Chereads / Before The Dawn / Chapter 32 - Bab 31: Orang Hilang

Chapter 32 - Bab 31: Orang Hilang

Malam semakin larut. Hawa dingin bertambah menusuk tulang. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat para petugas untuk menggali informasi dari gedung terbengkalai itu.

Sejak di temukannya ruang pendingin yang berisi mayat dengan jumlah tak terhitung. Tim forensik dihubungi kembali dan bertambah lumayan banyak. Di area tempat parkir, terdapat sisa lima unit ambulans dan tiga mobil patroli yang tengah berjaga.

Dua dari ambulans itu sudah pergi mengantar mayat-mayat yang ditemukan. Menuju rumah sakit forensik untuk diperiksa lebih lanjut. Pun yang tersisa sudah mulai meninggalkan lokasi satu per satu. Jika mayat yang hendak diangkut masih tersisa, maka akan ada beberapa yang dipinta untuk kembali.

Kanit Iva menatap nanar setiap mayat yang diangkut ke dalam mobil ambulans. Hatinya teriris dengan pilu. Dadanya sesak menahan sakit serta emosi yang siap meledak kapan pun. Jika saja pelaku ada di sana, sudah dipastikan dia akan habis dihajar oleh Kanit Iva.

Penyidik yang satu ini memang selalu terlihat garang, tapi bukan berarti dia tidak memiliki hati. Lagi pula, siapa yang akan tahan jika berada di tempat itu langsung? Melihat setiap kondisi korban yang begitu memprihatinkan. Hampir dari semuanya memiliki ciri luka yang sama. Yaitu berupa sayatan yang sudah dijahit.

Begitu juga dengan beberapa temuan lain yang tidak kalah mengencangkan. Saat itu, ketika yang lain hanya bisa mematung untuk waktu yang cukup lama. Kino justru masuk lebih dalam ke ruangan pendingin itu. Dia mengabaikan sakit di bahunya, pun udara dingin yang menusuk. Hanya untuk memeriksa jika apa yang dia pikirkan meleset parah.

Namun, apa yang ingin dia sangkal justru menghantam kenyataan dengan telak. Pada dua rak yang terletak di bagian paling pojok ruangan, hampir semuanya dipenuhi organ dalam manusia. Mulai dari jantung, hati, ginjal, bola mata, sampai beberapa potong kaki dan satu buah kepala anak kecil.

Kino sampai mual melihat pemandangan horor itu. Tubuhnya hampir limbung jika saja dia tidak bergegas keluar. Matanya sudah berkaca-kaca. Sesak. Sungguh.

Melihat reaksi dari anak buahnya itu, Kanit Iva ikut memeriksa ke dalam. Disusul AKBP Irwan dan beberapa orang dari forensik. Sementara Kyra tidak mau ikut masuk. Perasaannya saja sudah kacau dengan melihat mayat bergelimpangan. Dia sama sekali tidak berminat melihat apa yang Kino lihat.

Kendati demikian, apa yang berusaha dihindari tetap saja tertangkap oleh indra penglihatannya. Tepat ketika tim forensik melakukan evakuasi dan membongkar isi dari rak itu. Kyra tanpa sengaja menyaksikannya.

Air mata gadis itu seketika bercucuran tanpa bisa dibendung. Kondisi mayat dari berbagai usia saja sudah cukup membuat hatinya tercabik. Ini ditambah dengan kepala seorang anak yang terpisah dari badannya. Tubuhnya lemas seketika. Tidak ada jeritan atau apa. Dia hanya menangis dalam diam.

Orang macam apa, yang berani melakukan hal keji semacam ini? Dengan tujuan apa pula? Sungguh. Kyra tidak habis dengan ini semua. Bagaimana bisa seseorang melakukan hal di luar batas seperti ini? Merenggut nyawa orang lain sudah seperti menyentil semut kecil. Mudah sekali.

Kyra sebenarnya bukan gadis yang cengeng. Dia kuat tentu saja. Akan tetapi jika sudah menyangkut pembunuhan sebanyak ini, hati siapa yang tidak akan teriris? Tentu semua pasti merasa pilu.

Belum lagi membayangkan penderitaan yang dialami korban. Pun jika para korban itu masih memiliki keluarga, pasti mereka menunggu kepulangannya. Cemas, khawatir, sedih juga rasa kehilangan yang teramat dalam. Kyra sungguh tidak kuat dia berada di posisi mereka. Sama halnya yang dirasakan Kanit Iva.

"Siapa pun yang melakukan perbuatan keji ini sungguh tidak akan pernah aku maafkan!"

Kyra mengusap air matanya dengan sedikit kasar. Dia bangkit dan berjalan menghampiri Kanit Iva yang tengah berbincang dengan Kino. Sementara AKBP Irwan sudah tidak ada di lokasi. Dia pergi ke rumah sakit forensik untuk mendapat info dengan cepat. Tanggung jawab yang ada di TKP, semuanya diserahkan pada Unit II.

"Kita harus secepatnya menangkap dalang di balik ini semua. Harus!" Kanit Iva berucap dengan tegas. Tatapannya beralih pada gedung tiga lantai di belakangnya.

Kino mengangguk dengan pasti.

"Jika pelakunya tertangkap, aku ingin dia dihukum mati!" Kyra menimpali dari belakang. Raut sedih sudah hilang dari wajah manisnya itu. Terganti dengan ekspresi kesal seolah ingin mematahkan leher seseorang.

"Kematian terlalu mewah untuk orang-orang seperti mereka, Ky." Kino menatap rekannya itu lekat-lekat.

Tidak bisa dipungkiri jika hati nuraninya juga tersakiti atas kasus ini. Terlebih lagi dia yang menemukan ruang pendingin berisi mayat-mayat itu. Akan tetapi, Kino masih bisa sedikit berpikir jernih. Atau bisa dibilang dia memiliki pemikiran yang berbeda dari rekannya.

"Apa yang kau maksud itu?" Kyra melotot pada Kino.

Dia sedikit tidak paham maksud pria itu. Jika kematian terlalu mewah untuk para pelaku kriminal, lantas hukuman apa lagi yang harus diberikan pada mereka? Seingat dia, hukuman mati adalah yang tertinggi dari semua hukum yang ada.

Kino tidak menjawab pertanyaan rekannya itu. Dia hanya menunduk dan sesekali mengusap bahu kirinya. Sampai tidak menyadari jika petugas forensik yang membantunya menemukan ruangan tadi, datang menghampiri ketiganya.

Seorang dari tim forensik tersebut berbicara dengan Kanit Iva cukup lama. Dia memberi tahu beberapa gambaran mengenai kasus seperti apa yang tengah mereka hadapi. Pun beberapa kemungkinan yang ada. Mengenai jumlah korban yang bisa saja lebih dari apa yang mereka temukan.

Pria itu juga mengabarkan jika proses olah TKP yang dilakukan tim forensik akan segera selesai. Semua mayat sudah dievakuasi. Begitu juga dengan beberapa alat bukti sudah dibawa untuk penyidikan lebih lanjut.

Sebelum benar-benar meninggalkan ketiganya, pria itu sempat menghampiri Kino. Meminta penyidik itu untuk mengobati bahunya terlebih dahulu sebelum melanjutkan tugasnya. Kino hanya mengangguk sebagai jawaban. Seulas senyum juga sempat dia pamerkan atas perhatian yang diberikan orang itu.

"Jika ingin menangis, menangis saja tidak perlu ditahan," ucap Kyra.

Dia sangat tidak suka jika Kino sudah berdiam diri seperti ini. Tanpa ada kata terucap. Atau bahkan menyuarakan asumsinya pun tidak dilakukan. Padahal biasanya dia sangat aktif dalam menangani suatu kasus.

"Kau memikirkan sesuatu, Kino?"

Kanit Iva yang menyadari perubahan pada sifat anak buahnya itu, dibuat sama herannya dengan Kyra. Dia tahu Kino. Penyidik itu hampir sama keras kepala dengan dirinya. Sama-sama tidak pandai mengeluarkan emosi dengan baik juga. Jadi, tidak heran jika sedikit khawatir.

Kino menggeleng. "Saya hanya memikirkan jika semua organ penting dalam tubuh para mayat itu hilang semua. Bukankah itu artinya kasus ini akan menjadi kasus yang sangat besar, Komandan? Seperti sebuah sindikat penjualan organ misalnya?"

Ah, ternyata itu. Kanit Iva menganggukkan kepalanya. Pemikiran mereka ternyata berada di arah yang sama.

"Kita tunggu hasil pemeriksaan tim forensik lebih dulu. Dan jika memang benar, bersiaplah bekerja seperti kuda."

Mulut Kyra hampir menganga. Otaknya pun ikut-ikutan membayangkan apa yang Kino pikirkan. Tidak sama persis memang, tapi kata bekerja seperti kuda sudah membuatnya sedikit meringis.

"Sudahlah. Sebaiknya kalian kembali ke kantor. Kyra, cari tahu siapa pemilik gedung terbengkalai ini. Dan Kino, periksa beberapa berkas laporan mengenai orang hilang yang dilaporkan dari awal tahun ini."

Kanit Iva memberi mereka tugas, sementara dirinya akan pergi ke rumah sakit forensik. Menyusul AKBP Irwan yang sudah lebih dahulu berada di tempat itu.

"Siap, Komandan!" Duo K berucap serentak. Sebelah tangan mereka juga terangkat memberi hormat.

Setelah membiarkan Kanit Iva pergi terlebih dahulu, kedua penyidik itu pun bergegas menuju mobil mereka. Kali ini masih Kyra yang mengemudikannya. Membelah jalanan Ibu Kota yang tidak pernah sepi. Seperti tugas mereka yang entah kapan akan terasa ringan.