Darren melajukan mobil sport berwarna hitam itu memasuki sebuah bengkel lumayan luas. Areanya bersih dan rapi untuk ukuran sebuah bengkel.
Secara perlahan, dia menempatkan mobil itu di pojok kiri. Tepat di dekat lemari berisi peralatan yang membantu para montir bekerja.
Suasana bengkel hari ini tidak begitu ramai. Hanya ada satu mobil yang tengah dicuci di bagian lain bengkel. Selain melayani perbaikan kendaraan, tempat ini juga melayani jasa mencuci. Agar lebih lengkap, kata pemilik bengkel.
Terdapat juga dua buah motor yang tengah dibetulkan oleh beberapa orang pegawai. Mereka sempat menoleh ke arah mobil sport Arthur, dan menggelengkan kepala dengan ekspresi kesal.
Seorang pria dengan seragam khas orang-orang yang bekerja di bengkel, datang menghampiri keduanya yang sudah keluar dari dalam mobil. Mata pria berusia sekitar 50 tahun itu tidak lepas dari mobil sport hitam yang baru datang. Menatap kerusakan yang ada dengan jeli.
Dia meringis. Mobil sebagus dan semahal ini dibuat ringsek di beberapa bagian. Sungguh tidak berotak.
"Kau mengebut lagi, Arthur?" tanya pria itu. Matanya beralih menatap Arthur penuh selidik.
Ini bukan kali pertama mobil Arthur di bawa ke bengkel dalam kondisi rusak di bagian depan. Sudah yang kedua kali di bulan ini. Hobinya mengebut, terkadang membawa petaka. Menabrak pohon, pembatas jalan, atau beradu dengan kendaraan milik pengguna jalan lain.
Bahkan kalau diingat lagi, entah sudah berapa kali Arthur mengganti mobilnya. Meski menyebalkan, tapi pria pemilik bengkel masih bisa mengucap syukur. Karena hanya mobilnya saja yang rusak.
"Darren menabrak mobil Damian, Paman Joe," jawab Arthur sekenanya.
Dia berjalan ke arah meja dengan satu box minuman dingin di atasnya. Mengambil satu dan menenggaknya.
Joe Orlando, pria itu menatap Darren dengan tatapan setajam mungkin. Menuntut sebuah keterangan. Yang ditatap menggeleng beberapa kali, dengan mengibaskan kedua tangannya di udara. Berusaha meyakinkan, meski tak berguna sama sekali.
Joe mengembuskan napas dengan kasar. Dia sudah paham betul watak anaknya itu. Mencari masalah dengan musuh, seolah sudah menjadi hobinya.
Heran, bagaimana dia bisa menikmati itu? Menantang musuh, sama dengan mencari mati. Dikejar-kejar oleh kematian. Sepertinya menjadi hal yang menyenangkan bagi Darren.
"Akan memakan cukup waktu untuk memperbaiki kerusakan di mobil ini. Banyak komponen yang harus di ganti." Joe berjalan ke arah Arthur, "dan bagaimana bisa kau membiarkan dia menabrak mobil Damian?"
Arthur melepas topi yang dia kenakan terlebih dahulu, dan menyimpannya di atas meja. Wajah tampan dengan rahang tegas, hidung mancung dan mata berwarna coklat miliknya. Kini terlihat jelas tanpa penghalang dari lidah topi itu. Dia mengacak rambut hitamnya yang terpotong dengan rapi menggunakan tangan kanan, menambah kesan tampan yang dia miliki.
"Darren sangat menikmati itu, aku tidak tega menghentikannya. Lagi pula, aku yakin jika dia akan sangat menikmati hari-hari memperbaiki mobilku itu," ucap Arthur. Diakhiri dengan sebuah senyum ke arah Darren.
Darren yang mendengar itu merengut seketika. Arthur bukan tidak tega menghentikannya, tapi pria itu ingin melihatnya menderita. Berhari-hari bekerja memperbaiki mobil. Tidak izinkan meninggalkan bengkel sampai perbaikan mobil selesai, adalah hal yang tidak Darren sukai. Dia hanya suka merusak dan membuat onar dengan musuh. Itu saja.
Joe hanya menggeleng melihat interaksi keduanya. Dia merawat Arthur sejak berusia sembilan tahun—seusia dengan Darren kala itu. Membuat keduanya tumbuh bersama dan sudah seperti saudara kembar saja. Ke mana-mana selalu berdua.
Di mana ada Arthur, di sana ada Darren. Pun sebaliknya. Mereka seolah tak bisa terpisahkan. Bahkan, orang-orang di bengkel menjuluki mereka sebagai Duo Berandal, karena membuat masalah pun selalu berdua.
Berselang beberapa menit, setelah membantu menyelesaikan pekerjaan ketujuh pekerja yang ada. Joe meminta mereka untuk berkumpul di ruang rahasia. Kecuali dua pegawai yang diberi tugas untuk berjaga-jaga jika saja ada pelanggan yang datang untuk mengambil kendaraan mereka. Keduanya juga dipinta untuk menutup bengkel, dan segera menyusul jika semua sudah beres.
Sementara yang lain, mereka bergegas membersihkan diri dan berganti pakaian terlebih dahulu. Di bagian belakang bengkel terdapat sebuah bangunan dengan fasilitas yang lumayan lengkap.
Mulai dari kamar mandi, ruang khusus untuk ganti pakaian lengkap dengan loker untuk menyimpan barang-barang, dan beberapa kamar untuk para pegawai yang tidak memiliki tempat bernaung.
Berjarak sekitar 15 meter dari bangunan itu, tepat di sebelah kanan. Terdapat sebuah rumah dengan gaya minimalis. Itu adalah rumah Joe Orlando. Selaku pemilik dan pengelola bengkel ini. Arthur dan Darren pun tinggal di sana.
Selesai berganti pakaian, Arthur berjalan kembali ke area bengkel. Masuk ke dalam tanpa menyapa kedua pegawai yang sedang berjaga. Dia hanya melirik mereka sekilas, dan bergegas memasuki ruangan penyimpanan peralatan bengkel.
Kedua pegawai itu hanya mendesah pasrah dengan perilaku Arthur. Bukan karena merasa tak dianggap, tapi mereka sadar posisi mereka siapa di tempat ini.
Di ruangan yang Arthur masuki, terdapat beberapa buah lemari dengan tinggi yang hanya sebatas lehernya saja. Meski bengkel ini tidak begitu terkenal, dan pelanggannya pun bisa dibilang itu-itu saja, tapi peralatan yang ada bisa dibilang sangat lengkap.
Pria itu berjalan ke arah lemari tua dengan kayu yang sudah kusam karena jarang dibersihkan. Pun tidak terlalu banyak barang yang disimpan di sana. Hanya ada beberapa obeng dan kunci inggris.
Arthur mengambil satu buah obeng dengan gagang berwarna bening. Secara perlahan, dia mengarahkan ujung obeng itu arah stop kontak yang berbeda di sisi kiri lemari. Meletakkannya hingga menempel tepat di baut yang terletak di antara dua lubang colokan kabel. Lalu, memutarnya hingga baut itu terlepas. Dengan mudah dia menarik bagian tengahnya itu.
Setelah terlepas, yang terlihat bukanlah susunan kabel listrik yang pada umumnya tersambung dengan sebuah stop kontak. Melainkan tombol berwarna merah seukuran kelereng terdapat di dalam sana.
Arthur menekan tombol itu, dan secara ajaib lemari tua di sampingnya bergeser seperti sebuah pintu. Menampakkan ruangan lain dengan beberapa susunan anak tangga.
Arthur kembali memasang stop kontak itu seperti semula. Menyembunyikan tombol merah yang menjadi penghubung antara bengkel dan ruang rahasia itu. Setelah selesai, dia menuruni anak tangga yang jika dihitung jumlahnya tidak lebih dari dua puluh.
Pria itu tidak lupa untuk menekan tombol berwarna serupa yang terletak di dinding, searah dengan tombol yang ada di luar ruangan. Lemari yang menjadi penghubung dua ruangan ini pun sudah berada di posisinya semula. Seolah tidak ada yang pernah terjadi.
Ruangan ini di dominasi warna abu-abu dengan pencahayaan yang remang. Terasa lembab dan sedikit berbau tidak enak.
Arthur menelusuri sebuah lorong berbentuk huruf L dengan tergesa. Tangannya mengibas di udara. Mengusir bau yang membuat pernapasannya tidak enak.
Tidak begitu lama, Arthur berbelok dan mendapati sebuah pintu kayu berwarna coklat di hadapannya. Tanpa babibu, dia langsung membukanya dan masuk ke dalam ruangan yang sangat mustahil ada di tempat seperti ini.
Pencahayaan di ruangan ini sangan jauh berbeda dengan yang di luar tadi. Suara tawa para pekerja bengkel menggelegar di seisi ruangan. Sangat ramai. Seperti di sebuah pesta.
"Kau lama!"
Darren menyambutnya dengan melempar sebuah bungkus rokok yang sudah tidak ada isinya lagi. Lalu, dia menarik kerah baju Arthur. Menyeretnya menuju sebuah kursi memanjang di tengah ruangan. Seolah jika tidak melakukan itu, Arthur akan tersesat di ruangan yang lumayan luas ini.
Joe Orlando sudah duduk di kursi memanjang itu. Menyasap red wine yang menjadi minuman kesukaannya. Sejak kedatangannya, tatapan pemilik bangunan ini tidak lepas dari Arthur. Pahatan wajah pria muda itu benar-benar mengingatkannya pada bosnya yang sudah lama meninggal.
Mereka mirip. Dari cara bicara. Cara menatap, dan banyak hal yang ada pada Arthur membuatnya merasa jika bosnya terlahir kembali. Hanya saja, sifat mereka yang bertolak belakang. Sangat.
"Kenapa Paman meminta kami untuk berkumpul di sini?" tanya Arthur.
"Nikmati saja apa yang aku sediakan di meja. Nanti setelah semua berkumpul akan aku mulai." Joe kembali menenggak red wine-nya.
Tatapan mata Arthur teralih pada meja di depannya. Terdapat beberapa makanan ringan di sana. Juga beberapa jenis minuman beralkohol yang biasa mereka jual ke klub malam secara ilegal.
Dia beralih menatap Darren yang juga tengah menatapnya dengan jahil. Membuat tautan di kening pria itu muncul. Ada apa dengan tatapan Darren itu? Sedikit mencurigakan.
Tidak mau terlalu menghiraukan maksud dari tatapan temannya, Arthur mengambil satu botol vodka dan menuangnya sedikit ke dalam gelas. Menyasapnya dengan perlahan. Menikmati rasa pahit yang memenuhi indra pengecapnya.
Tatapannya kembali menyapu seisi ruangan. Ramai. Satu kata yang mewakili kondisi ruangan saat ini.
Arthur memperhatikan semua yang berada di tempat ini. Beberapa terlihat berkumpul di pojok ruangan dengan meja berbentuk bulat. Suara tawa lebih di dominasi berasal dari sana.
Bermain domino dan mempertaruhkan uang yang dimiliki, itu yang tengah mereka lakukan. Dan ya, erangan frustrasi yang sesekali memekakkan telinga, sudah dipastikan berasal dari pihak yang kalah.
Di sisi lainnya tidak jauh berbeda. Mereka pun tengah bermain domino. Hanya saja tidak sambil berjudi. Di bagian ini terlihat lebih menyenangkan dan santai. Jika kalah, mereka akan diolesi oleh sesuatu berwarna hitam tepat di wajah. Gelak tawa yang ditimbulkan pun tidak begitu mengganggu.
Seringai Arthur tiba-tiba muncul setelah melihat permainan yang tengah mereka mainkan. Tidak salah lagi, Darren memberi nama kelompok yang baru beranggotakan tiga puluh orang ini dengan nama Kelompok Domino. Hobi kebanyakan dari mereka memang hampir sama. Menghabiskan waktu luang dengan memainkan benda itu.
Sebenarnya, bengkel yang tadi hanyalah sebuah kedok untuk menutupi bisnis ilegal yang Joe Orlando lakukan. Kebanyakan orang-orang yang berada di sini, hanya tujuh yang diperkerjakan di bengkel itu. Menjadi sembilan jika Arthur dan Darren sedang berbaik hati untuk membantu.
Sayangnya, itu adalah hari-hari yang bisa dibilang sangat langka. Sisa dari anggota lainnya, sudah jelas mereka mengambil peran dalam bisnis ilegal yang dijalani. Mencari rekan bisnis. Bahkan merekrut anggota baru.
Bisnis yang mereka jalankan ini baru berkembang selama lima tahun, dengan seleksi anggota yang sangat ketat. Oleh karena itu, mereka baru mendapat tiga puluh anggota tetap.
Meski sedikit, tapi kemampuan mereka tidak bisa disepelekan. Lima tahun tidak terendus pihak kepolisian, tidak lain adalah berkat anggotanya yang selalu berhati-hati.
Mereka bukan orang-orang sembarangan. Menyelundupkan barang ilegal sudah diwajibkan sebagai keahliannya utama. Pun memasukkan berbagai jenis minuman beralkohol dari luar negeri dan mengelabui petugas, seolah semudah menggoreng telur bagi mereka.
Kebanyakan minuman di tempat ini berasal dari luar negeri. Tidak ada kata minuman oplosan di sini. Selain terjamin keasliannya, harga yang mahal juga menjadi keuntungan besar bagi kelompok ini. Mereka biasa mendistribusikan minuman-minuman itu ke klub. Dari klub kecil, sampai klub sekelas Orion.
Salah besar jika berpikir kejahatan yang mereka lakukan hanya sebatas menjual minuman beralkohol saja. Perampokan bank dan pembegalan secara sadis, adalah dua hal yang membuat kelompok ini ditakuti. Namanya memang masih asing dalam dunia kriminal, tapi kekejaman mereka terhadap korban sudah tidak bisa diragukan lagi.
Pihak kepolisian tentu memburu mereka, tapi tidak pernah berakhir mulus. Terlalu banyak pelaku pembegalan akhir-akhir ini, dan metode yang mereka lakukan hampir serupa. Jadi, sedikit sulit untuk mengetahui mana yang berkelompok, dan mana yang hanya melakukannya karena terpepet ekonomi.
Satu jam sudah berlalu, dan dua orang anggota yang tengah mereka tunggu akhirnya datang juga. Langsung saja, Joe Orlando mengajak mereka berpindah ke ruangan lain. Ruangan khusus miliknya selaku ketua kelompok.
Tampaknya, mereka akan membahas sesuatu yang serius. Seperti menyusun sebuah rencana untuk melakukan kejahatan di kemudian hari.