Chereads / As Good As It Gets / Chapter 14 - 13

Chapter 14 - 13

Demoy menghela nafas panjang. Tatapannya menerawang kosong. Semenjak pulang dari Shanghai, Abe bener-bener gak menghubunginya, entah itu telepon ato chat WA. Agak aneh sih emang. Secara nih cowok termasuk rajin menghubunginya. Saking rajinnya, Demoy inget banget kalo Abe pernah meneleponnya sampe dua puluh kali dalam beberapa jam.

Dan juga soal janji Abe. Cowok itu bener-bener bikin Eomma dan Daddy luluh. Malah mengizinkan Demoy untuk terbang langsung ke Pulau Dalam yang nun jauh di Kabupaten Kepulauan Anambas.

"Lo kenapa, Moy?" Demoy menoleh ke arah asal suara. Cuma ada satu orang yang selalu seenak jidat menyingkat nama panggilannya. "Tumben bener muka lo kusut begitu pagi-pagi. Skripsi lo bermasalah lagi?"

Demoy mengalihkan tatapannya ke sosok seorang yang ganteng dengan kulit coklat eksotis khas anak pantai yang bernama Ronald. "Gak kenapa-napa. Skripsi gue juga gak bermasalah kok."

"Kalo gak kenapa-napa, kenapa lo ngelamun terus? Lo gak betah di sini?"

"Gue betah kok di sini. Di sini enak. Adem. Lautnya juga masih jernih."

"Iyalah di sini enak. Asal lo tau nih ya, Moy. Pulau Bawah adalah hidden gem di barat Indonesia yang tak bisa dipandang sebelah mata. Menjadi bagian dari Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Bawah tengah 'disulap' menjadi resor yang ramah lingkungan dan berbasis konservasi.

Ada 37 bungalow di sini, yang terdiri dari Tent Villa dan Water Villa, serta beragam fasilitas lainnya seperti infinity pool, bar, perpustakaan, serta spa. Resor ini rencananya resmi dibuka pada April 2017. Ekosistem di Pulau Bawah dan sekitarnya masih sangat terjaga."

Demoy mengangguk setuju. Dari yang pernah Demoy baca di salah satu literatur, Kepulauan Anambas merupakan kawasan konservasi sekaligus Taman Wisata Perairan (TWP). Resor di Pulau Bawah adalah contoh konsep ekowisata pertama yang diberlakukan di TWP. Anambas juga sebagai salah satu kepulauan tropis terindah di Asia.

Salah satu sisi Pulau Bawah merupakan hutan bakau yang sangat alami, dan menjadi habitat biawak. Pada pagi hari, perairan di sekitar hutan bakau tersebut dilintasi banyak anak hiu.

Pulau ini juga memiliki tiga laguna. Sebuah lanskap alam yang jarang ditemukan di pulau-pulau tropis dunia. Salah satu laguna, yang disebut sebagai 'sungai' karena bentuknya yang memanjang, menjadi habitat ikan pari.

Ronald menyipitkan matanya. Walopun baru saling kenal itungan hari, tapi Ronald merasa kalo Demoy kayak lagi menahan sesuatu. "Lo lagi ada masalah? Lo kangen seseorang tapi gengsi mau bilangnya?"

Lagi, Demoy menghela nafas. Pertanyaan Ronald barusan menohoknya dalam-dalam dan gak tau kenapa tiba-tiba Demoy malah merasa sesak. Untuk pertama kalinya.

"Kalo emang lagi ada masalah, lo cerita aja. I'm listening. Ya walopun kita baru kenal itungan hari, tapi gue harap lo gak anggep gue sebagai orang asing.", lanjut Ronald.

Demoy menatap Ronald dalam-dalam. "Lo pernah pacaran?"

Ronald memasang senyum tipisnya. Lalu menggeleng pelan sambil menjatuhkan bokongnya di hamparan pasir tepat di sebelah Demoy. Tatapannya lurus menerawang ke arah laut. "Gue gak pernah pacaran, Moy."

"Seriously?"

"Iya. Gue emang gak pernah pacaran."

"Kenapa? Menurut gue nih ya, lo baik kok. Sopan. Humble. Gue yakin, cewek yang naksir lo pasti banyak."

"Iya. Cewek yang naksir gue emang banyak, Moy. Dan gue sempet suka sama salah satu dari mereka."

"Trus?"

"Kalo gue ceritain dari awal, lo pasti bakal gak percaya dan berpikir kalo apa yang bakal gue ceritain ke lo adalah sesuatu yang kolot ato norak. So .. yeah, i keep the story for myself."

"Lo dijodohin sama ortu lo?", sahut Demoy tiba-tiba.

Ronald menoleh dengan mata melotot. Kelapa di tangannya langsung terjatuh. Demoy yang melihatnya yakin kalo tebakannya barusan emang bener.

"I'm so sorry, Ronald. Gue gak bermaksud untuk sok tau ato gimana. I mean it. Duh .. gue jadi ngerasa gak enak sama lo nih."

Ronald menghela nafas, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum. Tatapannya kembali lurus menerawang ke arah laut, membiarkan suara riak ombak kecil memecah keheningan di bibir pantai, sebelom akhirnya berkata. "It's not your fault. Bukan salah lo dan lo gak boleh nyalahin diri lo gara-gara tebakan lo tadi."

"You wanna tell me? About your story?"

Ronald terkekeh renyah. "Kok jadi kebalik sih? Bukannya lo yang cerita ke gue malah gue yang curhat ke lo."

"Ya kan gak ada salahnya juga. Kita sharing aja. Siapa tau ada pelajaran yang bisa gue petik dari masalah lo. Ya kan?"

Ronald mengangguk-angguk pelan. "Gue dijodohin ortu gue dari gue umur lima tahun, Moy. I know, it sounds like I'm crazy or what. You must not believe on me. But it's true. Gue dijodohin plus ditunangin ortu gue sama anak temen baik mereka dari kami umur lima tahun.

Awalnya, gue fine-fine aja. Ya bisa dibilang hepi juga sih nerimanya. Karna gue kan anak tunggal dan saat itu gue berpikir 'wah .. asyik nih gue bakal ada temen main.'. Ya kayak gitu-gitulah pemikiran gue, sampe akhirnya beberapa tahun kemudian, gue sadar kalo it wasn't as simple as my thoughts.

Tunangan gue saat, Kirana, itu juga anak tunggal. Dan dia perhatian sih sebenernya ke gue. Dia bisa ngerawat saat gue sakit. Dia bisa jadi koki paling handal buat gue sampe ortu gue selalu muji semua hasil masakannya. Sampe dia rela jadi sosok ibu yang care buat keponakan gue yang baru aja kehilangan ibunya, dan masih banyak lagi sih. Cuma ya itu, kadang saking perhatiannya jadi malah kayak posesif. Dia bisa nelponin gue puluhan kali dalam satu waktu cuma kalo gue gak kasih kabar."

"Trus?"

"Trus ya gue sempet protes ke dia. Gue selalu bilang ke dia kalo dia tuh sebenernya gak perlu buat ngelakuin hal-hal yang kayak gitu karna menurut gue ya percuma gitu kan. Karna gue ak cinta sama dia, sampe gue sempet ngelakuin beberapa cara cuma biar dia mau putus hubungan dari gue. Lo bayangin aja, gue pernah boongin dia, gue bilang kalo gue pernah ngehamilin cewek. Intinya, I would do anything to break the relationship at that time."

"Dan cara lo berhasil, Nald?"

"Gue gak tau itu berhasil ato enggak karna ..." Ronald menggantung omongannya. Air mukanya mendadak keruh. Air matanya tiba-tiba tumpah membasahi pipinya. Dadanya lagi-lagi terasa sesak.

"Karna apa?"

"Tanpa sepengetahuan gue dan keluarganya, Kirana pergi malem-malem. Pas ujan deres juga. Dan bodohnya, kami semua gak sadar sebenernya kalo malem itu Kirana tuh pergi dari rumah. Sampe besok paginya, ortunya Kirana dateng ke gue. Mereka bilang kalo Kirana gak ada. Kirana meninggal karna kecelakaan.

Di situ gue langsung syok. Semua yang udah gue lakuin ke dia itu kayak flashback di otak gue, dan itu nampar gue sakit banget. Bikin gue nyadar satu hal. Gue bodoh. Gue udah nyia-nyiain orang yang udah tulus cinta sama gue dan nerima gue apa adanya. Lebih bodohnya lagi, gue udah nyia-nyiain kesempatan terbaik gue buat mencintai dia dan bikin dia bahagia karna gue baru sadar kalo sebenernya gue mulai mencintai Kirana dengan caranya dia memperlakukan gue.

Lo tau kata pepatah kan? Lo baru bakal ngerasa kehilangan seseorang setelah orang itu gak ada? Nah itu yang gue rasain, Moy."

Demoy menghela nafas. Omongan Ronald barusan mengingatkan Demoy sama sosok Abe. Abe dan Kirana adalah sama. Sama-sama pribadi yang selalu menunjukkan tentang rasa cinta mereka untuk pasangan mereka dengan cara mereka sendiri.

Tapi masalahnya, apa iya sekarang Demoy mencintai Abe?

"Moy, gue gak tau saat ini gue pantes ato enggak bilang ke lo dengan status hubungan kita, tapi lo harus inget satu hal. Kalo selama ini ada seseorang yang selalu perhatiin lo. Dia selalu berusaha ngejaga lo dan bikin lo bahagia dengan caranya dia sendiri, lo harus jaga orang itu baik-baik. Kalo dia cinta sama lo dan dia bisa nerima lo apa adanya, ya lo harus bersikap yang sama ke dia. Sebelom semuanya terlambat dan lo bakal menyesal karna udah menyia-nyiakan orang ini.", lanjut Ronald pelan seolah berhasil membaca isi pikiran Demoy barusan, sebelom akhirnya Ronald beranjak meninggalkan Demoy yang masih terjebak dalam pikirannya sendiri.

*

Demoy memijit pelipisnya dengan lelah lalu menghela nafas. Matanya masih memandang lurus ke layar laptop di hadapannya yang sedang menampilkan data hasil observasi yang beberapa hari ini dilakukannya di lapangan. Diliriknya selintas jam dinding yang menunjukkan jam tiga dini hari.

Jam tiga dini hari. Harusnya dia masih terlelap di balik selimut tebal kayak biasanya, menikmati mimpi-mimpi indah yang selalu menjadi bunga tidurnya.

Tapi hari ini berbeda. Pikirannya terus melayang ke satu nama. Demoy menghela nafas panjang, menghentikan gerakan jemarinya dari atas tuts keyboard laptop, menumpu tangannya di atas meja lalu menggelengkan kepalanya dan menyenderkan punggungnya di sandaran kursi. Dia udah berusaha untuk tidur, tapi gak bisa. Setiap kali dia memejamkan matanya, selalu aja ada yang mengganjal pikirannya. Ditambah lagi, omongan Ronald yang terus terngiang di benaknya, dan muka Abe dengan segala tawa cowok itu yang dulu sering Demoy denger mulai melintas di benaknya.

["Kalo selama ini ada seseorang yang selalu perhatiin lo. Dia selalu berusaha ngejaga lo dan bikin lo bahagia dengan caranya dia sendiri, lo harus jaga orang itu baik-baik. Kalo dia cinta sama lo dan dia bisa nerima lo apa adanya, ya lo harus bersikap yang sama ke dia. Sebelom semuanya terlambat dan lo bakal menyesal karna udah menyia-nyiakan orang ini."]

Huft.

[Lagi apa ya Abe sekarang?]

Demoy meraba tangannya di atas nakas, mengambil smartphonenya lalu mencari kontak dan menghubunginya. Gak lama, Demoy menghela nafas lelah ketika panggilan ketiganya masih belom diangkat. Dihubungi lagi nomor yang sama untuk yang keempat kalinya tapi lagi-lagi berakhir sama.

"Lo siento. El número al que está llamando no está disponible actualmente. Por favor, inténtelo de nuevo más tarde. (Maaf. Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.)"

-CLICK-

Demoy mematikan ponselnya dan menumpu kedua tangannya di atas meja, lalu membenamkan mukanya di atasnya. Gak lama, kedua bahunya bergerak naik turun. Untuk pertama kalinya, Demoy menangisi sesuatu yang mencelos dari hatinya.

*

Abe menutup layar laptopnya dengan kesal. Rasa penat semakin bikin kepalanya jadi senut-senut. Dia udah gak tau lagi harus gimana. Masalah projek yang menyeret namanya bener-bener mengancam perusahaan yang selama ini udah susah payah dibangunnya. Apalagi ditambah dengan mayoritas para pemegang saham dan anggota direksi yang semakin lama semakin memaksanya untuk mundur dari jabatan yang saat ini dipegangnya.

Abe melirik ponselnya sesaat. Semenjak pulang dari Shanghai sampe saat ini dia sama sekali belom menghubungi Demoy. Tapi bukan berarti Abe gak tau sama sekali kabar Demoy, karna Abe diam-diam menyuruh salah satu bodyguardnya untuk mengawasi Demoy setiap saat. Tapi hari ini ..

Tatapan Abe terpaku. Matanya melotot sebelom akhirnya cowok itu mengedipkan matanya berkali-kali. Darahnya berdesir hebat seiring degup jantungnya. Abe lagi gak salah liat kan?

Abe berdiri dari kursinya sambil memasang senyum terbaiknya dan menekan sederet angka yang udah dihafalnya di luar kepala lalu menekan tombol panggilan.

Abe menghela nafas lelah ketika panggilan kelimanya masih belum diangkat. Dihubungi lagi nomor yang sama, dan kali ini panggilannya terjawab oleh suara khas sang operator provider. Bikin Abe akhirnya mau gak mau akhirnya menyerah dan memilih untuk mengirim sebuah pesan instan WA.

*