Laju kendaraan Unit I melesat di tengah malam yang sunyi. Sirene meraung di sepanjang jalan. Menandakan ada hal darurat yang harus segera ditangani. Pun sebagai isyarat bagi pengguna jalan lain—jika ada, untuk memberi ruang.
Arvin menjalankan mobil hitam itu seperti orang kesetanan. Mengebut dan tidak begitu memedulikan aturan. Jika tidak diingatkan tentang lampu merah oleh Bian, mungkin dia sudah menerobosnya dan malah menimbulkan kekacauan. Penyidik polisi yang satu ini memang terkadang gegabah.
"Sebenarnya ada apa ini? Siapa yang menghubungimu itu?" Kanit Gerdian mulai membuka suara. Cara Arvin mengemudi membuat dia tidak bisa menahan kecurigaannya lagi.
"Seorang pria. Saya tidak tahu dia siapa, tapi orang itu memberi tahu saya jika sedang terjadi kasus pembunuhan di kediaman Indra Wijaya." Arvin berusaha membagi fokus.
Bian mengernyitkan dahinya. Pun Kanit Gerdian hanya terdiam. Tatapannya mengisyaratkan dia ingin penjelasan lebih.
"Bagaimana kau bisa yakin jika itu bukan telepon iseng?" tanya Bian.
"Karena ini juga terjadi pada kasus pembunuhan korban kedua."
Kedua orang itu malah dibuat semakin bertanya-tanya. Terutama Kanit Gerdian.
"Saya akan menjelaskannya nanti, Komandan." Arvin kembali fokus ke jalan. Tidak ada waktu untuk menjelaskan perihal telepon yang dia dapatkan. Saat ini prioritas sesungguhnya adalah Indra Wijaya. Bukan sesuatu yang bisa dijelaskan lain kali.
Sering terlambat datang ke TKP, membuatnya terbiasa mengebut. Tidak seperti Kanit Gerdian yang melakukannya sesekali ketika ada hal mendesak saja. Itu pun tidak sampai pada kecepatan seperti ini. Dan Bian, seumur hidupnya dia bahkan tidak pernah melakukannya. Keselamatan selalu menjadi yang utama. Baik untuk dirinya, atau pengguna jalan lain.
Oleh sebab itu, sepanjang jalan dia terus mengelus dada dan banyak berdoa. Sesekali berteriak ketika Arvin hampir melanggar rambu. Dia bahkan tak segan untuk mengomeli penyidik paling muda di antara mereka itu.
Selang dua puluh menit, mereka sampai ke tempat tujuan. Arvin memarkir mobilnya begitu saja. Lalu bergegas memasuki halaman rumah Indra Wijaya. Kanit Gerdian dan Bian menyusulnya dengan tergesa pula. Meski mereka belum mendengar penjelasan Arvin dengan jelas, tapi satu pun belum ada yang mau bertanya lagi. Lagi pula, sedikit jawaban yang diinginkan sudah berada tepat di depan mata.
Tubuh Indra Wijaya teronggok mengenaskan di halaman rumahnya, dengan genangan darah di mana-mana. Bau anyir menyeruak di udara. Menerobos indra penciuman dengan sangat tajam. Sekaligus membuat bulu kuduk merinding seketika.
Di samping tubuh Indra Wijaya, terdapat sebuah balok kayu yang juga tergenang oleh darah. Serta satu buah ponsel dengan kondisi baterai sudah terlepas dari tempatnya.
Salah satu dari mereka mendekat. Memperhatikan kondisi korban dengan saksama. Jari telunjuknya ditempatkan di depan hidung korban. Lalu, beralih pada nadi di lehernya. Dan tidak ada respons berarti yang dia rasakan. Hanya suhu tubuh Indra Wijaya yang masih terasa hangat. Menandakan jika pria tua itu meninggal belum cukup lama.
"Kita terlambat," ucap Arvin. Dia kembali berdiri dan menatap Kanit Gerdian. Raut sesal terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.
Bian ikut mengamati keadaan korban. Dia berjongkok di samping kepalanya yang berlumur darah. Sedikit pun tidak terlihat raut kengerian yang terpancar dari wajah pria itu. Dia malah terkesan biasa saja. Seolah sudah sering melihat hal seperti itu. Padahal, bisa dibilang Bian lumayan jarang datang ke TKP dan melihat jasad korban secara langsung. Penyidik yang satu ini memang lebih sering berada di kantor. Dengan komputer di depan wajahnya hampir setiap saat.
Mendengar bahwa Indra Wijaya sudah tewas, Kanit Gerdian langsung menghubungi pihak forensik untuk melakukan pemeriksaan. Dia juga meminta bantuan dari kantor tempatnya bekerja untuk membantu mengamankan lokasi. Setelahnya, bergabung dengan Bian mengamati mayat korban.
"Lagi-lagi tangannya dipotong. Sungguh keterlaluan!" Dia bergumam dengan nada penuh penekanan. Amarah hampir membuncah dalam dadanya.
Tidak habis pikir, bagaimana bisa ini terjadi? Padahal baru beberapa jam yang lalu dia berbicara dengan Indra Wijaya, tapi sekarang pria tua itu sudah tergeletak tanpa nyawa. Memang, tidak ada yang tahu mengenai kapan datangnya kematian. Pun dengan cara seperti apa seseorang akan meregang nyawa.
Akan tetapi, ini sedikit berlebihan bagi Kanit Gerdian. Membayangkan kengerian serta rasa sakit yang dialami Indra Wijaya, tanpa sadar membuat matanya berkaca-kaca.
Arvin beralih pada lingkungan rumah korban. Mencermati setiap hal yang bisa saja tanpa sengaja ditinggalkan oleh pelaku. Selain balok kayu dan ponsel, belum ditemukan hal aneh lagi di sana.
Arvin berjalan mengitari rumah. Lampu senternya menyorot setiap titik. Rumah itu benar-benar terlihat sederhana, dengan cat dinding yang sudah mengelupas di beberapa bagian. Rumput liar tumbuh di halaman. Meski belum terlalu tinggi, tapi tetap saja meninggalkan kesan tidak bersih. Tampilan rumah Indra Wijaya saat ini, sangat jauh berbeda dengan yang pernah Arvin lihat beberapa tahun lalu.
Arvin mulai beralih ke samping rumah. Tidak ada yang aneh juga di sini. Hanya rumput dengan ukuran lebih tinggi dari yang tumbuh di halaman depan. Terlihat jelas jika bagian ini sangat jarang dibersihkan. Bahkan suasananya pun terasa lebih horor dengan pohon mangga yang sangat rindang di ujung halaman.
Untuk beberapa saat, bulu kuduk Arvin dibuat meremang. Imajinasinya mulai mengarahkan pada hal yang tidak-tidak. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali. Mencoba mengenyahkan pikiran tidak masuk akal itu. Dia bukan polisi penakut. Dan lagi, manusia jauh lebih menyeramkan daripada makhluk astral.
Sebenarnya sejak dia sampai tadi, Arvin sudah merasa ada yang memperhatikan. Intuisinya begitu tajam, sehingga bisa merasakan sesuatu secara pasti. Tanpa bisa dia jelaskan bagaimana proses terjadinya. Yang dia tahu, pikirannya akan tiba-tiba tertuju pada hal itu.
Penyidik muda itu terus berjalan. Hendak memastikan ke belakang pohon mangga yang rindang, tapi suara sirene tiba-tiba menginterupsi. Lantas dia bergegas kembali berkumpul dengan rekannya.
Tim forensik terlihat sedang memeriksa jasad korban. Beberapa dari mereka memotret kondisi mayat, beberapa lagi mengambil sampel darah yang berceceran. Juga segera mengamankan ponsel serta balok kayu yang diduga mengambil peran penting dalam kematian korban.
Fokus Arvin tidak hanya pada tim forensik itu, tapi juga pada beberapa wartawan yang mencoba melewati garis polisi yang di pasang. Meski petugas berseragam sudah berulang kali meminta pada mereka, agar tidak mengambil gambar, tapi sepertinya himbauan itu hanya dianggap angin lalu.
"Mereka benar-benar gigih," ucap Bian. Penyidik itu berdiri di samping Arvin.
"Jika mereka tidak gigih, dunia ini akan sunyi tanpa kabar." Seseorang menimpali.
Kedua penyidik itu menganggukkan kepala mereka. Setuju dengan apa yang orang tadi katakan. Akan tetapi, ada sesuatu yang janggal. Suara yang didengar, lumayan asing di telinga mereka. Lantas dengan serempak menoleh ke sebelah kiri, dan mendapati Kino sedang berdiri dengan memainkan sebuah ranting.
"Apa yang Anda lakukan di sini?!" Bian bertanya dengan intonasi yang ditinggikan.
Kenapa anggota Unit II ada di TKP? Memang tidak ada yang salah dengan itu, tapi Bian tetap tidak suka. Mengingat, unit itu begitu menginginkan kasus ini juga.
Kino mengangkat kedua bahu bersamaan, seraya memamerkan deretan gigi putih miliknya. Sebuah perilaku yang sangat Bian benci.
Arvin hanya melirik sekilas pada Kino. Dia tidak terlalu mempermasalahkan keberadaan penyidik dari unit lain, toh kasus itu akan tetap ditangani oleh Unit I. Dia sangat percaya diri dengan hal itu.
Matanya kembali mengawasi kerumunan wartawan. Arvin tidak habis pikir. Sungguh. Dia memang sempat melihat beberapa dari mereka di halaman kantor tempatnya mengabdi, yang datang ketika mendengar kabar bahwa ayah dari korban kedua akan dipintai keterangan.
Namun, dia tidak menyangka jika mereka masih berada di Polres, dan menyusul ke TKP setelah mengetahui ada kasus pembunuhan baru. Kegigihan seperti itu memang patut diapresiasi, tapi cara mereka menyampaikan berita terkadang memojokkan sebelah pihak. Sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pembawa berita.
Bagaimana pun, apa yang mereka sampaikan diakui atau tidak, selalu memiliki dampak besar. Penilaian masyarakat selalu tergantung dengan apa yang diberitakan media.
Arvin beralih memperhatikan tim forensik yang sedang bekerja. Mereka terlihat sibuk dengan ini dan itu. Kanit Gerdian berada di antaranya. Tampak berbincang dengan seseorang.
Penyidik yang satu ini memang selalu terlihat diam saja dan hanya memandangi sekitar, tapi itu merupakan caranya mengevaluasi keadaan. Arvin selalu percaya jika beberapa pelaku kejahatan, masih akan berkeliaran di sekitar korban. Berbaur di kerumunan, dan menikmati apa yang sudah diperbuat.
Itu berlaku bagi pembunuh manipulatif yang cerdas. Dan intuisinya berulang kali mengatakan, jika pelaku dalam tiga kasus pembunuhan ini sangat pintar memanipulasi.
Tidak berselang lama. Matanya menangkap siluet hitam berjalan dari balik pohon mangga besar yang hendak dia cek tadi, ke arah belakang rumah. Arvin tidak langsung membuat kehebohan. Dia bergegas menyusul orang itu dengan berjalan lumayan cepat. Membuntutinya tanpa mengeluarkan suara apa pun.
Akan tetapi, bukan hanya dia yang menyadari keberadaannya. Mata Kino pun menangkap sosok tersebut. Dan tanpa ba bi bu, penyidik dari Unit II itu berlari mendahului Arvin. Membuat beberapa orang mengalihkan atensinya pada mereka.
"Sial!" Arvin sangat terkejut dengan apa yang Kino lakukan. Lantas dia pun berlari. Mengimbangi kecepatannya.
Tentu saja, apa yang mereka berdua lakukan membuat orang misterius itu panik. Dia berlari begitu cepat. Berusaha menghindar sebisa mungkin. Tembok setinggi satu meter setengah dia terjang. Melompat ke gang sempit di balik rumah Indra Wijaya. Lalu kembali memacu kecepatannya ke sembarang arah.
Sama halnya dengan Arvin dan Kino. Melompati tembok sudah bukan hal sulit lagi. Dengan mudah mereka melewatinya. Sekarang masalahnya adalah, gang itu terlalu sempit untuk dua orang. Mau tidak mau, mereka berlari saling mendahului satu sama lain. Daripada mengejar orang misterius itu, mereka malah terlihat sedang melakukan lomba lari. Tidak ada yang mau mengalah. Ambisi keduanya sama.
Sementara di depan sana, orang berbaju hitam itu terlihat sibuk menjatuhkan beberapa tempat sampah yang tersimpan rapi di tempatnya. Mencoba memberi rintangan, dan mempersulit jalan kedua penyidik yang mengejarnya. Benar saja, Arvin sempat tersandung dan jatuh. Lalu Kino berlari mendahuluinya.
Tidak ada waktu untuk merasakan sakit di lututnya, Arvin kembali bangkit dengan berlari sedikit pincang. Dia menyusul Kino, dan mendapati penyidik itu sedang dilempari dengan sampah.
Setelah merasa fokus Kino teralihkan, orang itu kembali berlari. Umpatan keluar dari mulutnya, ketika mendapati penyidik itu masih gigih mengejarnya. Bahkan tidak bisa dipungkiri, kakinya sudah lelah. Tenaganya hampir habis, dan dia tidak sadar telah memperlambat kecepatannya.
Sampai di ujung gang, tangan Kino mungkin hanya berjarak sekitar lima sentimeter dengan bahu orang itu. Dia hampir menangkapnya, tapi seseorang sudah lebih dahulu menerjang targetnya. Orang yang dia kejar seketika tersungkur di atas aspal.
Kino cukup terkejut dibuatnya, tapi setelah tahu jika Arvin yang melakukan hal itu, dia langsung lega. Lalu, berjalan ke arah orang misterius itu dan memborgol sebelah tangannya dengan pagar besi salah satu rumah. Dengan begini, orang itu tidak akan pergi ke mana-mana
"Aku ... tidak mau ... berlari lagi." Kino terdengar meracau.
Napas ketiganya terengah-engah. Mereka meraup udara sebanyak mungkin, seolah takut kehabisan. Kino tersungkur dan berbaring di trotoar. Lututnya benar-benar terasa lemas. Jika diingat lagi, dia sudah lama tidak melakukan adegan seperti ini.
Arvin berjalan ke arah mereka berdua. Dia menatap orang misterius itu lekat-lekat. Membuka tudung hoodie yang dikenakan berserta maskernya. Detik itu juga, mata Arvin membelalak.
"Pak Daryo?!" ucapnya dengan nada tidak percaya.
Kino menoleh. Dia pernah mendengar nama itu dari Kanit Iva. Nama satu-satunya saksi dalam kasus kematian korban kedua.