Eomma, Daddy, dan Abe mengedipkan mata berkali-kali, memastikan kalo saat ini mereka gak salah lihat. Lalu mengerutkan kening begitu menemukan Demoy udah duduk manis di meja makan menikmati sarapan paginya dengan penampilan yang gak kayak biasa. Apalagi cewek itu hari ini sengaja menguncir rambut panjangnya, memoles mukanya dengan flawless make up lengkap dengan lip matte berwarna soft peach.
Beneran gak kayak biasa. Boro-boro tampil rapi ala wanita karir begini, disuruh bangun pagi aja kudu ribut segala macem. Secara kan Demoy nih tipe beruang kutub, yang kalo udah tidur bakal susah banget buat dibangunin.
"Yank?"
Demoy menoleh dan menatap muka Abe, lalu tersenyu sumringah. "¡Buenos días! ¿Descansaste bien?"
Abe mengedipkan matanya. Sama sekali gak percaya sama omongan Demoy barusan. Ini pertama kalinya Abe denger langsung Demoy ngomong dengan bahasa Spanyol begini. "Kamu abis makan apa semalem? Gak biasanya begini? Trus itu juga, kamu kesambet apaan tiba-tiba ngomong pake bahasa Spanyol begini?"
"Kita ke kantor jam berapa, Be?", sahut Demoy acuh, tanpa menjawab pertanyaan Abe barusan.
"Hah?"
"Kok hah? Kita mau ke kantor kamu jam berapa?" Demoy mengulang pertanyaannya.
"Kamu mau ke kantor aku? Hari ini? Gak salah?"
"Ya gak salah lah. Kenapa emangnya?"
"Beneran kamu mau ke kantor aku hari ini?"
Demoy langsung mengangguk cepat. "Iya. Kenapa emangnya?"
"Kamu lupa sekarang hari apa, Yank?"
"Kenapa emangnya?"
"Sekarang tuh hari sabtu, Demoy." Kali ini Eomma yang bersuara. "Abe gak ke kantor hari ini."
"Kata Abe kemaren, gue boleh ikut ke kantor.", sahut Demoy kesal. Air mukanya auto berubah. Secara kan dia udah siap-siap sampe dandan secantik ini trus gak jadi ke kantor Abe? Ya ilah! Kalo tau bakal gak jadi begini kan mendingan Demoy kagak usah bangun pagi-pagi trus dandan kayak begini! "Gimana sih?"
Abe duduk di kursi makan kosong di sebelah Demoy sambil memasang senyum sumringahnya, diikuti Eomma dan Daddy yang duduk di seberang mereka. Lalu, mengambil dua lembar roti tawar di atas meja.
"Aku hari ini emang gak ke kantor, Yank. Hari ini aku cuma mau ke proyek, mau lihat progres.", sahut Abe sambil mengoles roti tawarnya dengan selai coklat, lalu menaburkan keju parut di atasnya. "Kalo kamu mau ikut, boleh aja."
"Beneran?"
"Ya beneran lah, Yank. Masa iya aku boong? Tapi pakeannya gak perlu seformal ini. Pake kemeja sama celana bahan aja. Pake sepatunya juga kalo bisa yang flatshoes."
"Oke. Kita berangkat jam berapa, Be?"
"Dua jam lagi.", sahut Abe sesaat sebelom memasukkan rotinya ke dalam mulut dan mengunyahnya.
"Dua jam lagi?" Demoy menatap Abe gak percaya. Gila apa ya? Demoy suruh nunggu Abe dua jam lagi? Keburu pecah nih bedak di mukanya. "Lama amat."
"Iya. Soalnya aku masih ada kerjaan yang belom beres. Maaf ya. Gak apa-apa kan kamu nunggu dua jam lagi?"
"Oke. Tapi bdengan satu syarat."
"Apaan syaratnya?"
"Traktir gue makan siang yang enak. Lengkap sama es krimnya. Gimana?"
"Siap, Ratuku. Apa sih yang enggak buat kamu."
Sementara itu, Eomma dan Daddy cuma bisa senyam-senyum melihat anak dan calon menantunya. Mereka bersyukur, Abe bisa memberikan dampak positif untuk Demoy walopun belom secara signifikan.
*
Abe mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya saat Mr. Tan menjelaskan progres proyek yang saat ini masih dikerjakannya. Sebagai seorang konsultan dan arsitek, Abe bener-bener memperhatikan soal aspek keamanan dan kenyaman bangunan. Makanya, apapun proyeknya, sebisa mungkin Abe selalu turun ke lapangan untuk mengecek segala sesuatunya secara langsung.
"Kalo gitu, silakan lanjut ke Phase 2.", ujar Abe sambil menutup map dokumen yang daritadi dipegangnya. "Kalo ada apa-apa, kabarin saya."
"Siap, Pak.", sahut Mr. Tan ramah dan bergegas meninggalkan Abe.
Setelah ditinggal sendirian, Abe menoleh ke arah jam 3. Seseorang yang dari tadi asyik sendiri memperhatikan segala detail proyek yang dikerjakan Abe. Bikin Abe jadi senyam-senyum sendiri jadinya.
"Pak Abe.", sapa seseorang begitu Abe baru aja mau berjalan ke arah Demoy. Bikin Abe menoleh ke arah asal suara.
"Junno? ¿Qué estás haciendo aquí (kamu ngapain di sini)?"
"Tengo asuntos familiares, Señor. Lo siento, no te lo dije primero. Dio la casualidad de que estabas aquí de nuevo, así que pasé por aquí. Temo que me necesites pero ni siquiera existo. (Saya ada urusan keluarga, Pak. Maaf saya gak kabarin Bapak dulu. Karna kebetulan Bapak ada di sini, jadi saya mampir. Takutnya Bapak ada perlu saya, tapi sayanya malah gak ada.)"
Abe menghela nafas. Sekretarisnya yang satu ini emang bener-bener gak bisa ditebak. "No te lo dije. Pero gracias por preocuparte por mí (Saya kan gak suruh kamu. Tapi makasih loh udah khawatirin saya)."
Junno mengangguk ramah lalu memasang senyum terbaiknya. ["Porque te amo, por eso estoy preocupado por ti y no quiero que tengas problemas sin mí a tu lado (Karna aku cinta sama kamu, makanya aku khawatirin kamu dan gak mau kamu sampe kesusahan tanpa ada aku di sampingmu)."]
"Si es así, iré primero. Más tarde, si necesito tu ayuda, te lo haré saber (Kalo gitu, saya pergi dulu. Nanti kalo saya butuh bantuan kamu, saya kabarin kamu).", lanjut Abe.
Lagi, Junno mengangguk. Cewek itu cuma bisa memandangi punggung Abe yang menjauh saat cowok itu berjalan ke arah Demoy lalu menghilang dari hadapannya.
Setelah ditinggal sendirian, Junno menghela nafas. Dia sengaja jauh-jauh dateng ke sini, tapi Abe malah mengacauhkannya dan milih untuk pergi sama cewek laen. Pake gandengan tangan pula! Huh! Bener-bener kagak peka tuh cowok!
*
"Yank ...", ujar Abe sambil menarik sedotan dari mulut Demoy. Lalu menggantinya dengan ciuman yang super tiba-tiba.
Demoy membulatkan matanya. Ini kedua kalinya Abe mencium bibirnya. Sama kayak ciuman pertamanya tempo hari, kali ini Abe juga menciumnya tiba-tiba dan gak pake permisi. Bikin jantung Demoy langsung gak karuan dan dunianya seakan berhenti.
"Kamu kenapa sih daritadi nyuekin aku?", tanya Abe sesaat setelah melepaskan bibirnya dari bibir Demoy. "Kamu marah sama aku?"
Demoy gak menjawab. Cewek itu malah memasukkan sedotan lagi ke dalam mulutnya dan seketika menghabiskan isi ice cupnya. Dia bener-bener butuh sesuatu yang bisa mendinginkan kepalanya karna kelakuan Abe barusan.
"Yank ..." Lagi-lagi Abe melakukan hal yang sama. Menarik sedotan dari mulut Demoy.
"Apaan sih, Be?" Demoy memasang muka galaknya. Kayak biasa.
"Aku tuh nanya, Yank. Dijawab dong."
"Sariawan!", sahut Demoy asal, dikuti sama kelakuan absurd Abe yang tiba-tiba membuka mulut Demoy dan mengecek sekitaran bibir cewek itu. Makin bikin Demoy memasang muka super galaknya. "Abe! Lo apa-apaan sih?!"
Abe menarik tangannya dari wajah Demoy, lalu menggaruk tengkuknya yang gak gatel sambil memasang senyum tanpa dosanya. "Lo siento. Lah abis tadi kamu bilang sariawan. Gimana sih?"
"Ya tapi gak gitu juga. Lo pikir muka gue apaan?!"
CUP!
Abe mengecup bibir Demoy sekilas. Muka Demoy yang lagi esmosi jiwa begindang emang bener-bener kelihatan menggemaskan di mata Abe. "Maaf deh, Yank. Tapi kamu jangan masang muka galak gitu dong. Kan aku jadi semangat buat jinakin kamu pake ciuman."
"ABEEEEE!!!"
Abe gak menjawab. Cowok itu malah langsung lari ke ruang kerjanya di lantai atas, membiarkan Demoy mengejarnya sambil mengomel-omel. Untung aja suasana kantor lagi sepi. Jadinya kan Abe gak jadi pusat perhatian gara-gara kelakuannya barusan sama Demoy.
Walopun tanpa sepengetahuan Demoy-Abe, ada sepasang mata yang memandang mereka dengan segala letupan rasa cemburu.
*
"Apaan itu, Nak?", tanya Daddy begitu melihat Abe balik dari teras dan terlihat kerepotan dengan kantong-kantong belanjaan. "Kamu belanja online? Kok tumben nyampenya malem begini?"
Abe menggeleng pelan. "Bukan Abe, Dad, yang belanja."
"Kalo bukan kamu, trus siapa?"
Belom sempet Abe menjawab pertanyaan Daddy barusan, tiba-tiba Demoy berlari ke arahnya, lalu secepat kilat merampas semua kantong belanjaan dari tangan Abe dan kembali ke kamarnya. Bikin Abe dan Daddy mau gak mau cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Demoy barusan.
"Itu anak selalu aja begini. Kapan dewasanya."
Abe memasang senyum terbaiknya. Dia kenal Demoy bukan sehari-dua hari. Makanya begitu lihat Demoy belanja sebanyak tadi, Abe langsung tau kalo Demoy pasti lagi bete. Ya mungkin bete gara-gara kejadian tadi siang.
"Gak apa-apa kok, Dad. Namanya juga cewek."
"Nak Abe, Daddy mau minta tolong. Boleh?"
Abe mengangguk dan menatap Daddy sambil duduk di sofa kosong di sebelah Daddy. "Boleh, Dad. Mau minta tolong apa?"
"Tolong bantu Demoy nyelesein skripsinya. Biar cepet lulus dan kalian bisa cepet nikah. Kalo enggak, masa pernikahan kalian mesti ditunda lagi? Kalo ditunda lagi, Daddy yang gak enak sama orang tua kamu."
"Tenang aja, Dad. Abe pastiin Demoy bakal lulus kuliah sebelom kami nikah dan pernikahan kami tetep kayak yang dibilang kemaren."
"Gimana caranya?"
Abe gak menjawab. Cowok itu cuma menempelkan jari telunjuk di bibirnya lalu memasang senyum terbaiknya yang menampilkan kedua lesung pipinya.
Daddy mengangguk pelan. "Pokoknya Daddy percayain Demoy sama kamu ya, Be."
"Daddy tenang aja. Apapun bakal Abe lakuin untuk ngejaga, ngelindungin, dan ngebahagiain Demoy. Karna Abe cinta sama Demoy, Dad."
Lagi, Daddy mengangguk.
*
Demoy langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur lalu merentangkan kedua tangan dan kakinya, nenbentuk sebuah bintang besar. Tatapannya lurus menerawang ke langit-langit kamar, membiarkan pikirannya berkelana bebas.
["Pokoknya Daddy percayain Demoy sama kamu ya, Be."]
["Daddy tenang aja. Apapun bakal Abe lakuin untuk ngejaga, ngelindungin, dan ngebahagiain Demoy. Karna Abe cinta sama Demoy, Dad."]
Demoy menghela nafas. Omongan Daddy dan Abe yang tadi gak sengaja didengernya masih teringat jelas. Bikin mood Demoy semakin berantakan, padahal cewek itu berharap satu liter es krin yang barusan dipesannya bisa bikin moodnya membaik.
Demoy meraba tangannya di atas nakas. Lalu mengambil ponselnya dan mulai mengscroll layar smartphonenya, membuka aplikasi gallery foto, namun gak lama kemudian matanya malah terpejam dan lelap.
*