Chereads / wiro sableng 212 / Chapter 19 - dewi siluman bukit tunggul 18

Chapter 19 - dewi siluman bukit tunggul 18

"Apakah kelemahannya, Kiai?" tanya Wiro.

"Itu tidak bisa kuberitahu. Aku telah bersumpah!"

Inani dan Wiro kernyitkan kening keheranan. Sebelum salah seorang dari mereka bertanya

maka Kiai Bangkalan sudah berkata. "Antara aku dan Lara Permani karena demikian eratnya

hubungan kami, kami saling mencinta. Namun malapetaka tiba. Lara Permani sewaktu turun ke

dunia persilatan telah tergoda oleh segala macam urusan duniawi sehingga dia menempuh jalan

salah. Aku yang mencintainya dengan amat sangat tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melarangnya

agar meninggalkan segala urusan kotor dunia. Malah entah bagaimana aku menjadi tolol dan suatu

hari di hadapannya aku bersumpah atas nama Tuhan bahwa aku tak akan ikut campur, tak akan

turun tangan terhadap segala perbuatannya, juga terhadap segala perbuatan muridnya bila kelak dia

mempunyai murid! Sekarang Lara Permani sudah mati. Dan Dewi Siluman itu adalah muridnya!

Aku tak bisa berbuat apa secara langsung terhadap kejahatan Dewi Siluman karena aku terikat

sumpah!"

Wiro dan Inani termangu sejurus.

Wiro kemudian berkata. "Lara Permani kini sudah tiada. Berarti sumpah yang Kiai buat

terhadapnya batal, tak berlaku lagi!"

Kiai Bangkalan geleng-gelengkan kepala. "Sumpah seorang manusia terhadap manusia

sekaligus terikat pada Tuhan. Meskipun salah seorang dari mereka sudah mati, tapi yang masih

hidup tetap terikat pada Tuhan yang telah menyaksikan sumpahnya itu!"

"Kalau begitu kejahatan Dewi Siluman tak akan bisa dibasmi," kata Wiro.

"Kaulah yang akan membasminya!" jawab Kiai Bangkalan.

"Tapi ilmuku sangat dangkal sekali Kiai. Kalau kau bisa memberikan sedikit petunjuk...."

Kiai Bangkalan tersenyum.

"Di Goa Belerang ini telah kujanjikan padamu untuk datang mengetahui tingginya gunung

dalamnya lautan. Meski aku terikat sumpah dan tak bisa turun tangan secara langsung, namun ada

cara lain bagiku untuk berbuat kebaikan. Jika cara ini dianggap melanggar sumpah, biarlah badan

yang tua renta ini rela menerima hukumannya!"

Dari balik pakaiannya Kiai Bangkalan mengeluarkan secarik kertas putih. Kertas itu

disodorkannya ke hadapan Wiro Sableng seraya berkata. "Dengan inilah kau bakal bisa menumpas

kejahatan Dewi Siluman."

Wiro menerima kertas itu dan menelitinya. Di atas kertas putih ini ternyata ada dua bait

tulisan yang berbunyi.

Ilmu Seribu Siluman Mengamuk teramat sakti.

Hanya suara yang sanggup mengalahkannya.

"Kiai, aku tak mengerti maksud tulisan ini. Mohon petunjukmu...."

Kiai Bangkalan hela nafas dan gelengkan kepala. "Tak mungkin orang muda. Aku terikat

dengan sumpah. Aku tak bisa menerangkan langsung kelemahan Ilmu Seribu Siluman Mengamuk

kepadamu. Kau harus pecahkan sendiri rahasia yang ada di dalam dua bait tulisan itu.... Kuharap

kau tak bertanya lebih jauh."

Wiro membaca lagi dua bait tulisan itu lalu memasukkan kertas tersebut ke balik pakaiannya.

Kiai Bangkalan berpaling pada Inani. Dia tersenyum dan berkata. "Meski tempo hari aku

marah sekali melihat kau datang kemari tapi sebenarnya diam-diam aku merasa gembira karena kau

bisa membantuku untuk melaksanakan cita-cita baikku. Kau ingat bagaimana aku telah

membersihkan otakmu serta kawan-kawanmu dengan sejenis obat?"

"Ingat Kiai."

Kiai Bangkalan keluarkan sebuah botol berisi cairan hitam. "Aku telah meramu lagi sejenis

obat baru," katanya dan meletakkan botol kecil itu di hadapannya. "Kau harus ikut bersama Wiro ke

Bukit Tunggul dan menolong kawan-kawanmu yang sudah dikotori otaknya oleh Dewi Siluman.

Bagaimana caranya terserah padamu, yang penting kau harus dapat meminumkan setetes obat ini ke

dalam mulut kawan-kawanmu sehingga mereka kembali menjadi bersih otaknya dan kembali ke

jalan yang benar! Aku tak mengizinkan kau membunuh seorang pun dari mereka! Semua kawan-

kawanku tersesat karena tidak sadar!"

"Tapi mana mungkin aku sanggup, Kiai? Setiap kawan-kawanku sakti semua dan jumlah

mereka banyak!" kata Inani.

"Kau tak usah khawatir. Aku akan turunkan ilmu gerakan cepat padamu sehingga kau

dengan mudah bisa menotok mereka lalu memasukkan setetes obat ini ke dalam mulut mereka!"

Inani gembira sekali. Buru-buru dia menjura dan mengucapkan terima kasih. Kiai

Bangkalan memandang pada Wiro. "Orang muda, kuharap kau jangan kecewa karena saat ini aku

tidak memberikan ilmu apa-apa padamu. Tapi di lain hari, bila tugasmu sudah selesai di Bukit

Tunggul kuharap kau suka datang kemari untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dariku."

Gembiralah Wiro Sableng dan buru-buru dia menjura serta mengucapkan terima kasih.

"Sebelum kalian pergi," kata Kiai Bangkalan pula. "Ada satu hal yang harus kalian ingat,

terutama kau orang muda karena kaulah yang bakal berhadapan dengan Dewi Siluman. Musti

disadari bahwa sesungguhnya kejahatan yang dibuat oleh manusia itu adalah karena dipengaruhi

oleh suasana sekitarnya, dipengaruhi oleh keadaan duniawi di sekelilingnya. Pada dasarnya semua,

manusia adalah baik. Karena itu kuharap kau jangan menurunkan tangan maut terhadap Dewi

Siluman.

"Tapi Kiai, perempuan itu telah membuat kejahatan yang tak bisa diampunkan. Puluhan

manusia tak berdosa telah dibunuhnya!" kata Wiro pula.

"Betul. Itu memang betul. Namun demikian soal nyawa manusia bukanlah urusan kita.

Nyawa orang lain bukan milik kita. Soal nyawa adalah hak dan kuasanya Tuhan kita manusia

sekali-kali tidak diperbolehkan membunuh, kecuali dalam perang atau pertempuran di mana kita

benar-benar sudah terdesak. Karena itu usahakanlah dulu untuk menyadari Dewi Siluman dari

segala kejahatannya, bersihkanlah otaknya dengan obat ini!" Lalu Kiai Bangkalan mengeluarkan

sebutir pil hitam dan diberikan kepada Wiro. "Bila nanti ternyata usahamu gagal, baru kau boleh

menurunkan tangan maut. Itupun bila kau terdesak dan tak punya jalan lain lagi! Nah sekarang

pergilah!"

"Terima kasih atas segala petunjukmu Kiai," kata Wiro Sableng sambil menjura dalam.

Inani juga melakukan hal yang sama. Sewaktu mereka mengangkat kepala kembali ternyata Kiai

Bangkalan telah lenyap. Bukan main terkejutnya mereka. Benar-benar luar biasa cepatnya gerakan

orang tua itu. Wiro geleng-gelengkan kepala. Sementara itu Inani berdiri dengan paras berubah.

"Ada apa?" tanya Wiro.

"Waktu aku menjura tadi, kurasa ada yang menepuk bahu kananku dengan keras. Sekarang

tubuhku terasa ringan sekali macam kapas!"

Wiro Sableng kerenyitkan kening. Tiba-tiba dia ingat akan ucapan Kiai Bangkalan bahwa

dia hendak menurunkan ilmu kecepatan gerak pada gadis itu.

"Mungkin itulah cara dia menepati janjinya!" kata Wiro. "Coba kau berkelebat!"

Inani tekankan kedua kakinya ke lantai. Tubuhnya bergerak dan kejap itu pula lenyap dari

pandangan mata Wiro Sableng, sedetik kemudian muncul lagi di hadapannya.

"Saudara! Aku benar-benar tak mengerti bagaimana gerakanku bisa sehebat ini!" seru Inani

gembira.

Wiro Sableng geleng-gelengkan kepala "Benar-benar aneh sekali cara Kiai Bangkalan

menurunkan ilmunya kepadamu," kata Wiro pula. "Kau beruntung Inani, eh, bukankah namamu

Inani...?"

Si gadis anggukkan kepalanya malu-malu. "Kau sendiri siapa?"

"Panggil aku Wiro," jawab Pendekar 212.

"Bagaimana kalau kita berangkat ke Bukit Tunggul sekarang?" tanya Inani.

"Memang lebih cepat lebih baik. Tapi untuk membuat urusan dengan Dewi Siluman kita

tunggu sampai besok pagi. Nah, ayolah!"

Kedua orang itu pun dengan segera meninggalkan Goa Belerang. Meskipun malam itu bulan

purnama bersinar terang namun dengan susah payah baru akhirnya Inani dan Wiro bisa keluar dari

dasar air terjun.