Dengan meredam amarah pak Ranu menyeret Elis membawanya untuk duduk di depan Doni dan pak Suto. Melakukan upacara lamaran berdasarkan adat.
Seketika mata Doni menatap tiap lekuk tubuh Elis yang dibalut kebaya dengan tatapan lapar. Tanpa sengaja, Elis memandang ke arah Doni, menatapnya dengan tatapan papar penuh manafsu, bahkan saat kedua mata itu bertemu, Doni menjulurkan lidahnya menyabu bibir hitamnya yang kebanyakan nikotin dari rokok.
Elis bergidik geli. Merasa sangat jijik dengan pria di hadapannya.
Ia pun menunduk dan mematung di tempatnya semula. Tak menghiraukan pak Ranu yang tengah memintanya untuk duduk di kursi depan Doni.
"Lis, duduk, lah! Elis, duduk di depak nak Doni!" Seru Pak Ranu geram, setengah mendorong tubuh putrinya dengan amarah tertahan.
Gadis itu pun duduk, wajahnya nampak murung dan sedih. Sedangkan para tetangga dari luar semuanya pada kasak kusuk tentang Elis dan Doni.
"Sepertinya Elis dipaksa sama bapaknya, lihat! Bu Mirna saja tidak ikut keluat."
"Iya, lagian kembang desa mana mungkin mau sama Doni. Jelek, item, codet lagi."
"Iya, usia belum ada tigapuluh tahun. Tapi dah menduda empat kali. Lagian, wanita mana yang mau ma orang tidak waras gitu. Bini dipukuli dulu diikat sama ditiduri. Wanita kan suka akan kelembutan."
"Elis itu, pantasnya sama Yoga. Elis kembang desa, Yoga arjunanya desa."
Mendengar gosip-gosip yang tak mengenakan dari oara warga yang berkumpul di depan rumah pak Ranu membuat pak Suto geram. Ia tak tahan dengan ucapan buruk prijal putranya itu.
"Kalian semua diam! Kukumpulkan kalian untuk jadi kebahagiaan Doni putraku, malah menggosip semua. Gak guna! Buyar-buyar!" teriak pak Suto benar-benar murka.
Seketika itu, para warga pun semuanya pada kabur pergi. Tidak mau berurusan dengan Pak Suto yang kejam itu.
Mata Elis memandangi para warga yang mulai buyar, dan tanpa sengaja, mata indahnya menatap sosok yang ia kenal. Keduanya saling tatap. Maka, melompatlah buliran-buliran bening itu membanjiri wajah cantiknya.
Mata pria itu juga nampak sedih, tapi, tak mampu berbuat apapun selain menahan amarah melihat gadis yang dicintai dijodohkan okeh orang tuanya.
Tanpa sadar Elis kembali berdiri dan hendak berlari menghampiri Yoga. Tapi, dengan cepat pula pak Ranu memegang pergelangan tangan Elis dan menariknya dengan kasar agar kembali duduk di tempatnya.
Acara lamaran pun selesai. Sesuai rencana, minggu depan giliran keluarga pak Ranu yang akan datang ke rumah pak Suto untuk memberi jawaban, sekaligus mengatur dan menentukan tanggal pernikahan putra putri mereka.
Di ruang tengah, Pak Ranu dengan bangganya membuka isi kado dan bawaan dari calon besannya. Dan yang paling membuat pam Ranu senang, ialah uang tunai sebesar lima juta rupiah.
"Lihat bukne! Ini baru tunangan kita sudah dapat segini banyak hadiah untuk seserah. lihay, ini kalung emas dan cicincin buat Elis. baju, sendal semuanya mahal-mahal ini. Bukne. dan duit lina juta. lihat! Betapa beruntungnya kita. nanti kalau Elis sudah menikah dengan Doni, pasti kita akanย mendapatkan hadiah yang jauh lebih besar 1 ini, iya kan, Elis?" ucap pak Ranu dengan tawa yang menunjukan ketamakannya.
"Ini bukan mencarikan jodoh terbaik buat anak Pak. Tapi, ini menjerumuskan anak. Kau tau Lila sampai mengalami gangguan jiwa akibat kelainan yang diderita Doni. Kau malah menjerumuskan putri kita satu-satunya, Pak. Sama saja Bapak ini menjual anak gadisnya," teriak bu Mirna. Histeris.
Biasanya mendengar kata-kata perlawanan seperti ini dari samg istri sudah cukup membuat pak Ranu naik pitam. Membanting benda di depannya bahkan menampar istri dan anaknya. Tapi, rupanya kali ini moodnya sedang baik, dia tengah menikmati uang dan perhiasan sesrah dari calon besannya. Jadi, dia santai-santai saja menimpali amadah sang istri.
"Menjual anak gimana toh bukne? Kalau menjual tu ya tak serahkan pada mucikari di tempat prostitusi. Lah ini kunikahkan dengan orang kaya nomor satu di kampung kita lo, piye to bukneee buknee."
Kembali pak Ranu tertawa seorang diri sambil menyebar-nyebarkan uang ratusan dan lima puluh ribuan itu di tangannya.
๐ ๐ ๐ ๐ ๐
Sore itu, di tempat biasa, di sanggar karang taruna. Elis menemui Yoga. Ia kembali menangis saat melihat sosok itu. Ia mencurahkan semua isi hatinya kalau dia benar-benar menolak perjodohan ini. Tapi, ia tak berdaya.
"Mas, aku tidak mau dinikahkan sama Doni anak pak Suto itu, Mas. Aku tidak suka sama dia," isak gadis itu tertunduk di depan Yoga.
"Iya, Elis, aku ngerti. Kamu sabar, ya? Kita cari jalan keluarnya bersama-sama." Yoga menepuk bahu Elis dan mengajak untuk segera pulang. Karena anak-anak karang taruna semuanya sudah pada pergi.
Seperti biasa, Yoga mengantar Elis pulang sampai pagar rumahnya. Hanya saja kali ini tidak seperti biasanya. Biasanye mereka saling berbagi cerita, bercanda dan tertawa kali ini tidak. Mereka melangkah sama-sama diam dan bungkam.
Tiba di depan pagar rumah Elis. Di depan ada Pak Ranu yang tengah sibuk mengelus-elus tumang, ayam jago kesayangamnya. Begitu pria itu melihat putrinya dengan Yoga. Maka, marahlah pak Ranu. Sambil melotot ia teriak-teriak kencang.
"Heh, bocah ingusan, masih bau kencur gitu berani-beninya deket-deket Elis. Kau tidak tau, hah? Tidak melek kemarin dia sudah di lamar sama juragan Suto. Dia mau jadi menantunya. Mau disebut pembinor kamu, hah? Yang tahu diri jadi anak. Gadis di desa ini masih banyak. Kau jangan dekat-dekat Elis lagi." hardiknya.
"Pak, sudah! Jangan berisik ah, malu sama tetangga," ucap Elis dengan wajah lelah.
Tanpa di duga, Yoga melangkah maju mendekati Pak Ranu. Dengan gentle dia berkata pada laki-laki paruh baya itu.
"Pak, mohon maaf sebelumnya. Saya memang pemuda biasa, bukan anak dari orang kaya dan terpandang seperti Doni. Tapi, saya bersungguh-sungguh menyanyangi Elis dan berjanji selamanya untul menjaga dam tidak akan pernah menyakitinya selama hidup saya."
"Hah, sayang cinta... Emang hidup makan cinta aka bisa kenyang?" timpal Pak Ranu.
"Anda memaksa putri satu-satunya untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Apakah begitu oramg tua yang baik?"
Mendengar ucapan Yoga lantas membuat pak Ranu marah. Dan berteriak,
"Berani kau!"
Mendengae suara gaduh di depan rumah Bu Mirna yang baru saja pulamg dari keliling berjualan kue basah buru-buru berlari kedepan melihat apa yang terjadi.
Sampai di depan rumah wanita paruh baya itu terkejut melihat Yoga dipukuli suaminya. Sementara Elis hanya berteriak memanggil nama Yoga.
"Pak, stop! Hentikan perbuatanmu ini. Kalau orang tua nak Yoga tidak terima, Bapak bisa masuk penjara nanti. Hentikan pak! Hentikan!" Teriak Bu Mirna histeris.
"Heh, kali ini kau kubiarkan karena istriku menghentikanmu. Lain kali awas kau!"
Segera Bu Mirna menarik suaminya ke dalam. Sementara Elis ia berusaha membantu Yoga berdiri. Kembali mata itu basah karena air mata yang sepertinya tidak akan pernah habis.
"Mas Yoga. Maafkan aku, Mas," ucap Gadis itu terbata-bata.
"Kenapa kamu minta maaf? Kamu tidak salah, Lis," ucap Yoga berusaha tertawa meski wajahnya penuh lebam.
"Kalau tidak karna Elis, pasti Mas Yoga tidak akan merasakan hal ini. Alu minta maaf." Kembali gadis itu mengusap air matanya yang membasahi pipinya.
"Kamu cinta kan sama Mas?" tanya Yoga, sungguh-sunggu. Lalu, dibalas anggukan oleh Elis.
"Kita sama-sama cinta. Jadi, kita sama-sama berjuang kau sabar, ya? Pasti kelak kita akan temukan jalan keluarnya," ucap Yoga sambil menatap wajah cantik Elis.
"Hey, bocah! Cepat pergi kau dari sini, atau aku akan menghabisimu saat ini juga!"
Kembali suara Pak Ranu terdengar kencang dari dalam rumah.
Dengan tergopoh Elis membantu Yoga untuk bangun dan menyuruhnya segera pergi.
"Mas cepat pulanglah! Jangan sampao bapak menghajarmu lagi," ucap gadis itu.
"Ya sudah, kamu jaga diri baik-baik. Mas pulang dulu. Assalamualaikum."
"Iya, Mas hati-hati juga, Ya? Waalaikumssalam."
Elis memandang Yoga sampai punggung itu tak lagi terlihat dari pandangannya. Lalu, segera masuk kerumah begitu mendengar teriakan Pak Ranu yang kencang.