Chereads / As Good As It Gets / Chapter 15 - 14

Chapter 15 - 14

Pagi baru aja memulai hari. Mentari pun mulai beranjak dari singgasana semesta di ufuk timur seiring dengan nyanyian merdu dari burung-burung kecil di atas ranting pohon. Begitupun dengan birunya langit yang mulai terhampar luas dengan beberapa awan yang bergerak pelan dan semilir angin yang berhembus.

Demoy membuka matanya sambil melakukan sebuah gerakan streaching sebelom akhirnya menyandarkan punggungnya di kursi kerja yang dari semalem didudukinya. Rasa perih di kedua kelopak matanya membuatnya tersadar tentang kepingan kejadian semalem.

Demoy menyambar ponselnya tanpa minat. Lalu di detik berikutnya, tatapannya terpaku saat sesuatu muncul di layar ponselnya. Abe meneleponnya sampe lima kali berturut-turut?

Gak tau mendapat dorongan darimana, Demoy langsung meng-tab layar ponselnya, membuka sebuah pesan WA. Dari Abe.

Abe : Yank .. kamu udah tidur? Tadi kamu telpon ya? Maaf .. aku gak denger tadi. Me haces falta (i miss you).

Demoy memasang senyum tipisnya tanpa sadar. Abe masih Abe-nya yang dulu, yang gak pernah bosan bilang rindu ke Demoy. Namun kali ini, kata rindu itu menimbulkan sesuatu di relung hati Demoy.

Wait!! Abe masih Abe-nya yang dulu? Sejak kapan Demoy menyebut Abe dengan Abe-nya? huh! Pasti ada yang konslet sama otak Demoy.

Ah entahlah! Demoy sama sekali gak tau perasaan apa itu. Satu-satunya yang dia tau, saat ini, perasaannya ke Abe sama persis kayak lagu berjudul When You Blow-nya Kwon Minje yang pernah Demoy denger saat di kost an Rania.

----------

Nunchichaeji mothage geunyang na useoyo

Eoje he-eojin sarami matgin mannyago.

Geujeo ireoke maneun siganeul bonaemyeon

Da ichyeojil jul arasseonneunde

Nuneul gamgo geudael tteo-ollyeo sangsanghaebomyeon

Geumbangirado naege doraol geonman gataseo.

Baramcheoreom bunda bunda nae gaseume

Tto gangmulcheoreom heulleo heulleo naege onda.

Ijen doragal sudo ijeul sudo eomneun sarang

Bunda bunda nae gaseume.

Domanggado ttokgata sumeodo ttokgata

I sarangeun nal chajanaeneunde.

Neoreul hyanghan maeumeul datgo sarabojiman

Chu-eogiraneun ireume dachin i maeum yeollyeoseo.

Baramcheoreom bunda bunda nae gaseume

Tto gangmulcheoreom heulleo heulleo naege onda.

Ijen doragal sudo ijeul sudo eomneun sarang

Bunda bunda nae gaseume.

Kkeunnaji aneun yaegi gataseo

Oneuldo neoman chatgo ireoke neoman gidarijana.

Baramcheoreom bunda bunda nae gaseume

Tto gangmulcheoreom heulleo heulleo naege onda.

Ijen doragal sudo ijeul sudo eomneun sarang

Bunda bunda nae gaseume.

Bureo-onda nae maeume

----------

*

Demoy menghela nafas pelan sambil melipat kedua tangannya di depan dada sambil memandangi beberapa kopernya yang udah tersusun rapi. Hari ini Demoy harus pulang ke Jakarta dan berkutat kembali dengan bimbingan skripsi yang udah masuk tahap akhir. Tahap persetujuan dari kedua dosen pembimbingnya.

Ya Tuhan! Demoy sama sekali gak tau harus menyebut ini sebagai hadiah, anugerah, ato malah musibah? Tiga bulan yang lalu yang awalnya Demoy pikir bakal selama tiga abad itu malah sekarang kayak tiga menit yang bakal segera berakhir begitu aja.

-Drtdrtdrt-

Demoy menyambar ponselnya dari atas nakas tanpa minat, namun gak lama kemudian cewek itu tersenyum tipis tanpa sadar begitu melihat nama si penelepon. Abe.

"Ya halo?" Terdengar suara khas Demoy. "Tumben telepon. Masih inget gue?"

Abe tertawa renyah. Hampir tiga bulan semenjak pulang dari Shanghai, Abe gak mendengar suara sinis Demoy. Sesuatu yang amat sangat dirindukannya. "Siempre me acuerdo de ti."

Demoy menghela nafas bete. Abe dan segala hal yang selalu bikin Demoy bete IS BACK! "Be, lo tau kan kalo gue gak bisa bahasa Spanyol? Please deh. Ngomong pake bahasa Indonesia aja sih."

Lagi, Abe tertawa. "Iya deh iya. Maaf."

"Gak gue maafin sampe lo jawab pertanyaan gue tadi. Lo masih inget sama gue?"

"Kan udah aku jawab, Demoy. Siempre me acuerdo de ti. Kalo di-translate ke bahasa Indonesia, artinya, aku selalu inget kamu."

"Gombal."

"Loh aku gak boong loh, Yank. Siempre te recuerdo. Aku emang selalu inget kamu."

"Kalo inget sama gue, kenapa gak pernah telepon gue? Mentang-mentang skripsi gue udah mau selesai trus lo sengaja gitu mau mutusin gue sebelom gue resmi bilang kita putus tunangan?"

Abe mengunci mulutnya rapat-rapat. Nafasnya tercekat. Gak tau kenapa hatinya terasa sakit. Sesuatu yang selama ini berusaha diabaikannya malah mencelos keluar begitu aja saat mendengar omongan Demoy barusan. Padahal Abe nyaris melupakan soal janjinya ke Demoy. Huh! Kenapa sih Demoy harus mengingatkannya lagi?

"Kok diem?", tantang Demoy kesel. "Jawab dong!"

Abe menghela nafas pelan lalu memejamkan matanya begitu merasakan sesuatu yang mencelos dari ruang hatinya. "Tú eres quien nos pidió que rompiéramos este compromiso, aunque sabes claramente que nunca te dejaré. No quise olvidarte y no quise no hacértelo saber desde que regresé de Shanghai. aquí, realmente tengo un problema. Mi empresa tiene problemas. Lo siento si te hice sentir como si te estuviera evitando deliberadamente, Yank."

"Be ..", sela Demoy.

"I know what you want to say.", sahut Abe lirih. "Kamu yang minta kita buat putus dari pertunangan ini padahal kamu jelas-jelas tau kalo sampe kapanpun aku gak bakal pernah ninggalin kamu. Aku gak bermaksud untuk lupain kamu dan sama sekali gak bermaksud untuk gak kasih kabar ke kamu dari semenjak pulang dari Shanghai. Di sini, aku bener-bener ada masalah. Perusahaan aku lagi ada masalah. Aku minta maaf kalo udah bikin kamu ngerasa seolah aku sengaja menghindar dari kamu, Yank."

Gantian, sekarang giliran Demoy yang mengunci mulutnya rapat-rapat. Dia sama sekali gak tau harus gimana. Apalagi sekarang hatinya malah menginginkan hal yang sebaliknya.

"Anyway, gimana sama skripsi kamu?", lanjut Abe berusaha mencairkan suasana canggung di antara mereka sekaligus mengalihkan topik pembicaraan. "Kapan sidang?"

Demoy menghela nafas pelan, lalu menjatuhkan bokongnya di sofa dan menatap koper-kopernya lekat-lekat. "Minggu depan sidang.", sahut Demoy lirih. "Doain ya, Be."

"Good luck ya, Yank. Doaku selalu menyertai kamu, even setelahnya di antara kita gak ada hubungan apa-apa lagi."

Demoy menggigit bibir bawahnya sampe bedarah. Gak tau kenapa hatinya terasa sakit saat mendengar omongan Abe barusan. "Be .."

"I know. Kamu tenang aja. Aku bakal tepatin janji aku ke kamu buat bubaran. As long as it makes you happy."

Demoy mendesah pelan. Untuk sesaat cewek itu jadi galau sendiri. Di satu sisi, Demoy terlanjur pengin hubungannya dengan Abe berakhir sampe di sini. Tapi di sisi lain, cewek itu mulai menginginkan hal sebaliknya. Demoy pengin Abe selalu ada di sisinya sampe kapanpun. "Be, sebenernya ada yang mau gue omongin sama lo."

"Soal apa?"

"Soal hubungan kita."

"Aku tau, Yank. Kamu mau mempertegas lagi kan soal kita putus? Tenang aja, Yank. Kamu tau kan aku selalu kasih dan nurutin apapun keinginan kamu. Dan kamu juga harus tau satu hal. Apapun hubungan kita nanti, entah bakal jadi temen ato jadi musuh setelah putus, I'll always be there whenever you need me. Jadi kamu gak usah takut bakal ngerasa sendirian ato gimana.", sahut Abe pelan. Dan tenang. Ralat - berusaha setenang mungkin meskipun rasa sesak memenuhi rongga dadanya.

-CLICK-

Demoy gak menjawab.Cewek itu malah mematikan sambungan teleponnya. Lalu menangis diam-diam. Untuk pertama kalinya, Demoy menangis karna Abe.

*

Demoy menghela nafas sambil duduk di anak tangga ketiga dari bawah. Rambutnya acak-acakan. Tampangnya lusuh. Penampilannya sekarang ini beda banget sama yang biasanya terlihat - rapi, wangi, rambut selalu rapi walopun cuma dikuncir ekor kuda.

Demoy sama sekali gak nyangka bakal merasa de javu kayak sekarang. Rasanya baru kemaren dia berada di momen kayak sekarang, tapi ternyata time flies so fast. Tau-tau udah tiga bulan berlalu dan drama perkuliahan tingkat akhirnya bakal selesai. Dalam waktu seminggu ke depan, dia bukan lagi Demoy yang dulu, tapi bakal ada gelar sarjana yang disematkan di belakang namanya.

Demoy memandangi setumpuk kertas yang udah terjilid rapi lekat-lekat sebelom akhirnya cewek itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suasana sore kampus hari ini gak serame biasanya. Cuma ada beberapa kelompok yang masih duduk-duduk di sekitar mushola dan di depan gedung A fakultas teknik. Entah diskusi materi kuliah ato sekedar ngobrol menghabiskan waktu, Demoy gak tau. Tapi yang pasti pemandangan saat ini bikin Demoy agak bernostalgia ketika pertama kali masuk ke lingkungan ini. Persis kayak tiga bulan yang lalu saat dirinya pertama kali bimbingan skripsi.

Demoy menghela nafas dengan pelan, lalu beranjak pergi dengan gontai. Dia bener-bener kebawa perasaan. Apalagi Demoy juga tau kalo dalam waktu seminggu ke depan, dia bukan lagi siapa-siapanya Abe. Hanya sebatas mantan calon istri.

*