Kanit Gerdian termenung di kursi tunggu ruang autopsi. Tangannya beberapa kali mengusap wajah dengan kasar. Gelagatnya jelas menunjukkan rasa tidak nyaman.
Pintu terbuka. Kanit Gerdian langsung terperanjat. Seorang pria tua dengan jubah putih berdiri di ambangnya. Menanyakan apa detektif senior itu baik-baik saja, dan langsung dijawab dengan anggukan. Lantas, dokter itu pun memintanya untuk memasuki ruang autopsi.
Keduanya berdiri menghadap brankar. Mayat Anita terbujur kaku di atasnya, tertutup kain putih kecuali dari leher sampai kepala. Menyajikan pemandangan horor nomor satu.
"Tengkoraknya pecah. Sepertinya korban dibenturkan secara berulang. Terlihat dari beberapa luka serupa di sekitar wajahnya yang hampir hancur."
Dokter Ferdi mulai menerangkan. Hasil autopsi belum keluar secara resmi. Masih ada beberapa yang harus diperiksa, tapi Kanit Gerdian bukanlah tipe orang yang sabar. Semua mengetahuinya. Itulah sebabnya dia pergi ke Pusat Badan Forensik Nasional secara langsung.
Kanit Gerdian mengamati wajah mayat Anita. Darah kering masih menempel di beberapa bagian. Kulit dahinya hampir mengelupas. Tulang pipi kiri sudah tidak terbungkus daging. Rahangnya pun tidak berbentuk lagi.
Gadis malang itu memiliki paras ayu sebelum berakhir mengenaskan. Hidungnya jika tidak remuk, adalah jenis yang sangat diidamkan oleh banyak gadis di luar sana. Mancung serta mungil. Giginya rapi, sayang sekarang sudah rontok beberapa. Sungguh celaka nasibnya.
"Korban diperkirakan meninggal sekitar pukul dua akibat cedera kepala."
Kanit Gerdian hanya mengangguk. Dia menatap bagian lain dari tubuh korban. Menatap wajahnya terlalu lama, membuat imajinasinya liar. Tidak terbayangkan dengan apa yang Arvin lihat malam tadi. Tentunya lebih mengerikan dari ini.
"Senjata yang pelaku gunakan untuk memotong tangan korban. Sudah terindentifikasi?"
"Dilihat dari kerapihannya, sepertinya menggunakan pisau daging. Tapi aku belum yakin dengan ini."
Dokter Ferdi menyibak kain yang menutupi tangan Anita. Dengan hati-hati, dia membalik kedua potongan tangan itu, dan meletakkannya di atas tubuh korban. Pemandangan horor nomor kedua.
"Terdapat tanda berupa huruf X pada telapak tangan kanan korban, dan angka 08 pada telapak kirinya. Sayatan yang sangat rapi."
"Jadi, si pelaku meninggalkan tanda, huh? Benar-benar tidak punya pekerjaan." Embusan napas keluar dari mulut Kanit Gerdian.
Penjahat zaman sekarang benar-benar banyak tingkah. Sepertinya terlalu banyak mengonsumsi makanan sampah, hingga perilakunya pun jadi seperti itu. Tidak berguna.
Padahal jika sudah tertangkap, tidak sedikit dari mereka yang menangis ingin diampuni. Meminta maaf pada keluarga korban dengan menunduk takzim, baju rapi dan tutur kata yang sopan. Pun mereka lakukan untuk mengharap simpati. Selalu berbanding terbalik dengan kekejian yang sudah diperbuat.
"Entah apa maksud tanda itu. Yang jelas, gadis malang ini adalah korban kedua yang kutangani bulan ini." Raut wajah Dokter Ferdi berubah seketika. Sendu, penuh penderitaan.
"Tunggu! Korban kedua? Siapa korban pertama?" Kanit Gerdian beralih menatap Dokter Ferdi. Sorot mata menyiratkan keingintahuan yang besar.
"Korban pertama bernama Dewi Intan Wijaya jika aku tidak salah ingat. Nanti aku kirimkan berkas laporan hasil autopsinya beserta hasil pemeriksaan gadis ini." Dokter Ferdi tampak sedikit ragu.
"Untuk saat ini, kau tidak boleh memberi tahu selain dari anak buahmu mengenai hal ini. Terutama media. Unit yang menangani kasus korban pertama akan memenggalmu jika informasi ini sampai bocor."
"Memangnya siapa yang menangani kasus pertama?" Terlalu berlebihan jika ada yang terpenggal karena sebuah informasi.
"Unit II."
Ah, ternyata unit itu. Kanit Gerdian mencebik.
"Tanda yang diberikan pelaku hanya berbeda pada angka di telapak tangan kiri korban saja."
"Berapa angka pada korban sebelumnya?"
"X dan 02."
Tanpa berucap lagi, Kanit Gerdian hanya menepuk bahu Dokter Ferdi dan pergi keluar. Dia berlari menuju tempat parkir. Menyalakan mobil dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Dalam perjalan dengan perasaan yang kacau, berulang kali dia mencoba menghubungi seseorang. Sayang nomor yang dituju sedang tidak dapat dihubungi. Membuat rasa kesalnya semakin membuncah.
Kurang satu menit sejak terakhir dia mencoba memanggil kembali, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Iptu Bian tertera di layar. Tanpa menunggu lagi, Kanit Gerdian langsung mengangkatnya.
"Kenapa Arvin tidak bisa dihubungi?!" Kanit Gerdian berucap dengan lantang.
Di seberang sana, Bian menjauhkan ponselnya dari telinga. Kanit Gerdian memang selalu seperti ini jika ada hal yang menurutnya mendesak. Bian beralih menatap meja Arvin yang kosong. Ponselnya tergelak tanpa daya di sana.
"Arvin pergi mengantar saksi ke depan. Dan ponselnya mati." Bian menerangkan.
Embusan napas kasar terdengar keluar dari mulut Kanit Gerdian. Mengantar saksi, apa pentingnya itu? Sekadar formalitas? Atau hanya ingin terlihat sopan? Ah, Dasar Arvin. Tidak ada yang tahu jalan pikir detektif yang satu itu.
"Kalau begitu, Bian. Tolong cari informasi mengenai Dewi Intan Wijaya. Secepatnya."
"Dia ibu korban, Komandan. Saya sudah selesai memeriksa latar belakang korban hari ini."
Kanit Gerdian menghentikan laju mobilnya dengan mendadak. Beruntung jalanan sedang sepi, jika tidak, akan ada masalah lain yang harus dia selesaikan. Dan ya ... itu bukanlah hal yang menyenangkan. Terutama bagi polisi berpangkat sepertinya.
"Dia meninggal tanggal 02 awal tahun ini, Komandan. Penyebab kematiannya diduga pembunuhan. Dan Unit II sedang menyelidiki kasus itu." Bian memaparkan semua yang dia dapatkan.
"Ada hal selain itu?" Sayang Kanit Gerdian merasa tidak puas. Selalu tidak puas.
"Unit II mencurigai Anita sebagai dalang dari kematian ibunya, Komandan. Hanya itu."
Hanya itu? Yang benar saja! Kanit Gerdian mengusap wajahnya dengan gusar. Memang benar jika Unit II sengaja menyembunyikan tanda yang ditinggalkan pelaku. Entah apa tujuannya. Menghindari kepanikan publik? Sudah basi.
Tanda ini bisa menjadi petunjuk, yang akan sangat membantu dalam proses penyidikan nantinya. Atau di satu sisi, justru membuat kasus sulit untuk dipecahkan. Karena tidak sedikit tanda yang ditinggalkan berupa pengecoh saja.
Dia memacu kendaraannya sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Tidak sabar ingin segera sampai di kantor, dan mendapat laporan secara terperinci dari hasil pemeriksaan yang anak buahnya lakukan. Pun berlomba dengan waktu, untuk mendapat petunjuk mengenai pelaku sebanyak-banyaknya.
Sampai di kantor tempatnya bekerja. Kanit Gerdian bergegas ke ruangan Unit I. Di sepanjang koridor, ada saja petugas yang bahunya tanpa sengaja dia tabrak. Sebagian dari mereka yang umurnya lebih muda, justru yang meminta maaf terlebih dahulu. Entah itu bentuk kesopanan, atau sindiran. Sementara yang lebih tua, hanya mendecak sebal.
"Tidak boleh ada yang pulang hari ini!" Dengan terengah, Kanit Gerdian berteriak dari ambang pintu. Keringat mengucur di dahinya.
Tiga anak buahnya yang tengah sibuk dengan komputer, dan kertas yang berserakan di meja, hanya menatap komandan mereka dengan heran. Lembur seperti ini, sudah bukan hal baru.
"Di mana Arvin?"
Semua menatap ke arah meja di pojok ruangan. Masih kosong. Arvin nyatanya belum juga kembali setelah diketahui pergi ke depan untuk mengantar saksi.
"Sepertinya Arvin pergi ke TKP, Komandan." Bian berucap dengan ragu. Jika tidak salah, dia sempat mendengar rekannya itu bergumam tentang tempat ditemukannya mayat Anita.
Kanit Gerdian memijat keningnya yang mendadak pusing, "Suruh kembali ke sini secepatnya. Ada hal penting yang ingin aku diskusikan bersama."
"Dia tidak membawa ponsel, Komandan." Bian mengambil ponsel Arvin, dan mengayunkannya di depan Kanit Gerdian. Lagi pula, ponsel itu mati, jadi untuk apa Arvin membawanya?
Helaan napas terdengar di penjuru ruangan. Padahal, Kanit Gerdian datang secepatnya ke sini untuk mendiskusikan tanda yang ditinggalkan oleh pelaku, bersama semua anggota Unit I. Sayang, detektif paling muda di antara mereka, membuatnya harus menunda hal ini, dan beralih memeriksa hal lain.