Di senin pagi yang cukup cerah. Seperti biasa, aktivitas ibu kota membuat polusi udara ke mana-mana. Macet adalah cuci mata setiap harinya. Kenzie harus berangkat lebih awal karena akan ada do'a pagi dan laporan selama 1 minggu kemarin. Setiba di kantor, Kenzie tertegun cukup lama melihat semua karyawan sudah banyak yang datang di lantai bawah. Ini baru pukul 7, bukankah terlalu pagi?
Sekejap ia tersadar, ternyata tadi benar dugaannya saat memarkirkan mobilnya di belakang kantor. Nopol itu ..., batinnya. Mana mungkin ia lupa. Bahkan hampir semua pegawai di sini hafal betul dengan nomor polisi mobil di parkiran tadi. Kenzie segera berjalan lebih cepat memasuki lift menuju lantai paling atas gedung kantor.
"Jam berapa ini?" tanya seseorang yang sudah duduk di dalam ruangan Kenzie.
"Pukul 7 lebih 5 menit, Pak," jawab Kenzie setelah menilik arlojinya.
"Eh, berani jawab lagi!" sahutnya. "Kau tidak membaca grup whatsapp cabang semalam? Saya sudah bilang besok ada Bapak Handoko di cabang kita, harusnya datang lebih pagi!" imbuhnya dengan wajah seperti Gunung Berapi yang akan meletuskan lahar.
Kenzie memilih untuk diam tidak menjawab. Sepertinya memang benar. Ia semalam tidak melihat chat di grup cabang. Hanya saja, tidak bisakah orang di depannya ini bicara lebih lembut lagi? Mendengar suaranya saja sudah melebihi sirine damkar. Lihatlah, wajahnya jingga seperti lava.
"Kamu dengar saya bicara apa enggak? Malah melamun," ujar pria yang memiliki tubuh sedikit tambun itu.
"Sudah," sahut seseorang di sampingnya. "Hanya masalah seperti itu tidak perlu dipermasalahkan, Pak Erman." Beliau adalah Bapak Handoko–Area Coordinator Manager–pemegang wilayah Jakarta bagian II. Di usianya yang sebentar lagi menginjak kepala 5 itu, tidak nampak banyak kerut pada wajahnya. Mungkin karena irit marah dan banyak bercanda, membuatnya terlihat segar setiap harinya.
"Tapi, Pak Handoko. Orang seperti ini tidak bisa dipertahankan di perusahaan bonafide se–"
"Cukup ...," sahut Pak Handoko memotong kembali. "Sepertinya kamu berlebihan menilai anak buah. Lagi pula, saya tidak suka terlalu dijamu berlebihan," sambungnya sambil terkekeh.
"Ba-baik, Pak. Maafkan saya."
Kenzie hanya diam. Dingin seperti biasanya. Meski dalam hatinya ingin sekali tertawa melihat manajernya disentil oleh orang yang lebih tinggi jabatannya.
Ingatlah, di atas langit masih ada Hotman Paris. Jadi jangan pernah sombong dengan jabatanmu saat ini.
"Saya dengar dari Pak Erman, kamu berani bertaruh target 6 bulan berturut-turut di cabang ini. Dengan konsekuensi kalau tidak target kamu resign. Apa benar begitu?"
"Betul, Pak," jawab Kenzie singkat. Kenzie tetaplah Kenzie. Mau pimpinan setinggi apa pun ia tetap saja dingin.
"Kenapa kamu lakukan itu?"
Kenzie menatap tajam wajah Erman. Sangat lekat.
"Jadi, Pak Erman tidak menjelaskan apa alasannya?" Kenzie berbalik tanya.
"Dia hanya cerita soal itu saja," balas Pak Handoko.
"Begini, Pak Handoko ...," sahut Erman mengambil alih sebelum Kenzie menjelaskan. "Pak Kenzie melakukan itu karena sadar. Kalau misalkan dia tidak bisa memenuhi target lagi, berarti sudah tidak produktif di sini."
Pak Handoko manggut-manggut mengerti. "Kalau begitu, buktikan bahwa kamu masih produktif, Pak Ken."
Kenzie hanya mengangguk sekali. Tangannya mengepal. Rahangnya semakin mengeras mendengar lidah bedebah Erman. Padahal kenyataannya bukan seperti itu.
Dasar jipan, penjilat pantat, batin Kenzie.
"Baiklah, sekarang kita ke ruang aula. Do'a pagi sebentar lagi dimulai, 'kan?"
"Baik, Pak Handoko," jawab Kenzie dan Erman kompak.
"Saya mau lihat perubahan apa yang sudah dilakukan di cabang ini," ujar Pak Handoko sembari keluar dari ruangan.
"Bos," panggil Kenzie menatap tajam managernya—saat Pak Handoko sudah dipastikan keluar dari ruangannya.
Erman berhenti sejenak. Ia menyeringai. "Saya masih ingat. Sori, tadi saya poles ceritanya sedikit lebih menarik. Kau diam dan dengarkan saja." Bibirnya terangkat sebelah, lantas kembali berjalan menuju ruang aula.
-oOo-
Selesai pelaksanaan do'a pagi dan laporan mingguan, pukul 10 Bapak Kawil berpamitan. Maklum, petinggi perusahaan pasti sangat padat agendanya.
"Tadi perubahan yang cukup signifikan dibanding bulan kemarin. Saya yakin bulan ini, cabang kalian bisa mencapai target," ujar Bapak Handoko kepada kedua bawahannya—Erman dan Kenzie di ruangan Section Head.
"Pak Kenzie, tadi terobosan kamu sangat bagus. Anak muda yang memiliki banyak inovasi seperti kamu sangat dibutuhkan di perusahaan ini. Bagaimana, Pak Erman?"
"I-iya, Pak. Strategi Pak Kenzie memang luar biasa," sanjung Erman, meski dengan terpaksa.
"Saya yakin cabang ini bisa target secara terus menerus kalau seperti ini. Saya permisi dulu. Bulan depan saya ke sini lagi. Selamat bekerja." Pak Handoko menepuk bahu Kenzie dan berujung keluar dari ruangan. Erman juga beranjak keluar, tapi tanpa permisi.
Kenzie kembali duduk di kursi ruangannya. Menyandarkan kepalanya yang sedikit pening. Hari ini cukup melelahkan karena mendengar ceramah dari ACM dan BM-nya sekaligus di pagi hari. Sesaat, matanya tertuju pada sebuah bingkisan makanan di atas mejanya, entah dari siapa. Berujung membuka makanan itu. Ada seutas tulisan, "Selamat bekerja, semangat!" Kenzie tersenyum membacanya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" seru Kenzie setelah mendengar suara dari balik pintu ruangannya.
"Selamat siang, Pak Ken. Saya mau setor laporan," ujar seseorang yang baru masuk dalam ruangan.
"Iya, silakan. Taruh saja di atas meja sana." Kenzie membuka laptopnya. Ada yang harus ia cek di minggu terakhir bulan ini. Akan tetapi pada detik berikutnya, kepalanya bergeser sedikit untuk melihat staf tadi yang masih saja belum beranjak keluar dari ruangan.
"Ada apa lagi?" tanya Kenzie.
Staf itu menggeleng gugup. "Eemm ... enggak ada sih, Pak. Saya hanya ingin melihat wajah Pak Kenzie saja."
Ya Tuhan, kenapa belakangan ini banyak gadis gila yang hamba temui, pikirnya.
"Ingat, kamu sudah punya suami. Kembali bekerja sana," ujar Kenzie tanpa penekanan.
"Ba-baik, Pak. Bapak semangat, ya, kerjanya."
"Hm."
Staf itu kemudian buru-buru permisi dengan rasa malu dan canggung.
Drrtt Drrtt
Ponsel Kenzie bergetar di atas meja. Ada 2 notifikasi chat masuk dari seseorang.
Dari: 0821.... (Tidak dikenal)
Pak Tampan, temanin cari makan. Ini nomor Selvi. Di save, yaa ....
Dari: 0821.... (Tidak dikenal)
Pak Tampan enggak cemburu, kan, gara-gara Selvi keluar sama Pak Erman kemarin?
Kenzie menutup kembali ponselnya. Ia enggan membalas chat yang tidak begitu penting. Ada hal yang harus segera dibereskan sebelum akhir bulan ini. Hasil dari pertemuan dengan koleganya tempo lalu harus segera terlaksana. Jika tidak, kemungkinan kecil ia bisa mencapai target bulan ini. Bahkan juga kemungkinan besar gagal dengan perjanjian target 6 bulan yang telah disepakati bersama—seluruh atasan di cabang ini.
-oOo-
Mentari mulai menguning. Tapi masih saja tidak ada kabar satu pun dari koleganya. Harusnya ada pertemuan lagi hari ini. Sampai akhirnya, Kenzie hanya bisa memaklumi, sepertinya mereka masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Beberapa saat kemudian ponselnya berdering. Salah satu orang yang ia tunggu akhirnya memberi kabar. Malam ini akan diadakan pertemuan lagi bersama beberapa kolega eksternalnya.
"Baik, Pak Ufo. Sebelum pukul 7 malam saya akan ke sana. Terima kasih." Kenzie menutup perbincangan singkatnya, lantas membereskan dokumen di atas meja.
"Pak Tampan!" Lagi-lagi gelombang suara itu melengking di gendang telinga Kenzie. Ia menghela napas berat melihat seorang gadis berlari menuju ke arahnya. Triple combo! Hari ini menjadi semakin buruk setelah kedatangan ACM dan BM-nya. Sekarang ada lagi satu perusuh yang sedang menuju kemari.
"Pak Tampan jahat. Kenapa enggak balas pesan Selvi?"
"Enggak penting," jawab Kenzie singkat sembari berjalan menuju anak tangga.
"Naik lift aja. Biar bisa berduaan lagi sama Selvi," ajaknya menggamit mesra tangan Kenzie.
"Nggak!"
"Ayo dong, Pak Tampan."
"ENGGAK!" bentak Kenzie sambil mengibaskan tangannya.
Gadis itu terperosot jatuh ke 2 buah anak tangga karena gerakan manuver Kenzie yang terlalu kuat. Ia mengaduh kesakitan dan sebenarnya, Kenzie tidak ada maksud untuk menyakitinya. Dia hanya risi jika diperlakukan seperti ini di depan umum.
Kenzie segera menghampirinya. Khawatir. Menyadari hal itu, Selvi justru semakin memainkan dramanya. Ia meringis kesakitan. Menangis sembari mengelus lutut dan mata kakinya yang terbentur dinding tangga.
"Sori, Sel. Gue enggak ada maksud buat–"
"Bisa minta tolong?" sahut Selvi memotong.
"Apa?"
"Gendong Selvi, ya."
Dahi Kenzie kontan menciptakan garis vertikal. "Manja banget lo!"
"Pak Tampan enggak kasihan sama Selvi?"
"Lagian, kan, lo yang salah. Elo yang pegang-pegang gue."
"Tapi, kan, enggak seharusnya seimpulsif itu."
Selvi menarik sedikit ujung celana Kenzie. "Gendong ya Pak Tampan. Selvi enggak bisa jalan."
Kenzie menelan salivanya berat. Secara naluriah, memang gadis ini di luar rata-rata kecantikannya. Sedingin apa pun sikap Kenzie, ia tetap saja normal seperti lelaki pada umumnya. Tubuhnya memang elok, sangat memancing syahwat. Dan jika dipandang lama-lama, akan terbesit pikiran yang tidak-tidak.
"Gue papah aja, ya," tawar Kenzie.
"Enggak mau. Gendong punggung atau depan pokoknya."
Kenzie kembali berdiri. "Ya udah, kalau enggak mau."
"Tunggu ...." Selvi tidak mau membuang kesempatan emas ini. Kapan lagi bisa bermesraan dengan si pria batu setampan Kenzie. "Iya, Selvi mau."
Dengan penuh keterpaksaan, Kenzie perlahan menarik tangan gadis itu menuju lehernya, kemudian dengan bebas tangannya yang lain merangkul bagian pinggang Selvi.