Wiro Sableng dan Inani tak tahu sudah berapa lama atau sudah berapa hari mereka berada di
dalam Goa Belerang itu. Yang mereka rasakan ialah bahwa mereka seperti sudah bertahun-tahun
tersekap di situ, tak bisa bicara, tak bisa gerakkan badan. Selama puluhan jam mereka berdiri
berpandang-pandangan sehingga dalam hati masing-masing timbul perasaan-perasaan aneh. Meski
mereka tidak bisa membuka mulut untuk bersuara dan bicara tapi pandangan mata mereka satu
sama lain sudah lebih daripada ucapan yang bagaimanapun panjangnya. Sinar mata mereka sudah
lebih daripada pengutaraan perasaan yang bagaimanapun mendalamnya. Berpandangan dan
berpandangan hanya itulah yang bisa dilakukan kedua orang itu. Dan ini adalah satu-satunya
hiburan bagi mereka selama puluhan jam berada di situ.
Kedua orang itu tiba-tiba kernyitkan mata. Lapat-lapat terdengar suara tertawa meringkik.
Dan sesaat kemudian sosok tubuh laki-laki tua yang dipanggilkan kiai itu sudah muncul di ruangan
tersebut. Dia masih tertawa meringkik macam kuda begitu untuk beberapa lama sambil pandangi
paras kedua orang di hadapannya. Kemudian ketika suara tertawanya berhenti mulutnya bertanya.
"Apa kalian sudah puas tegak berpandang-pandangan?"
Inani menjadi merah mukanya sedang Wiro memaki dalam hati. Apakah waktu yang tiga
hari itu sudah berlalu? Apakah sekarang malam bulan purnama empat belas hari? Apakah sekarang
saatnya si orang tua membebaskan totokan di tubuhnya dan di tubuh gadis yang bernama Inani itu?
Inani dan Wiro memperhatikan si orang tua duduk di tengah ruangan, di atas sebuah
bantalan berumbai-umbai yang dikeluarkannya dari balik kain selempang putihnya. Setelah
memandangi paras kedua orang itu beberapa lama baru si orang tua lambaikan tangannya kiri kanan.
Dua larik angin tipis menyambar ke tubuh Inani dan Wiro Sableng. Dengan serta merta lenyaplah
totokan yang telah membuat kedua orang ini tak berdaya selama puluhan jam. Seorang tua tertawa
mengekeh dan manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali.
Meski selama ini Wiro di dalam hati tiada hentinya memaki serta menggerutui si orang tua,
namun begitu totokannya lepas dan menyadari bahwa manusia berambut putih yang duduk di
hadapannya itu bukan manusia sembarangan maka Pendekar 212 menjura memberi hormat.
"Orang tua, dunia ini banyak dengan tokoh-tokoh aneh sakti luar biasa yang aku manusia
tolol ini tidak tahu siapa-siapa mereka adanya. Kuharap kau sudi memberitahu siapa kau, orang
tua."
Si orang tua mengusap rambutnya yang panjang putih beberapa kali. Setelah batuk-batuk
jumawa maka menjawablah dia.
"Namaku kau tak usah tahu, orang muda. Sebaliknya aku banyak tahu tentang dirimu!
Terkejutlah Wiro. Ditelitinya paras orang tua itu lalu sekilas mengerling pada Inani.
Si orang tua tertawa mengekeh kembali.
"Aku berasal dari Bangkalan." Diusapnya lagi rambutnya baru meneruskan. "Sembilan
puluh tahun hidup di dunia ini sudah terlalu cukup lama. Sembilan puluh tahun sudah cukup untuk
menyaksikan berbagai hal dalam dunia, menyaksikan kejahatan dan kebaikan, menyaksikan
kebaikan yang selalu ditentang oleh kejahatan. Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan di jagat
ini tak akan pernah habis-habisnya karena memang begitulah sifatnya alam yang dijadikan Tuhan,
segala sesuatunya mempunyai lawan-lawannya, mempunyai pasang-pasangannya masing-masing.
Karena aku dan kau adalah manusia-manusia dari golongan putih, maka adalah tugas kita untuk
membasmi golongan hitam. Membasmi golongan hitam tentu saja bukan hal yang mudah. Aku
sendiri sebenarnya telah tertipu dalam hidupku sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk
membasmi kejahatan dari muka bumi ini...."
Kiai Bangkalan memandang jauh ke depan seperti tengah merenung masa lampaunya
sedang nada suaranya tadi jelas sekali mengandung satu penjelasan yang mendalam.
"Kalian duduklah, jangan berdiri saja," ujar Kiai Bangkalan.
Setelah Wiro Sableng dan Inani duduk di hadapan orang tua itu maka Kiai Bangkalan
meneruskan bicaranya.
"Delapan penjuru angin dunia persilatan kini dibikin gempar oleh kejahatan yang bersumber
di Pulau Madura ini. Sumber kejahatan itu bukan lain daripada Dewi Siluman dan anak-anak
buahnya. Beberapa perguruan dan sebuah partai persilatan telah dihancurkan oleh mereka. Belasan
tokoh-tokoh silat golongan putih serta beberapa lainnya yang hebat-hebat dari golongan hitam
mereka bunuh. Yang tertangkap hidup-hidup mereka siksa secara buas. Ringkas kata siapa saja
pihak yang tidak mau tunduk dan masuk dalam golongannya akan ditumpas musnah oleh Dewi
Siluman. Dan aku yang sudah tua ini hanya bisa makan hati, tak mungkin turun tangan menumpas
sumber kejahatan yang ada di puIauku ini...." Lagi-lagi nada suara Kiai Bangkalan membayangkan
penjelasan.
Penuh rasa ingin tahu dan tidak mengerti maka Wiro Sableng beranikan diri bertanya.
"Mengapa tidak mungkin, Kiai Bangkalan. Mengapa tidak bisa? Menurut penglihatanku ilmumu
tinggi luar biasa. Bagimu tentu mudah saja untuk menumpas Dewi Siluman dan gerombolannya."
Kiai Bangkalan tertawa tawar.
"Banyak orang yang menduga sepertimu itu," katanya. "Tapi di jagat yang luas ini ilmu
manusia manakah yang benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin tinggi ilmu
seseorang semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tinggi yang
tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia mempunyai titik batas. Bila dia
coba untuk melampaui titik batas itu di luar kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Dan itu kemudian akan mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan
muncul di mana-mana akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang telah
ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan walau bagaimanapun kuatnya kejahatan itu, di satu hari
dia akan kena ditumpas juga. Aku yang sudah tua menyesalkan hidup badanku yang rongsokan ini
karena di saat mau mampus begini tidak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan Tapi aku masih
bergembira sedikit. Sebelum ajal datang aku telah bertemu dengan kau, orang muda! Menurut
penglihatanku, kau satu-satunya manusia saat ini yang sanggup menumpas kejahatan Dewi Siluman!
Ingat kejahatannnya, bukan orangnya!"
"Kiai Bangkalan, aku yang muda tolol ini bisa apakah?" kata Wiro Sableng pula. "Terus
terang aku tak mengerti mengapa kau mengatakan tak bisa berbuat banyak menumpas kejahatan.
Bukankah ilmumu tinggi sekali. Dewi Siluman tentu akan mudah kau tumpas."
Kiai Bangkalan hela nafas dan geleng-gelengkan kepalanya.
"Aku hanya memiliki dua macam ilmu, orang muda. Dua macam ilmu itu saja tak sanggup
untuk menumpas kejahatan Dewi Siluman. Di samping itu seperti aku terangkan tadi, sebenarnya
aku yang sudah tua ini telah kena tertipu...." Setelah menghela nafas dalam sekali lagi baru Kiai
Bangkalan meneruskan. "Dua macam ilmu yang kumiliki ialah kecepatan bergerak dan ilmu
pengobatan. Mana mungkin dua macam ilmu itu bisa diandalkan untuk menghadapi Dewi Siluman
yang sakti luar biasa?!"
"Tapi kau juga memiliki ilmu totokan yang teramat lihai!" ujar Wiro.
Kiai Bangkalan tertawa. "Setiap ilmu totokan dasarnya adalah sama, sama seperti yang
dimiliki oleh kau dan Inani. Cuma karena aku memiliki ilmu kecepatan bergerak maka orang tidak
bisa menduga dan tak sempat berkelit ketika aku menotok tubuhnya. Itu telah kau saksikan dan
rasakan sendiri!"
"Kalau kau bisa bergerak luar biasa cepatnya, tentu kau bisa menotok Dewi Siluman
kemudian menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadapnya," kata-kata Wiro Sableng pula.
"Betul, tapi justru hal itulah yang tak bisa kulakukan," sahut Kiai Bangkalan.
"Kenapa tidak bisa?"
"Aku telah tertipu. Ah... biarlah aku terangkan pada kalian agar jelas. Tubuh tua rongsokan
ini tak guna lagi menyimpan segala rahasia hidupnya!"
Kiai Bangkalan merenung sejenak baru membuka mulut kembali. "Sesungguhnya guru dari
Dewi Siluman adalah adik seperguruanku sendiri. Namanya Lara Permani. Dari guru, aku
menuntut dua macam ilmu yang kusebutkan tadi yaitu ilmu pengobatan dan ilmu gerakan cepat.
Sebaliknya sebagai murid yang dikasihi oleh guru, Lara Permani diwariskan banyak ilmu yang
hebat-hebat. Di antaranya Ilmu Jala Sutera Sakti, Ilmu Racun Biru dan yang paling hebat Ilmu
Seribu Siluman Mengamuk. Sebegitu jauh tak ada satu ilmu di dunia ini pun yang sanggup mengalahkan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk itu. Tapi walau bagaimanapun setiap ilmu di dunia
ini tak ada yang maha sempurna, selalu saja ada kelemahannya, demikian juga dengan Ilmu Seribu
Siluman Mengamuk...."