Abe memijit pelipisnya dengan lelah lalu menghela nafas. Cowok itu duduk bersender di sandaran sofa di lobby hotel sambil memangku laptopnya, terlihat berpikir tentang sesuatu. Matanya masih memandang lurus ke layar laptop di hadapannya yang sedang menampilkan data-data keuangan perusahaan yang terlihat ganjil. Diliriknya selintas jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu pagi.
Pukul setengah satu pagi, masih terlalu pagi untuk memulai pekerjaan. Tapi rasa kantuknya kalah dengan rasa pusing di kepalanya. Apalagi semakin lama dia membaca data keuangan di layar laptopnya, Abe semakin merasa ganjil. Apalagi ditambah dengan omongan Martin tadi yang bikin Abe rasanya mau gila. Gila dalam artian, dia seorang Presiden Direktur ato lebih tepatnya dikenal sebagai owner. Pemilik. Tapi gimana bisa namanya bisa terseret dalam kasus mark up dan suap. Abe bener-bener naik pitam, seumur-umur baru pertama kali ini dia mendengar ada seorang owner bisa terseret ke dalam kasus begini.
Apa iya dunia udah sekejam itu? Sampe-sampe orang yang gak bersalah pun akhirnya bisa dijadikan kambing hitam dan dinyatakan bersalah?
Abe menutup laptopnya dengan kasar, lalu menjejakkan kakinya ke lantai dan berjalan ke arah kamarnya - kamar yang ditempatinya bareng Demoy. Dia pengen denger suara Demoy yang sangat dirindukannya, dan berharap kalo cewek itu udah gak seemosi tadi siang. Tapi apa boleh buat. Mood Abe lagi berantakan dan Abe gak mau nantinya Demoy malah jadi bahan pelampiasan amarahnya mengingat cewek itu selalu memancing emosinya tiap kali mereka saling berhadapan.
No!
Abe gak mau Demoy terluka dan sakit hati karenanya. Kebahagiaan Demoy adalah kebahagiaannya. Dan Abe udah bersumpah untuk itu.
Abe menghentikan langkahnya di depan pintu kamar, lalu mendesah pelan. Dia galau. Gimana kalo Demoy masih kesal padanya? Dan gak mau ketemu lagi sama Abe? Tapi Abe beneran kangen sama cewek itu meskipun baru beberapa jam Abe gak melihatnya. Ah persetan! Bodo amat kalo Demoy mau marah. Abe gak peduli. Toh selama ini juga begitu kan> Apapun kemarahan Demoy gak berarti apa-apa untuk Abe.
Setelah menghela nafas pelan dan merapal doa, Abe membuka pintu kamar perlahan. Tatapannya terpaku. Entah sejak kapan Demoy tertidur dengan posisi terduduk di depan laptopnya yang masih menyala. Alhasil, Abe melangkahkan kakinya dengan pelan ke arah Demoy, lalu menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cewek itu. Wajah polosnya membuat Abe gak tega untuk membangunkannya.
Cowok berwajah tampan bak Dewa Yunani itu pun akhirnya memutuskan untuk menggendong Demoy layaknya groom yang menggendong bridenya. Mau gak mau dia diam-diam mengakui keberanian Demoy soal cara cewek itu menghadapinya. Bahkan beradumen dengannya.
Deg!
Nafas Abe mendadak tertahan seraya langkahnya yang berhenti. Gak disangkanya tiba-tiba Abe menyurukan kepalanya ke arah lehernya seraya tangannya yang melingkari lehernya, membuat darahnya berdesir hebat dan jantungnya memompa adrenalinnya berkali-kali lipat.
Abe menghela nafas. Diturunkannya tubuh cewek itu di atas ranjang, melepaskan sendal yang masih dipakainya dan menyelimutinya. Kemudian, Abe merebahkan tubuhnya di sisi lain ranjang yang ditiduri Demoy. Abe udah gak sanggup lagi. Rasa lelah dan kantuk bener-bener membuatnya gak berdaya.
*
i remember when i met you
i didn't want to fall
i felt my hands were shaking 'cause you looked so beautiful
i remember when you kissed me
i knew you were the one
and oh my hands were shaking when you played my favorite song
i don't know why, but every time i look into your eyes
i see a thousand falling shooting stars and yes i love you
i can't believe that every night you're by my side
promise i'll stay here 'till the morning
and pick you up when you're falling
when the rain gets rough, when you've had enough
i'll just sweep you off your feet and fix you with my love
my only one
my only one
tell me how you do it
i can barely breathe with the smile you get
you get the best of me and all i really want is to give you all of me
tell me how you do it
how you bring me back
you bring me back to life then make my heartbeat stop, i can't take it
i don't know why, but every time i look into your eyes
i see a thousand falling shooting stars and yes i love you
i can't believe that every night you're by my side
voy a cuidarte por las noches
voy a amarte sin reproches
te voy a extrañar en la tempestad
y aunque existan mil razones para renunciar
promise i'll stay here 'till the morning
and pick you up when you're falling
when the rain gets rough, when you've had enough
i'll just sweep you off your feet and fix you with my love
my only one, there's no one else
my only one, there's no one else
you are my only one
it's just there's no one else, ouh, uoh
my only one
my only
(Sebastian Yatra feat. Isabela Moner - My Only One)
-----
Demoy mengerutkan keningnya. Tatapannya terpaku ke arah segelas susu dan sepiring sandwich sebelom akhirnya berpaling ke selembar kertas di tangannya. Gak tau mimpi apa Demoy semalem sampe dapet kejutan receh pagi-pagi begini. Apa-apaan coba?
"Voy a cuidarte por las noches. Voy a amarte sin reproches. Te voy a extrañar en la tempestad. Y aunque existan mil razones para renunciar.", bisik seseorang sambil memeluk tubuh Demoy dari belakang dan membuat cewek itu melotot sempurna. "Promise i'll stay here 'till the morning and pick you up when you're falling when the rain gets rough, when you've had enough I'll just sweep you off your feet and fix you with my love. My only one."
Demoy menggeliatkan tubuhnya, berusaha melepaskan diri dari pelukan Abe. Namun sia-sia. Alih-alih melepaskan, Abe malah semakin mengeratkan pelukannya. Gak cuma itu. Malah cowok itu juga menempelkan dagunya di bahu Demoy.
"You are my only one that I love forever."
Oke, fine. Demoy emang selalu kepengen punya cowok yang romantis yang selalu menghujaninya dengan kejutan-kejutan, tapi dia sama sekali gak pernah berharap kalo cowok romantis yang diinginkannya itu adalah seorang Abercio. Astagaa! Kenapa sih semua keinginannya bener-bener berbanding terbalik sama realitanya?
"Be, lo tau darimana lagu ini?
"Kenapa emangnya? Ada yang salah?"
Demoy menyentak lengan Abe dari perutnya, lalu membalikkan badan dan beradu pandang dengan cowok yang empat puluh senti lebih tinggi darinya. "Lo tau darimana?!"
"Aku tau semua tentang kamu. Lagu kesukaan kamu. Makanan kesukaan kamu. Semuanya."
Demoy mengangguk-anggukan kepalanya tanpa minat. Mood paginya ambyar gara-gara gombalan receh Abe barusan. Ditambah lagi sama kelakuan sok romantis cowok itu, ya walopun gak tau kenapa Demoy sempet merasa terharu. Aneh sih. Secara, ini bukan pertama kalinya Abe bersikap romantis dengan menyiapkan sarapan pagi untuk Demoy. Huh! Pasti ada yang salah sama otak Demoy.
"Oiya, Yank, kamu beneran mau observasi di Kepulauan Anambas?", tanya Abe sambil memasang muka seriusnya walopun sebenernya Demoy gak melihatnya karna cewek itu berdiri memunggungi Abe.
"Iya. Terserah lo mau setuju ato enggak."
"Nih.", sahut Abe sambil menarik lengan Demoy, bikin cewek itu menatapnya dengan bingung. Gak lama, Abe mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari dompetnya. Semacam Platinum Debit Card. "Kamu pegang. Terserah mau kamu pake buat apa. Bebas."
Demoy menatap Abe dengan bingung. "Apaan ini?", sahut Demoy sambil menerima kartu berwarna hitam yang barusan disodorkan Abe.
"Kamu gak tau ini apaan?", tanya Abe yang langsung dijawab dengan gelengan kepala dari Demoy. "Norak kamu, Yank."
"Kok norak? Gue kan beneran gak tau ini apaan."
"Kartu kredit Black Express."
"Hah?"
"Kok hah? Bingung?"
Lagi, Demoy mengangguk cepat. "Iyalah. Secara gak ada angin, gak ada badai, lo tau-tau ngasih gue kartu kredit. Buat apaan coba?"
Abe menghela nafas panjang. "Kamu bilang tadi pengen observasi di Pulau Bawah. Kamu pake kartu ini sesuai sama kebutuhan kamu. Kamu juga tenang aja, semua urusan untuk skripsi kamu, termasuk akomodasi dan lain-lain, semua udah aku siapin. Urusan Daddy sama Eomma juga itu urusan aku."
"Beneran?" Demoy membulatkan matanya. Dia sama sekali gak nyangka kalo Abe bakal mengizinkannya ke Pulau Bawah. Plus ngasih kartu istimewa pula. Padahal jelas-jelas kemaren cowok itu menentangnya. "Lo gak bercanda kan?"
"Kamu lihat baik-baik muka aku. Ada tampang bercanda? Kapan aku pernah bercanda untuk urusan hal serius begini?"
Demoy langsung menelan salivanya dengan susah payah. Sumpah deh .. kalo udah serius dan pasang muka beku begitu, Abe kelihatan berkali-kali lipat lebih serem daripada zombi-zombi yang pernah Demoy lihat di film-film. "Oke. Makasih, Be."
"Kamu tau aku, Yank. Aku bakal lakuin apapun buat bikin kamu bahagia, tapi di sisi lain aku juga tau, Yank, kamu pengen pertunangan ini batal. Jujur nih ya, aku sampe sekarang masih gak habis pikir, kenapa kamu sengotot itu pengen putus dari aku. Aku gak tau salah aku apa dan dimana sampe kamu begini. Tapi yaudahlah, aku bisa apa kalo emang itu mau kamu."
"Be .." Untuk pertama kalinya, Demoy gak bisa menyanggah omongan Abe. Lidah cewei itu mendadak kelu. Demoy cuma bisa menatap Abe dengan perasaan yang .. ah entahlah! Beneran deh. Kali ini Demoy bener-bener gak tau harus bersyukur ato menyesal.
"Kalo emang kamu bener-bener mau putus dari aku, kamu harus lulus sidang dulu baru kamu bisa batalin pertunangan dan rencana pernikahan kita. Tapi kalo sampe kamu molor lagi, sorry to say. Apapun dan gimanapun situasinya, kita tetep harus nikah.", lanjut Abe dengan suara agak bergetar.
"Dan lo bakal nyerah begitu aja sama keputusan gue ini? Lo gak mau mempertahankan gue walopun itu untuk yang terakhir kalinya?", tanya Demoy pelan sambil menatap sepasang mata Abe dalam-dalam. Tapi di detik berikutnya cewek itu menyesal. Bisa-bisanya dia nanya begitu ke Abe. Gimana kalo abis ini Abe malah beneran gak mau melepaskannya?
Abe gak menjawab. Cowok itu malah beranjak meninggalkan Demoy. Entah kemana.
*