Chapter 4 - Briefing

"Sssttt, Pak … Pak Raka …," desis Kayla dari area kasir.

"Hmm …?"

"Lama-lama, cowok itu terlihat makin ganteng aja ya, Pak." Pimpinan shift itu mengedarkan pandangan. Mungkin yang Kayla maksud 2 orang pelanggan yang baru saja keluar dari tokonya.

"Tapi kayaknya Burung Beo itu pacarnya," imbuh Kayla dengan bibir sedikit manyun.

Raka memiringkan ujung bibirnya. "Kamu itu suka tapi berlagak judes di depan dia. Kalau suka ya suka aja, jangan hipokrit."

Kayla hanya diam. Masih menikmati pemandangan indah yang semakin menjauhi tokonya. Ia sempurna membayangkan wajah pria itu.

"Woy! Ngelamun terossss …," cerocos pegawai lain yang baru saja selesai menyapu halaman depan toko.

Kayla terperanjat dari lamunannya. Menyumpahi dalam hati rekan kerjanya itu.

"Mereka enggak pacaran, kok. Cewek itu kayaknya cuma teman kerjanya doang," imbuh pegawai itu.

"Lo tau dari mana?" tanya Kayla.

"Kan kerjanya di samping toko kita."

"Kalau itu gue juga tau, Yud. Masa cuma dengan bukti itu bisa ngeyakinin kalau mereka enggak pacaran," desis Kayla sebal dan memang benar, itu sangat rasional.

"Oh iya, satu lagi. Gue, kan, juga satu tempat kos sama Bang Kenji Kenji itu." Wahyudi, salah satu pramuniaga toko tersebut memang menyewa tempat tinggal yang berdekatan dengan Kenzie. Namun, mereka tidak terlalu dekat karena kesibukan masing-masing. Meski begitu, Wahyudi tahu betul bahwa Kenzie tidak memiliki pacar ataupun gebetan.

"Hah? Masa? Di mana kosnya?"

"Hmmm …." Wahyudi mengelus dagunya dengan satu jari telunjuk. Pandangannya ke atas seolah mempertimbangkan sesuatu. "Oke, gue kasih tau. Tapi dengan satu syarat."

"Apa?"

"Lo harus nginep di kos gue satu malam. Mau?"

Plaakk!

"DASAR OTAK MESUM!"

Wahyudi meringis kesakitan. Pipinya memanas terkena tamparan yang cukup renyah dari Kayla. "Bercanda gue. Kasar amat," ujarnya sambil mengelus pipi. "Nanti gue kasih tahu. Tapi mau bersih-bersih gudang dulu."

"Sori, gue barusan juga bercanda," cengir Kayla.

Wahyudi hanya melengos begitu saja.

Sementara di sisi lain, kedua anak manusia itu sedang menuju kembali ke arah kantornya. Ara tidak berhenti mengumpat dengan berbagai macam nama hewan yang ada di muka bumi, karena perkataan kasir toko tadi yang membuatnya benar-benar naik pitam. Kenzie hanya terkekeh dan mengacak-acak rambut sahabatnya yang lucu itu.

"Pak Kenzie dari mana saja? Lama sekali," tanya seseorang yang baru saja keluar dari lift. Dude Lesyto, atau akrab dipanggil Lestyo, juga kerap dipanggil 'Bung' karena nama awalannya. Ia juga salah satu staf yang selevel dengan Ara. Pemegang posisi C.A di bawah kendali Kenzie.

"Sori, tadi ada pertandingan ayam betina di samping kantor."

Mata Lestyo terbelalak. Menatap penuh selidik. "Yang benar, Pak?"

Kenzie mengangguk dengan senyuman aneh. "Kalau kamu enggak percaya, tanya saja sama dia." Kepalanya bergerak sedikit ke kanan—menunjuk Ara. Gadis itu hanya berlipat tangan dengan bibir manyun. Sementara Lestyo menahan tawa, seolah mengerti apa yang Kenzie maksudkan. Sudah hal yang lumrah beberapa hari belakangan ini. Ketika Ara sedang berbelanja di Alphamaria dan bertemu kasir itu, pasti sekembalinya belanja ia selalu cemberut.

"Teman-teman lapangan sudah kumpul di atas. Bisa kita mulai briefing sekarang, Pak Ken?" ujar Lestyo, bermaksud tidak mau banyak membuang waktu.

"Siapa yang suruh briefing di atas? Di aula saja. Sambil makan."

Lestyo menelan salivanya berat. "Tapi, Pak Ken, kalau ada Pak Erman nanti bagaimana?"

"Sudahlah, enggak perlu khawatir. Kalau di ruang atas, mereka terlalu tegang. Kalau di tempat aula, kan, mereka bisa sedikit tenang. Menikmati makanan sambil minum kopi dan ngerokok."

"Tapi, kan, Pak Kenzie enggak ngerokok?"

"Pak Lestyo tahu dari siapa kalau dia enggak ngerokok. Kalau di luar dia ngebes," sahut Ara.

Kenzie hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sementara Lestyo menahan tawa untuk kedua kalinya.

"Baiklah, kalau begitu. Pak Kenzie dan Bu Ara tunggu di ruang aula saja. Saya akan panggil teman-teman pindah briefing ke lantai bawah." Kenzie hanya menjentikkan jempolnya dan berjalan menuju ruang aula bersama Ara.

-oOo-

Setelah penjelasan panjang lebar tentang briefing yang telah Kenzie sampaikan, anak buahnya dipersilakan untuk menikmati beberapa cemilan ringan yang telah dibelinya tadi pagi. Seperti biasa, kopi hitam menemani jalannya kebersamaan mereka. Memang beberapa bulan ini mereka sangat jarang melakukan briefing setiap seminggu sekali. Karena kesibukan dari Kenzie yang harus terjun ke lapangan guna menangani beberapa masalah.

Beberapa minggu ke belakang selalu diisi oleh Erman untuk menggantikan tugas Kenzie sementara. Beda Kenzie, beda halnya Erman. Ia terlalu menekankan kepada anak buahnya untuk target, target, target dan target. Tidak mau tahu caranya seperti apa yang penting target bulanannya tercapai.

Begitu bodoh menurut Kenzie, jika seorang pemimpin hanya bisa memaksakan kaki tangannya untuk bergerak, sedangkan otak dan tubuh lainnya bermalas-malasan.

"Sambil menikmati camilan, mari kita bicara ringan tentang kendala di lapangan," ujar Kenzie memecah riuh dari anak buahnya yang mengobrol sendiri-sendiri di dalam ruangan. Lengang, itulah suasana yang mendominasi saat ini. Tanpa tegang, mereka memperhatikan Kenzie dengan senyum lebar.

"Oh iya, Pak Ken." Seseorang memecah hening, "Saya semalam ditelepon oleh salah satu nasabah yang bermasalah. Katanya, dia sudah ada uang untuk bayar angsuran. Nanti sore akan saya ambil uangnya," paparnya.

Kenzie manggut-manggut bangga melihat gerak cepat dari anak buahnya itu.

"Orderan saya kemarin terlalu banyak, Pak Ken. Jadi ada dua nasabah yang belum sempat di-visit. Nanti saya kunjungi langsung ke rumahnya." Anak buah lainnya bercerita.

"Pak … Pak Kenzie …." Dari sudut lain ada yang mengangkat tangan tak kalah antusias.

"Ada apa? Kamu Faruq, 'kan?" tanya Kenzie.

"Betul, Pak Ken," balas anak buahnya. "Saya mau tanya. Kalau ada nasabah yang masih kredit, terus mau mengajukan lagi bagaimana?"

"Sudah kamu cek record pembayarannya?"

"Sudah, Pak."

"Hasilnya?"

"Bagus dan nol denda, Pak."

"Mantul! Jangan sia-siakan. Segera follow up secepatnya," ujar Kenzie sambil menjentikkan kedua jempolnya.

"86. Segera dilaksanakan, Pak Ken," serunya hiperbolis.

Semua ruangan riuh dengan tertawa. Kemudian masih banyak lagi cerita dari teman-teman yang ada di lapangan. Tanpa disuruh, tanpa diminta, mereka saling menyadari tugas dan tanggung jawab masing-masing. Dengan tenang dan santai seperti kerabat dekat, mereka saling bertukar cerita tentang berbagai kendala di lapangan. Kenzie tidak pernah membatasi antara bawahan dan atasan. Meski sopan santun dan rasa hormat tetap dijunjung tinggi. Di luar itu semua, mereka sama. Sama-sama manusia yang harus di manusiakan. Duduk sama rendah. Berdiri sama tinggi. Apa yang perlu disombongkan?