"Apakah kelemahannya, Kiai?" tanya Wiro.
"Itu tidak bisa kuberitahu. Aku telah bersumpah!"
Inani dan Wiro kernyitkan kening keheranan. Sebelum salah seorang dari mereka bertanya
maka Kiai Bangkalan sudah berkata. "Antara aku dan Lara Permani karena demikian eratnya
hubungan kami, kami saling mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara Permani sewaktu turun ke
dunia persilatan telah tergoda oleh segala macam urusan duniawi sehingga dia menempuh jalan
salah. Aku yang mencintainya dengan amat sangat tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melarangnya
agar meninggalkan segala urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana aku menjadi tolol dan suatu
hari di hadapannya aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku tak akan ikut campur, tak akan
turun tangan terhadap segala perbuatannya, juga terhadap segala perbuatan muridnya bila kelak dia
mempunyai murid! Sekarang Lara Permani sudah mati. Dan Dewi Siluman itu adalah muridnya!
Aku tak bisa berbuat apa secara langsung terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku terikat
sumpah!"
Wiro dan Inani termangu sejurus.
Wiro kemudian berkata. "Lara Permani kini sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat
terhadapnya batal, tak berlaku lagi!"
Kiai Bangkalan geleng-gelengkan kepala. "Sumpah seorang manusia terhadap manusia
sekaligus terikat pada Tuhan. Meskipun salah seorang dari mereka sudah mati, tapi yang masih
hidup tetap terikat pada Tuhan yang telah menyaksikan sumpahnya itu!"
"Kalau begitu kejahatan Dewi Siluman tak akan bisa dibasmi," kata Wiro.
"Kaulah yang akan membasminya!" jawab Kiai Bangkalan.
"Tapi ilmuku sangat dangkal sekali Kiai. Kalau kau bisa memberikan sedikit petunjuk...."
Kiai Bangkalan tersenyum.
"Di Goa Belerang ini telah kujanjikan padamu untuk datang mengetahui tingginya gunung
dalamnya lautan. Meski aku terikat sumpah dan tak bisa turun tangan secara langsung, namun ada
cara lain bagiku untuk berbuat kebaikan. Jika cara ini dianggap melanggar sumpah, biarlah badan
yang tua renta ini rela menerima hukumannya!"
Dari balik pakaiannya Kiai Bangkalan mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu
disodorkannya ke hadapan Wiro Sableng seraya berkata. "Dengan inilah kau bakal bisa menumpas
kejahatan Dewi Siluman."
Wiro menerima kertas itu dan menelitinya. Di atas kertas putih ini ternyata ada dua bait
tulisan yang berbunyi.
Ilmu Seribu Siluman Mengamuk teramat sakti.
Hanya suara yang sanggup mengalahkannya.
"Kiai, aku tak mengerti maksud tulisan ini. Mohon petunjukmu...."
Kiai Bangkalan hela nafas dan gelengkan kepala. "Tak mungkin orang muda. Aku terikat
dengan sumpah. Aku tak bisa menerangkan langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk
kepadamu. Kau harus pecahkan sendiri rahasia yang ada di dalam dua bait tulisan itu.... Kuharap
kau tak bertanya lebih jauh."
Wiro membaca lagi dua bait tulisan itu lalu memasukkan kertas tersebut ke balik pakaiannya.
Kiai Bangkalan berpaling pada Inani. Dia tersenyum dan berkata. "Meski tempo hari aku
marah sekali melihat kau datang kemari tapi sebenarnya diam-diam aku merasa gembira karena kau
bisa membantuku untuk melaksanakan cita-cita baikku. Kau ingat bagaimana aku telah
membersihkan otakmu serta kawan-kawanmu dengan sejenis obat?"
"Ingat Kiai."
Kiai Bangkalan keluarkan sebuah botol berisi cairan hitam. "Aku telah meramu lagi sejenis
obat baru," katanya dan meletakkan botol kecil itu di hadapannya. "Kau harus ikut bersama Wiro ke
Bukit Tunggul dan menolong kawan-kawanmu yang sudah dikotori otaknya oleh Dewi Siluman.
Bagaimana caranya terserah padamu, yang penting kau harus dapat meminumkan setetes obat ini ke
dalam mulut kawan-kawanmu sehingga mereka kembali menjadi bersih otaknya dan kembali ke
jalan yang benar! Aku tak mengizinkan kau membunuh seorang pun dari mereka! Semua kawan-
kawanku tersesat karena tidak sadar!"
"Tapi mana mungkin aku sanggup, Kiai? Setiap kawan-kawanku sakti semua dan jumlah
mereka banyak!" kata Inani.
"Kau tak usah khawatir. Aku akan turunkan ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau
dengan mudah bisa menotok mereka lalu memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut mereka!"
Inani gembira sekali. Buru-buru dia menjura dan mengucapkan terima kasih. Kiai
Bangkalan memandang pada Wiro. "Orang muda, kuharap kau jangan kecewa karena saat ini aku
tidak memberikan ilmu apa-apa padamu. Tapi di lain hari, bila tugasmu sudah selesai di Bukit
Tunggul kuharap kau suka datang kemari untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dariku."
Gembiralah Wiro Sableng dan buru-buru dia menjura serta mengucapkan terima kasih.
"Sebelum kalian pergi," kata Kiai Bangkalan pula. "Ada satu hal yang harus kalian ingat,
terutama kau orang muda karena kaulah yang bakal berhadapan dengan Dewi Siluman. Musti
disadari bahwa sesungguhnya kejahatan yang dibuat oleh manusia itu adalah karena dipengaruhi
oleh suasana sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan duniawi di sekelilingnya. Pada dasarnya semua,
manusia adalah baik. Karena itu kuharap kau jangan menurunkan tangan maut terhadap Dewi
Siluman.
"Tapi Kiai, perempuan itu telah membuat kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan
manusia tak berdosa telah dibunuhnya!" kata Wiro pula.
"Betul. Itu memang betul. Namun demikian soal nyawa manusia bukanlah urusan kita.
Nyawa orang lain bukan milik kita. Soal nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan kita manusia
sekali-kali tidak diperbolehkan membunuh, kecuali dalam perang atau pertempuran di mana kita
benar-benar sudah terdesak. Karena itu usahakanlah dulu untuk menyadari Dewi Siluman dari
segala kejahatannya, bersihkanlah otaknya dengan obat ini!" Lalu Kiai Bangkalan mengeluarkan
sebutir pil hitam dan diberikan kepada Wiro. "Bila nanti ternyata usahamu gagal, baru kau boleh
menurunkan tangan maut. Itupun bila kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi! Nah sekarang
pergilah!"
"Terima kasih atas segala petunjukmu Kiai," kata Wiro Sableng sambil menjura dalam.
Inani juga melakukan hal yang sama. Sewaktu mereka mengangkat kepala kembali ternyata Kiai
Bangkalan telah lenyap. Bukan main terkejutnya mereka. Benar-benar luar biasa cepatnya gerakan
orang tua itu. Wiro geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Inani berdiri dengan paras berubah.
"Ada apa?" tanya Wiro.
"Waktu aku menjura tadi, kurasa ada yang menepuk bahu kananku dengan keras. Sekarang
tubuhku terasa ringan sekali macam kapas!"
Wiro Sableng kerenyitkan kening. Tiba-tiba dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan bahwa
dia hendak menurunkan ilmu kecepatan gerak pada gadis itu.
"Mungkin itulah cara dia menepati janjinya!" kata Wiro. "Coba kau berkelebat!"
Inani tekankan kedua kakinya ke lantai. Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap dari
pandangan mata Wiro Sableng, sedetik kemudian muncul lagi di hadapannya.
"Saudara! Aku benar-benar tak mengerti bagaimana gerakanku bisa sehebat ini!" seru Inani
gembira.
Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala "Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan
menurunkan ilmunya kepadamu," kata Wiro pula. "Kau beruntung Inani, eh, bukankah namamu
Inani...?"
Si gadis anggukkan kepalanya malu-malu. "Kau sendiri siapa?"
"Panggil aku Wiro," jawab Pendekar 212.
"Bagaimana kalau kita berangkat ke Bukit Tunggul sekarang?" tanya Inani.
"Memang lebih cepat lebih baik. Tapi untuk membuat urusan dengan Dewi Siluman kita
tunggu sampai besok pagi. Nah, ayolah!"
Kedua orang itu pun dengan segera meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam itu bulan
purnama bersinar terang namun dengan susah payah baru akhirnya Inani dan Wiro bisa keluar dari
dasar air terjun.