Chapter 3 - Alphamaria

"Serius lo bilang begitu ke Pak Erman?"

Kenzie mengangguk mantap. Ia tersenyum memandangi raut wajah berlipat dari seorang gadis berusia 26 tahun itu. Ayara Naradhipa atau yang akrab dipanggil Bu Ara, adalah salah satu C.A (Coordinator Analyst) wanita dalam perusahaan ini. Ia juga sahabat Kenzie. Keduanya juga sudah bekerja bersama selama 2 tahun terakhir ini.

Saat meeting semalam, Kenzie berani dengan nekat mengatakan bahwa 6 bulan ke depan cabang ini akan mencapai target secara berturut-turut. Punishment-nya; jika tidak bisa mencapai target, maka ia akan siap mengundurkan diri dari perusahaan ini. Lalu, jika hanya selama 5 bulan dan 1 bulan kemudian cabang ini tidak mencapai target, maka tetap akan dianggap gagal. Sesuai ketentuan awal, ia harus mencapai target selama 6 bulan secara berturut-turut. Bukan permintaan dari atasan, tetapi keinginan sendiri dari Kenzie. Ia bosan dengan sikap bossy dari manajernya yang berlebihan terhadap anak buahnya.

Tidak hanya itu, yang lebih parah, Erman juga sering melakukan PHK (Putus Hubungan Kerja) secara sepihak. Hanya kesalahan sedikit saja─jika mood dari bosnya itu sedang tidak kondusif─besok nama mereka tinggal alamat. Sifatnya sangat pongah. Bila ada yang tidak cocok dengan pendapatnya, SP 1 turun. Tidak setuju dengan aturannya, pecat. Benar-benar bos bengis.

"Lo gila, Ken. Sama aja lo pertaruhkan nyawa di perusahaan ini." Sangat wajar bila Ayara menatap gamang ketika mendengar ide liar Kenzie.

"Memangnya hidup gue hanya di satu perusahaan ini doang? Memangnya di luar sana enggak ada perusahaan lain yang lebih membutuhkan gue?" Kenzie menepuk pundak Ara. "Gue begitu lantaran cinta sama staf yang ada di sini." Lantas memutar tumitnya dan kembali berjalan memasuki ruangan.

"Iiish … cinta apaan? Songong banget jadi orang. Lo enggak jauh beda sama Erman!" decak Ara sebal.

Kenzie hanya terkekeh mendengar ucapan gadis itu. Sesaat Kenzie tersadar pagi ini ia tidak sempat sarapan. Perut keroncongannya memanggil untuk minta diisi sesuap nasi atau roti. Sebuah hal yang cukup krusial namun jadi kebiasaan. Begini lah risiko seorang pria single yang tinggal di kamar indekos: harus cari makan sendiri.

Kenzie kembali keluar dari ruangan. Ia terkesiap ketika melihat Ara yang masih saja berada di balik pintu ruangannya dengan tangan berlipat.

"Kenapa lo masih di sini?" tanya Kenzie mengernyitkan wajah.

"Lha, lo ngapain keluar lagi?"

"Terserah gue dong," jawab Kenzie datar. Buru-buru berjalan menuruni anak tangga.

"Kenapa enggak naik lift aja sih?" Ara mengikuti langkah Kenzie dengan tergesa.

Kenzie berhenti sejenak. Ia membalikkan badannya seraya berkata, "Kenapa lo jadi ngurusin hidup gue sih? Mau turun pakai tangga, mau pakai lift. Suka-suka gue lah."

"Lo mau ke mana?"

Mulut Kenzie tetap terkunci dan terus berjalan tanpa menghiraukan kicauan Ara. Menurut Kenzie, selama 2 tahun lamanya gadis itu memang orang yang paling ribet di antara staf wanita lainnya. Namun itulah yang membuat Ara menjadi sosok yang paling dekat dengan Kenzie.

"LO MAU KE MANA?!"

Suasana kantor yang sebelumnya riuh dengan kesibukan pagi hari mendadak lengang seketika. Hanya suara mesin print yang paling dominan terdengar jelas. Beberapa sorot mata memandangi mereka berdua di koridor lantai paling bawah. Kenzie hanya melambai kepada seluruh staf, mengisyaratkan untuk melanjutkan kembali aktivitas masing-masing. Kemudian merapikan kerah kemeja dan dasinya lantas berjalan kembali.

"Lo mau ke mana Bapak Kenzie yang tampan?" tanyanya sekali lagi. Ara benar-benar penasaran dan sepertinya takut jika bosnya melakukan tindakan aneh lagi.

Kenzie menghela napas. Ia menyerah. "Ayara, kenapa sih, akhir-akhir ini lo jadi ribet sama gue?"

"Gue takut lo kenapa-kenapa Bapak Ganteng."

"Kenapa-kenapa bagaimana?"

"Gue enggak mau lo nekat lagi Bapak Cakep."

"Nekat? Memangnya lo kira gue mau ngapain?"

Bahu ujung kiri-kanan Ara terangkat sedikit. "Entah. Pokoknya gue enggak mau sahabat tampan gue kenapa-kenapa."

Tatapan Kenzie berubah sinis. "Lo bisa hapus sebutan menjijikkan itu, nggak?"

"Kan, emang lo paling tampan di sini."

Kenzie hanya melengos, tidak mengindahkan ucapan gadis itu dan lalu berjalan kembali menuju pintu kantor paling depan.

"Eh, lo belum jawab pertanyaan gue," ocehnya sekali lagi.

"Alphamaria," jawab Kenzie singkat.

Mata Ara membulat sempurna. Seluruh bulu romanya meremang ketika mendengar nama itu. Ia mempercepat langkahnya menghampiri Kenzie.

"Lo mau samperin kasir nenek lampir itu?"

"Gue mau cari makan."

"Makan apa?"

"Indomie di kasih shampo," jawab Kenzie sekenanya.

"Iiish … lebih enak pakai rinso tau!"

Kenzie menepuk jidat dan menggelengkan kepalanya. Sepertinya, ia salah mengajak ngobrol lawan bicaranya. Ara lebih ngaco darinya.

"Gue ikut ya," cengir Ara.

"Hmm." Singkat dan dingin seperti biasanya.

Alphamaria adalah toko ritel yang berada di sebelah kantor mereka. Ia sering berkunjung ke tempat itu ketika sedang ingin mencari makanan dan minuman instan. Tapi beberapa bulan ini, Kenzie sedikit kesal dengan ulah kasir pindahan yang menurutnya tidak memiliki sopan santun. Sudah hal yang biasa bagi Kenzie menasihati orang lain saat bekerja. Bukan menggurui, lebih tepatnya ia memberikan empati kepada pegawai yang menurutnya itu kurang baik. Contohnya, pernah suatu ketika ia menemukan ada beberapa barang display yang expired pada rak toko. Kenzie memberi tahu secara diam-diam tanpa ada pelanggan lain yang mendengar. Ia memberitahukan kepada mereka agar lebih teliti lagi dan tidak kelolosan saat melakukan pengecekkan masa kadaluarsa.

Namun, nasihat itu tidak berlaku pada kasir judes yang paling tidak disukai oleh Ara. Kayla Sidharta, itulah tulisan pada name tag yang tertera di dada kanan seragam kasir tersebut. Kenzie pernah satu kali memperingatkan kepada Kayla soal pelayanan kepada pelanggan karena sering diperlakukan dengan kasar olehnya. Bukannya nasihat itu diterima, yang ada Kenzie disemprot dengan cuitan yang melengking di telinga. Bukan hanya Kenzie, Ara juga menjadi musuh bebuyutan Kayla.

Namun sepertinya, Kenzie menyadari 2 kesalahannya. Pertama, mungkin karena sikapnya yang sok menggurui saat itu. Kedua, atau mungkin karena kejadian beberapa bulan yang lalu—salah pengaduan layanan customer.

Lalu, apa masalahnya dengan Ara? Sepertinya Kayla tidak terima karena Ara pernah mengatakan cara berpakaiannya terlalu "slebor" di depan banyak pelanggan. Kenzie baru menyadari, bahwa pelayanan itu hanya berlaku untuknya dan Ara. Tidak dengan pelanggan lainnya. Kasir itu sangat ramah kepada pelanggan lain yang datang. Bahkan banyak lelaki 'hidung belang' yang suka menggodanya karena kecantikan dan parasnya yang indah itu. Apalagi mata sayunya yang mampu membakar relung jiwa para kaum Adam.

-oOo-

"Lo lagi, lo lagi. Bosen gue lihat kalian kemari," seloroh ucapan salah satu pegawai di toko membuat Ara berdecak kesal. Siapa lagi kalau bukan Kayla. Namun Kenzie tidak mempedulikan. Ia tetap masuk mencari makanan yang bisa disantap secara instan pagi ini. Setidaknya bisa mengganjal perutnya sampai siang nanti.

"Bukannya ngasih salam sapaan ke kita. Eh, malah ngomel," sahut Ara tak terima. "Lo harusnya seneng kita belanja di sini."

"Bagus, deh. Pelanggan pertama pagi ini: didatangi oleh 2 makhluk aneh. Satu kayak Es Batu berjalan yang keras kepala. Satunya lagi kayak keluarga Jalak, sebangsa Beo!"

"Lo itu Nenek Lampir!" balas Ara.

"Apa lo bilang? Gue cantik begini di bilang Nenek Lampir."

"Hah? Cantik? Hellooo ... ngaca sana. Masih jauh di bawah gue!"

Braakk!!

Barang belanjaan dari keranjang mendarat di atas meja kasir—tempat Ara dan Kayla berdebat.

"Berapa semuanya?" ujar si pemilik keranjang.

"Bisa sedikit sopan, nggak? Ngagetin gue aja."

"Cepetan total!"

Salah satu pegawai lain keluar dari dalam gudang. Ia berlari kecil mendatangi sumber kegaduhan itu. Sepertinya dia pimpinan shift di toko tersebut.

"Kayla!" Pimpinan shift itu menatap tajam anak buahnya. "Layani konsumen dengan baik. Kamu itu lagi-lagi bikin masalah."

"Ba-baik, Pak Raka." Kayla segera mengetikkan PLU (Price Look Up-unit) pada setiap barang belanjaan mereka. Ia memang sengaja tidak menggunakan mesin scan agar bisa berlama-lama memandang wajah Kenzie di depan meja kasir.

"Eh, bentar. Gue belum ambil apa-apa udah mau dibayar aja," ujar Ara sembari berlari menuju lorong rak, mengambil minuman dan cemilan.

"Iya udah, buruan." Kenzie memilih tidak banyak bicara. Perutnya lebih penting daripada menghadapi 2 wanita planet bumi yang aneh, cerewet, dan judes. Meskipun keduanya cantik, tetap saja aneh seperti alien.

"Cepatan, Beo! Lama banget lo kalau belanja, pantesan jomlo. Mana ada cowok mau deket sama lo yang lelet kayak gitu." Beberapa kali Kayla mencuri pandang ke arah Kenzie. Tapi Kenzie tetaplah Kenzie, pria dingin dan cuek terhadap orang asing.

"Bawel amat lo Nenek Lampir sialan! Pantes toko lo sepi." Ara berjalan dari ujung lorong rak gondola mendekati area kasir.

"Dilihat dari belanjaan ini, kayaknya lo belum sarapan pagi ini, ya? Kasihan," celetuk Kayla basa-basi kepada Kenzie.

"Sok perhatian lo," sahut Ara.

"Gue tanya sama dia. Bukan sama lo!" Kayla tak kalah garang. "Lo belum sarapan?" ia melirik sekali lagi wajah Kenzie.

"Tadi denger kata pimpinan lo, nggak?" Sedapat mungkin, Kenzie juga tidak mau banyak basa-basi.

"Iiish, iya, iya. Dasar Es Batu. Keras kepala banget lo jadi cowok. Gue cuma tanya doang di sewotin."

Kenzie memilih diam tidak menghiraukan. Memperpanjang pun percuma, karena tidak akan ada habisnya melawan kaum Hawa yang modelnya seperti alarm emergency ini.