Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 7 - bab 6 (welcome Jakarta)

Chapter 7 - bab 6 (welcome Jakarta)

Kelima orang suruhan juragan itu akhirnya gagal menangkap Elis. Akhirnya mereka pun kembali membantu Yoga yang tengah terperangkap di kubangan lumpur dan membawanya ke tempat juragan untuk diinterogasi.

Tiba di sana, Yoga ditanya kemana tujuan Elis pergi, karena takut dihajar, dengan jujur Yoga berkata kalau Elis mengajaknya ke Jakarta.

"Eh, Jakarta itu luas. Jakarta mana? Ngomong yang jelas, kamu bocah!" Bentak juragan dengan garam.

" kalau tempatnya di mana saya benar-benar tidak tahu, Juragan. Sebab, kami masih berencana pergi dan itupun tanpa tujuan pasti kemana," jawab Pemuda itu dengan gentar.

tan. karena kami masih berencana pergi menghindari perjodohan ini untuk tempat kami akan mencarimu setelah tiba di sana jadi saya tidak mengetahui di mana english ucap yoga."

"Baiklah, kau akan tetap di sini tidak boleh pulang. Dan ponselmu ada dalam pengawasan kita semua. Begitu Elis menelfonmu nanti, katakan kalau kau baik-baik saja, dan tanyakan alamat jelasnya, atau, kubunuh kau!" Teriak juragan dengan keras. Hal itu membuat pemuda berusia duapuluh satu tahun itu benar-benar ketakutan.

"Ba... Baik, Juragan."

🍁🍁🍁🍁

Beberapa jam bersembunyi di sawah terpal plastik dalam kondisi badan ditekuk membuat Elis merasa badannya sakit bahkan kakinya terasa kesemutan. Belum lagi rasa panas dari mentari yang menembus lapisan terpal membuat tubuhnya seolah terasa kian terbakar bagai dikukus hidup-hidup.

Tapi, gadis itu belum belum berani keluar dari terlpal itu.

"Haduuhh ya Allah panas banget ini, kira-kira dah keluar kampung belum, ya?" ucap Elsi dalam hati.

Tiba-tiba saja mobil pickup yang dia tumpangi diam-diam itu berhenti dan, terpal terbuka.

"Hah, siapa kamu?"  tanya bapak-bapak tua pengemudi pickup itu.

Elis tidak mengenali orang tersebut. Sepertinya dia orang luar desa yang sengaja datang ke desanya untuk membeli hasil berladang warga.

"Eh, maaf Pak. Saya tadi dikejar orang jahat. Dan numpang di sini tanpa seizin bapak. Ini kita sampai mana, ya pak?" tanya Elis sambil memandangi sekitaran tempatnya yang ramai.

"Ini di pasar, tradisional. Kita sampai di Jakarta."

"Apa, pak? Jakarta?" Gadis itu langsung melompat dari bak belakang dan berteriak lantang. "Ibu kota welcome Jakarta!"

Ia merentangkan tangannya dan menghirup dalam-dalam udara Jakarta di pagi hari. Lalu kembali ke orang tersebut dan mencium tangannya berkali-kali lalu pergi berlari entah kemana.

Sekitar setengah jam berjalan tanpa tujuan, Elis pun merasa perutnya lapar.

Ia mencari penjual nasi uduk pinggir jalan untuk sarapan. Setelah perutnya terisi dan kenyang, ia mengeluarkan gawainya untuk menghubungi Yoga di kampung. Tidak berselang lama setelah panggilannya tersambung pria itu mengangkatnya.

"Halo, Elis. Kamu di mana sekarang?" sahut pria itu dari seberang.

Dengan penuh rasa senang dan tak percaya, Elis menjawab penuh semangat, "Aku sudah ada di Jakarta, Mas."

"Cepat tanyakan Jakarta sebelah mana!"

Terdengar suara orang berbisik kencang penuh penekan dan rasa emosi di belakang Yoga.

"Kamu di Jakarta mana, Elis?" tanya Yoga, terbata-bata seolah ia merasa was-was  juga juga ketakutan.

"Jakarta mana, ya Mas? Elis kok gak tahu? Tanya dulu, ya?" Jawab Elis seraya berjalan menghampiri seseorang.

Sementara Yoga bersama Juragan serta orang-orangnya yang diseberang sana siap-siap pasang telinga telinga mendengar jawaban dari orang yang ditanya Elis.

"Pak, permisi numpang tanya. Ini Jakarta... " Belum sempat Elis menyelesaikan pertanyaannya, seorang jambret menyahut ponsel yang ia tetapkan di pipi kanannya. Sontak, gadis itu pun berteriak. "Copppeeeeeeeeeee!"

"Halo, Lis, Elis apanya yang kecopetan, Lis?" tanya Yoga, panik. Tapi, tak ada jawaban selain suara berisik angin atau udara yang tak jelas.

Yoga menoleh memandangi wajah juragan dan beberpa anak buah di sekilingnya seraya berkata, "Sepertinya dia kena musibah, Juragan. Hpnya disahut jambret. Jadi, kita gak tahu di mana dia."

Karena tak ada yang bisa lagi diandalkan dari pemuda itu, Juragan pun memutuskan untuk melepaskan saja dia. Dengan pesan kalau ada kabar dari Elis, harus segera melapor. Jika tidak akan tahu akibatnya akan fatal.

Yah, begitu si Juragan. Apa yang diinginkan harus ia dapatkan, termasuk Elis si kembang desa yang ingin dijadikan mantu satu-satunya.

Sementara Elis sudah berusaha keras mengejar jambret yang menggondol hpnya. Tapi, di persimpangan jalan dia jatuh terpeleset jalan berlumpur akibat hujan, alhasil ia pun kehilangan jejak pencopet itu.

"Haaaah! Sialan! Kenapa aku terjatuh, ponselku... Aduh ponselku... Bagaimana aku bisa menelfon ibuk dan mas Yoga di kampung, dong, kalau gitu...." Keluh Elis sambil menangis tersedu-sedu.

Tapi, Elis tidak mau menyerah, ia akan memanfaatkan waktunya dengan baik, dia pergi ke toilet umum untuk mandi dan berganti pakaian yang bersih.

Tiba di sebuah toilet umum, Elis dikejtukan dengan tulisan yang ada di atas meja seorang penjaga.

Kencing=Rp. 2.000,-

Berak =Rp. 3.000,-

Mandi =Rp. 5.000,-

"Masyaallah... Begini, ya kehidupan kota, nasi uduk yang di desa cuma tiga ribu perak di sini ya sepuluh ribu. Jangankan mandi, untuk kencing aja pake duit," gumam Elis seorang diri.

Malam pun tiba, Elis bingung harus tidur di mana, ia duduk berjongkok ndengan ransel di punggungnya mengamati hiruk pikuk ibu kota yang tak seindah orang katakan. Benar saja ini kota surga, tapi, bagi mereka yang kaya, lah aku?

Kembali gadis belia itu pun menangis teringat bayangan sang ibu seraya bergumam, "Buuuu doakan anakmu ini agar cepat mendapatkan pekerjaan, biar hidupnya gak terlunta-lunta di jalan, Bu. Ini sudah malam, tapi Elis gak tahu harus tidur di mana, saudara di sini juga tidak ada."

Mata Elis menangkap anak sebayanya yang membawa gitar kecil atau kentrung, ia duduk di emperan kios yang sudah tutup bersama seorang temannya sambil tertawa. Ia mengeluarkan kresek dari dalam tasnya dan menghitung hasil pendapatan mereka masing-masing.

Ah, Elis benci mengamen, kalaupun ada kerjaan lain, mending lainnya saja jangan begitu, ah. Umpatnya dalam hati.

Tak lama kemudian, dua orang tersebut dan para gelandangan lainnya berlari berhamburan, Elis bingung ada apa?

Seorang wanita kira-kira usia tiga puluhan menegurnya, Heh, kamu ngapain di sana? Cepat lari ada razia. Lari apa masuk penjara!

Elis yang sejujurnya masih bingung, ia pun juga ikut lari tunggang langgang dan bersembunyi. Dari tempat persembunyiannya ia melihat ada banyak kaum gepeng (gelendangan pengemis) dan anak jalanan lainnya ditangkap oleh satpol PP.

Setelah razia usai, mereka keluar dari tempat persembunyian dan kembali ke tempat masing-masing.

"Kak, memang kalian tinggal di mana? Mengapa mereka menangkap kita? Apakah pengemis itu jahat?" tanya Elis, penasaran.

Wanita yang tadi menegurnya itu terlihat enggan menjawab, tapi, melihat Elis yang tampak berish, tapi penampilan kampungan, ia yakin dia baru saja tiba di ibukota.

"Kaum gepeng hanya menghambat para pengguna jalan, kedatangan kami yang mengemis sana sini juga bikin orang risih. Maka dei itulah mereka para satpol PP menangkap kami, merehabilitasi dan mengembalikan ke kampung halaman masing-masing. Mana mungkin kita kemari untuk bermimpi, menahan sakitnya rindu dengan keluarga, sekalipun cuma mengemis ya tetap dijalani asal gak mencuri, mencopet dan lain-lain yang merugikan orang lain."

Elis diam meresapi ucapan wanita itu, benar juga apa yang dia katakan.

Gadis belia itu pun beranjak dari tempatnya, ia menghampiri wanita itu dan berkata, "Kakak sudah lama di sini? Tinggal di mana? Aku baru pagi tadi tiba."

"Aku sudah lima tahun di sini hidup menjadi pengamen, dan aku bersama teman-teman lain, tinggal di gubuk pinggir sungai. Kamu mau ikut kami?"

Dengan sorot mata berbinar, wanita itu mengiyakan ajakan wanita itu. "Iya, Kak, mau mau... Kakak namanya siapa? Aku Elis?' ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Namaku Tika," jawabnya sambil menjabat tangan Elis.

Lalu, keduanya pun berjalan beriringan menuju gubuk yang Tika dan kawan-kawannya bangun sejak bertahun-tahun lamanya untuk tempat berteduh dari panas dan hujan.

Di sinilah, Elis menikmati malam pertama di Ibukota, di tempat yang kumuh, dekat sungai dan tempat pembuangan sampah. meskipun ia tak pernah membayangkan sebelumnya. tapi, ia tetap merasa bersyukur masih dipertanyakan orang baik. Setidaknya ia tidak kehujanan malam ini.