Hancur sendiri atau dihancurkan. Dan kurasa kau tak mau menemui kehancuran atau dihancurkan,
Dewi Siluman. Bukankah begitu...?"
Tenggorokan Dewi Siluman turun naik. Tiba-tiba meledaklah kemarahannya. "Orang muda!
Bicaramu keliwat pandai! Apakah kau juga pandai menerima pukulanku ini?!"
Laksana kilat Dewi Siluman hantamkan tangan kanannya ke arah Wiro. Satu larik sinar biru
yang amat panas menderu. Di seberang sana Pendekar 212 berkelebat dan "brak!" Dinding kamar di
belakangnya hancur lebur, runtuh merupakan satu lobang besar kini.
"Kau menghancurkan dirimu sendiri, Dewi Siluman," desis Wiro Sableng disertai lontaran
senyum. "Tidak sukar untuk kembali ke jalan yang baik. Di jalan yang baik itu kau akan melihat
satu jalan lurus yang wajar untuk menguasai dunia persilatan ini!"
Dewi Siluman melotot besar sewaktu melihat Pendekar 212 berhasil mengelakkan diri dari
serangan "Angin Biru"nya tadi.
"Orang muda, pintu masih terbuka bagimu untuk menguasai dunia persilatan ini bersamaku
menurut caraku!"
"Menyesal sekali, Dewi...."
"Kau yang akan menyesal jika kau menolaknya!" tukas Dewi Siluman. "Meski ilmumu
setinggi langit tapi tak satu manusia pun yang bisa menghancurkanku!"
"Bukan orang lain yang akan menghancurkanmu, tapi kau sendiri," sahut Pendekar 212.
Dewi Siluman tertawa aneh. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur.
"Jangan kelewat memandang sebelah mata terhadap Dewi Siluman, orang muda. Kalau aku
tidak melihat bahwa kau bakal mempunyai peruntungan baik bersamaku, siang-siang aku sudah
hancurkan kepalamu!" Dewi Siluman tertawa lagi lalu rebahkan dirinya perlahan-lahan di atas
tempat tidur. Pakaian tidurnya tersibak dan menjulai ke lantai yang ditutupi permadani tebal. Mata
Pendekar 212 mengecil, sejenak hatinya digelorai oleh darah muda.
"Orang gagah, kemarilah!" panggil Dewi Siluman. Suaranya berubah merdu tidak membentak lagi.
Wiro tetap berdiri di tempatnya.
"Kemarilah...." Dewi Siluman lambaikan tangannya.
Pendekar 212 melangkah. Dia berhenti satu tombak dari samping tempat tidur. Gelora darah
mudanya semakin menyentak-nyentak.
Dewi Siluman menopang dagunya dengan telapak tangan kanan, memandang gairah pada si
pemuda lalu berkata. "Seluruh isi Istana ini akan menjadi milikmu, orang muda. Dunia persilatan
akan berada di tanganmu. Dan kita hidup berdua di sini. Bukankah indah sekali...?" Dewi Siluman
menggerak-gerakkan kakinya.
"Kedengarannya memang begitu," sahut Wiro. "Tapi akan lebih indah lagi bila kau mau
menelan pil ini...."
Dewi Siluman kerenyitkan kening sipitkan mata dan memandang pada sebuah benda kecil
hitam di tangan Wiro Sableng.
"Pil apa itu?" tanya Dewi Siluman acuh tak acuh.
"Pada dasarnya manusia itu semuanya berhati dan berpikir baik. Tapi kekotoran duniawi
meracuni hati dan pikirannya. Obat ini akan sanggup membersihkan kembali racun hati dan racun
pikiran yang jahat itu, Dewi Siluman!"
Dewi Siluman tertawa berderai.
"Maksudmu kau mau mengobati diriku, orang muda?"
Wiro anggukkan kepala.
Dewi Siluman tertawa lagi panjang-panjang.
"Hanya orang sakit yang minum obat. Aku tidak sakit."
"Kau memang sakit Dewi Siluman, sudah sejak lama," kata Wiro pula.
Dewi siluman luruskan kedua kakinya yang mulus bagus.
"Aku akan telan pil itu," kata Dewi Siluman. "Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Berbaringlah di sampingku."
Bergelegar dada Pendekar 212. Darah muda di tubuhnya laksana hempasan ombak yang
memukul batu karang di pantai curam.
"Kau perlu istirahat, orang gagah. Kau perlu tidur," kata Dewi Siluman penuh genit.
Kegenitan yang mengandung racun.
"Soal tidur soal gampang Dewi," kata Wiro dengan menahan kobaran darah mudanya.
"Kebaikan adalah yang paling dulu musti dikerjakan. Kuharap kau bersedia menelan obat ini...."
Dewi Siluman tersenyum.
"Aku ingin sekali menghiburmu, tapi sayang, gadis pemetik kecapi itu tak ada di sini...."
"Inani maksudmu? Aku telah bertemu dengan dia."
Kagetlah Dewi Siluman.
"Dan bukan dia sendiri. Dewi, tapi juga tujuh orang lainnya...."
"Kau apakan mereka?"
"Mereka gadis-gadis cantik yang kini menjadi kawan-kawanku. Otaknya telah dicuci!"
"Kau yang melakukannya?!"
"Kiai Bangkalan!"
Membersilah paras Dewi Siluman. Dadanya menggemuruh. Tapi gelora amarah ini
kemudian mengendur sedikit. Dia duduk di tepi tempat tidur kembali.
"Aku tak perduli dengan mereka. Aku bisa melupakan mereka, juga kakek-kakek keparat,
bernama Kiai Bangkalan itu. Tapi kau musti menjadi milikku, orang muda, musti!" Dan habis
berkata begitu Dewi Siluman buka pakaian tidurnya lalu dalam keadaan tanpa pakaian selembar
benang pun dia melangkah ke hadapan Wiro Sableng.
Mulut Pendekar 212 komat-kamit. Digaruknya kepalanya. Dia bergerak ke samping sewaktu
Dewi Siluman melompatnya.
"Orang muda, apakah aku tak boleh memelukmu? Apakah aku tak boleh menyentuh
tubuhku pada tubuhmu...?"
"Boleh saja tapi sekarang bukan saatnya."
"Justru sekarang inilah saatnya" dan Dewi Siluman menerjang ke muka hendak meraih
tubuh Wiro Sableng. Sekali lagi Wiro berkelit.
"Kau keterlaluan orang muda! Apakah aku harus mengemis terhadapmu?! Peluk aku orang
muda. Cium parasku, bibirku, dadaku... semuanya...."
"Buset!" ujar Wiro Sableng dalam hati sementara Dewi Siluman melangkah mendekatinya.
"Dengar Dewi, aku akan cium kau mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Tapi telan
pil ini...." Wiro acungkan tangan kanannya,
Tiba-tiba Dewi Siluman berseru nyaring. Tubuhnya berkelebat laksana kilat. Pendekar 212
terkejut hebat sewaktu lengannya dipukul oleh Dewi Siluman hingga pil hitam yang dipegangnya
mental ke udara? Sebelum dia bisa berbuat suatu apa, pil itu sudah berada dalam genggaman Dewi
Siluman. Sekali tangan itu meremas maka hancurlah pil pembersih otak dan hati itu.
"Sekarang tidak ada lagi segala macam obat terkutuk! Yang ada kau dan aku! Mari orang
muda... mari...!"
Pendekar 212 mulai beringasan dan penasaran.
"Aku telah datang membawa kebaikan untukmu Dewi Siluman! Tapi kejahatan di dalam
dirimu memang sudah sedalam lautan setinggi langit! Aku tunggu kau di taman Istana!"
"Kau mencari mati orang muda?!"
"Dan kau mencari mampus!"
"Bedebah!" maki Dewi Siluman. Dia tepukkan tangannya tiga kali berturut-turut dan
memandang berkeliling dengan heran.
"Aha... kau memanggil anak-anak buahmu Dewi Siluman? Mereka tak akan muncul!
Semuanya telah dicekok dengan obat pembersih otak!"
Kaget Dewi Siluman bukan main.
"Manusia tolol! Diberi kesenangan malah minta mati percuma! Aku akan siksa kau di
Ruang Penyiksaan! Aku akan rebus tubuhmu!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Ruang Penyiksaan hanya tinggal nama saja lagi!" sahutnya. "Tiga tokoh silat yang masih
hidup sudah kubebaskan dan ruangan itu hanya merupakan puing-puing hancur, satu pertanda bagi
kehancuranmu sendiri! Aku tunggu kau di taman! Jika otakmu masih diracuni oleh kejahatan,
taman itu akan menjadi kuburmu! Dan jangan coba-coba larikan diri Dewi. Setiap jalan rahasia
sudah dijaga!"
"Setan alas! Mampuslah!" teriak Dewi Siluman. Kedua tangannya dipukulkan ke muka.
"Wuss!"
Dua sinar biru menderu ganas. Tapi Wiro Sableng sudah tendang pintu dan keluar dari
kamar itu.