penelepon.

"Sí, Junno. ¿Lo que está mal? (Ya, Junno. Ada apa?)"

"He enviado el informe como lo solicitó. Y hay varios documentos que tienes que firmar. (Saya udah kirimkan laporan seperti yang Bapak minta. Dan ada beberapa dokumen yang harus Bapak tandatangan.)"

"Bueno. Entrégaselo a Martin y luego deje que Martin me entregue los documentos. (Oke. Kamu serahin aja ke Martin, nanti biar Martin yang anter dokumen-dokumen itu ke saya.)"

"Y hay una cosa más, señor. El director ejecutivo de The Galley también quiere conocerte. Dijo que había cosas importantes que querías discutir contigo. (Dan ada satu hal lagi, Pak. CEO The Galley juga mau ketemu Bapak. Katanya ada hal penting yang mau dibicarakan sama Bapak.)"

Abe mengangguk-anggukan kepalanya sambil melirik selintas ke arah Demoy lalu memasang senyum simpulnya dan berdehem sejenak. "Bueno. Gracias, Junno. (Oke. Terima kasih, Junno.)"

Gantian, sekarang Junno yang memasang senyum simpulnya meskipun dia tau kalo Abe gak melihatnya. "De nada."

"Oh, sí, de ahora en adelante, puedes coordinar todos los asuntos laborales con Martin. Así que más tarde deja que Martin siempre me informe. (Oh ya, mulai saat ini, semua urusan pekerjaan, bisa kamu koordinasikan dengan Martin. Jadi nanti biar Martin yang selalu laporan ke saya.)"

-CLICK-

Abe mematikan sambungan teleponnya tanpa membiarkan Junno menjawab omongannya barusan. Kepalanya mendadak pusing. Bukan pusing sama beberapa kerjaan yang barusan dikasih tau Junno, tapi pusing sama kelakuan Junno. Gak tau kenapa, Abe merasa kalo Junno sengaja cari alasan untuk bikin Abe pulang ke Spanyol dan selalu cari kesempatan untuk mengganggu waktunya di saat lagi sama Demoy begini. Huh!

"Be .." Suara khas Demoy bikin Abe menoleh. "Kita di sini berapa hari lagi?"

"Sekitar tiga hari. Kenapa? Kamu mau jalan-jalan?"

Demoy mengangguk cepat. "Boleh?"

"Boleh. Kamu mau jalan-jalan kemana?"

*

Abe menjambak rambutnya saking frustasinya. Udah aja gagal rencana mau jalan-jalan berdua sama Demoy, eh sekarang Demoy malah ngasih ide yang bener-bener gak masuk akal. Apa-apaan coba maksudnya?

"DEMOY! Kamu bisa gak sih gak usah bantah terus? Kalo kamu begini terus, kapan kamu lulusnya?!"

"Be, sekarang gini. Dari tadi gue kan udah bilang. Gue pengen topik skripsi gue soal resort yang berkonsep ruang terbuka. Dan lo juga tau kan kalo gue suka sama pemandangan pantai. Jadi apa salahnya sih kalo gue ambil topik ini? Lagipula, kan lo sendiri yang nyuruh gue buat lulus kuliah dalam waktu tiga bulan."

Abe menghela nafas. Kepalanya makin lama makin senut-senut. Apalagi ditambah sama rasa panas yang mulai merambat naik. Rasanya bener-bener bikin ubun-ubun kepalanya kayak mau pecah.

"Ya tapi bukan gini caranya, Demoy. Ini sama aja kamu sengaja ngulur waktu sampe kamu bener-bener bakal di DO dari kampus."

"Terserah apa kata lo. Pokoknya gue mau topik skripsi gue soal resort berkonsep ruang terbuka di Pulau Bawah. Titik."

"Gak. Kamu denger kan aku bilang apa daritadi? Kalo aku bilang gak, ya enggak. Kamu bebas pilih topik skripsi yang lain, kecuali yang ini. Lagian nih ya, Pulau Bawah ini tuh jauh. Ini di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, Demoy. Bukan di Jakarta, Bali ato Seville sekalipun!"

"Trus kenapa kalo di Kepulauan Anambas? Masalah buat lo?"

"DEMOOY!!!"

"Bodo amat. Lo mau suka ato enggak, gue gak peduli. Gue tetep bakal ambil topik ini. Titik!"

Demoy beranjak pergi meninggalkan Abe begitu aja.

*

Abe mengendarai mobilnya dengan sedikit nggas. Smartphonenya daritadi gak berhenti berbunyi. Mungkin udah puluhan panggilan telepon dan pesan yang belum dibukanya. Dia bener-bener berusaha mendinginkan emosinya setelah kejadian barusan. Abe sadar, sebagai seorang calon suami seharusnya dia bisa lebih mendukung apapun keputusan Demoy. Apalagi kalo itu berhubungan dengan skripsi dan masa depan Demoy. Bukan malah menentangnya begini.

Tapi Abe gak salah sepenuhnya. Dia tau Demoy. Dia kenal Demoy luar dalem. Bukan apa-apa. Sebenernya sih bisa aja Abe langsung setuju sama rencana Demoy buat observasi skripsi di Kepulauan Anambas, tapi .. Ah entahlah!

Drtdrt ...

Abe merasakan smartphonenya bergetar lagi. Martin's Calling ..., begitulah yang tertera di layar.

Abe memasang headset bluetooth dan menerima panggilan itu. "Ya halo?" Terdengar suara bass khas Abe membuka perbincangan via telepon dengan lawan bicaranya. "Ada apa, Martin?"

"Hay un problema serio, Jefe. (Ada masalah serius.)", sahut Martin dengan suara cemas.

"Masalah serius apa, Martin?"

"Quiero informarle si nuestra sucursal en Jogja está en serios problemas, Señor, y su nombre ha sido arrastrado. (Saya mau kasih tahu kalau cabang kita di Jogja sedang dalam masalah serius pak, dan nama Bapak sudah diseret.)"

"¿Qué quieres decir? Primero trata de calmarte y luego explícamelo. ¿Cuál es el problema? (Maksud kamu gimana? Coba kamu tenang dulu, baru jelasin ke saya. Sebenernya ada masalah apa?)"

"Recargo del presupuesto del proyecto, Jefe. Me acabo de enterar cuando acabo de terminar la reunión con los auditores Tenemos que actuar rápido porque si no, nuestra sucursal en Jogja inevitablemente estará en problemas. (Mark-up anggaran proyek, Pak. Saya baru tau pas barusan selesai rapat dengan auditor, Pak. Kita harus bergerak cepat karna kalo enggak, cabang kita yang di Jogja mau gak mau bisa bermasalah Pak.)"

Hah? Mark up anggaran?! Abe memijit keningnya. Buat apaan juga dia capek-capek mark up anggaran proyek. Toh aset-asetnya gak bakal abis dimakan dalam tujuh turunan dan tujuh tanjakan!

"Bueno. Envíame los datos, déjame comprobar y estudiar esta noche. (Oke. Kirimkan ke saya data-datanya, biar saya cek dan pelajari dulu malam ini.)"

-CLICK-

*