Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 5 - bab 4(janji)

Chapter 5 - bab 4(janji)

Pagi pagi buta sekitar pukul lima dini hari, Elis pergi ke ladang di mana biasanya Yoga membantu orang tuanya mengurusi tanaman yang di tanam. Dia sedikit terburu-buru dan tergesa-gesa takut ada orangnya juragan mengetahui dirinya yang nampak mencurigakan lalu melaporkan kepadanya.

Setelah tiba. Di ladang, Elis pun memanggil Yoga dan mengajaknya berbicara.

"Elis, kenapa kamu pagi-pagi sekali kemari?" tanya pria itu heran.

"Mas, benar kau sayang dan cinta sama aku?" tanya Elis dengan tatapan mata yang mendalam.

"Iya, Elis. Kau mau bukti apa lagi, bahkan aku terima dihajar bapakSelai kamu kemarin juga demi siapa? Kamu, kan?" jawab pria itu meyakinkan.

"Selain itu, apa lagi yang akan kau korbankan demi aku, Mas?"

"Kamu mau apa, Elis? Mas akan berusaha demi cinta kita. Tapi, kalau melawan juragan, jelas mas tidak mampu. Hal itu hanya akan memberi dampak buruk pada orang tua mas, Elis. Mas ada tabungan, tapi masih tiga jutaan. Bagaimana kalai itu buat nyicil pada juragan saja, sisanya mas akan berusaha untuk melunasi utang bapaknya Elis agar perjodohan itu batal dan kita sama-sama mendapat restu orang tua."

"Kalau kawin lari bagaimana, kak? Kita sama-sama kabur saja ke kota, kembali setelah sama-sama sukses, aku ada uang walau tidak banyak, hanya lima ratus ribuan. Tapi, lumayan kan buat tambahan modal hidu kita?"

Yoga diam sesaat. Tanpa berpikir panjang,  pria itu langsung memberikan jawabannya.

"Ya, aku siap. Kapan kita akan pergi?" tanya yoga bersungguh-sungguh.

"Lebih cepat lebih baik, Mas. Bagaimana kalau nanti malam?" usul Elis.

"Gini, kan hp kamu disita sama bapakmu, bisa gak diam-diam ambil dan hubungi aku dulu biar aku juga bisa siap-siap."

Iya, mas. Aku akan berusaha."

"Ya sudah cepatlah pulang, agar orang-oranf tidak curiga!" seru Yoga.

Elis pun akhirnya kembali pulang ke rumahnya sebelum bapaknya banting atau malah menjadi runyam karena diintrogasi dan ditanyai macam-macam.

Elis sedikit celingukan. Mengawasi kiri kanan sekitar luar kamarnya. Setelah dirasa aman, dengan segera gadis itu memanjat jendela dan masuk ke dalam kamarnya.

Selang beberapa menit setelah merapikan kamar, gadis itu keluar kamar dan ke dapur menghampiri ibunya. Sebisa mungkin ia bersikap wajar agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Elis memandangi sang ibu dengan tatapan yang sulit di jelaskan. Ingin rasanya dia pamit pada sang ibu mengenai kepergiannya ke kota bersama yoga, tapi, kawatair beliau melarang  jadi ramai dan kedengaran bapak jadi gagal rencananya.

Akhirnya, Elis pun memilih bungkam dan berencana meninggalkan surat di kamar sana nanti.

"Bapak masih tidur, Bu? tanya Elis membuka percakapan.

"Iya, tumben kamu nanya soal bapak. Kenapa? Bukannya biasa kalau jam segini dia masih tidur?" timpal ibunya Elis.

"Gak apa-apa, barangkali sudah bangun," jawab Elis sekenanya.

Tak lama kemudian pak Ranu pun bangun ia ke dapur mengambil nasi dan mulai sarapan.

'Hemmbh, kebiasaan bapak, bangun tidur makan ngopi ngorok lalu pergi judi,' umpat Elis dalam hati.

Melihat ekspresi anak semata wayangnya sangat tidak mengenakan, pak Ranu nampak tersinggung. Dengan nada penuh emosi ia menegur Elis yang menatapnya dengan tatapan yang lebih ke menghina bapaknya sendiri.

"Kenapa kamu pasang muka kaya gitu? Gak suka sama bapak? marah ma bapak yang maksa jodohin kamu sama Doni?" Bentak pak Ranu.

"Bapak ini kenapa sih? Elis dari tadi cuma diam kenapa malah tiba-tiba ngomel dan bawa-bawa soal perjodohan gitu? Tapi... Syukurlah kalau bapak merasa. Kan bagu," jawab Elis.

Mendengar jawaban putrinya yang dianggap tidak ada sopan santunnya kepada orang tua pak Ranu pun kiat naik pitam. Dilemparnya piring yang masih ada nasi ke arah Elis. Beruntung dengan cepat Elis bisa menghindar. Jadi piring itu mengenai temboh dan hancur menimbulkan bunyi yang cukup keras sehingga. Bu Mirna pun ikut menjerit dan berlari ke arah meja makan khawatir putrinya yang dilempar piring suaminya.

"Masyaallah, Bapak... Ada apa ini?" tanya Bu Mirna yang langsung berlari ke depan, begitu mendengar suara pecahan piring yang keras. Ia pun lagsung bernapas lega seraya mengelus dadanya begitu mendapat Elis putrinya tidak apa-apa.

"Kamu tidak apa-apa, Nak?" Bu Mirna pun mendekati Elis dan membawanya ke dapur. Sementara Pak Ranu pergi keluar entah kemana.

Sesampai di dapur Bu Mirna menasehati putrinya agar tidak selalu memancing keributan dengan bapaknya. Tapi, bukan Elis namanya kalau tidak masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri. Iya tingga iya doang ga ada perubahan.

Istilah Jawanya enggeh, enggeh nanging ora kepanggih.

"Emangnya kamu tadi ngapain saja sama bapak? Apa tidak bosen kamu dimarahi terus?"

"Elis malah enek lihat bapak yang seperti itu. Hidup kok cuma makan tidur ngopi ngrokok ga ada bedanya Ama kerbau 🐃. Mending melihara kerbau aja, Bu. Bisa bantu bajak sawah, dijual dapat uang bapak, lah melihara bapak, emang laku di jual? Ada yang mau beli?" ucap Elis mulai nyerocos tak karuan.

"Huush! Tidak boleh kek gitu, Elis. Jangan jadi anak Durhaka, ya. Seperti apapun dia itu adalah bapakmu. Kau wajib hormat padanya," ucap Bu Mirna dengan gemas.

"Haduh ibuuu terserah deh, Elis gak mau mikir, capek juga debat sama ibu. Tapi, yang pernah Elis tahu, sabar Ama gob itu,(gob***) beda tipis Lo, Bu."

Elis pun pergi keluar entah kemana. Sementara Bu Mirna hanya mengelus dada. Namun, dalam hati juga membenarkan apa yang Elis katakan.

'Kalau saja bercerai itu mudah dan tak menerima teror dan ancaman dari bapak mu, Nduk. Sudah dari dulu, lebih baik ibu menjadi janda dan menjagamu seorang diri saja dari pada kau memiliki bapak yang hanya membuatmu sengsara," batin Bu Mirna.

Elis mengamati situasi sekitar, merasa sudah aman, ia pun mengendap-endap ke dalam kamar orang tuanya dan mulai melancatkan aksinya mencari di mana benda pipih miliknya itu di sembunyikan mulai di dalam lemari, kasur dan kolong dicarinya semua tapi nihil, tidak ketemu.

Gadis itu diam sesaat. Mencoba berfikir sejenak dan mengamati tata letak kamar orang tuanya. Selang beberapa saat, ia pun tiba-tiba berkiri mencari gawainya di dalam beberapa kardus yang ada di atas lemari pakaian orang tuanya itu. Dengan bersusah payah ia berusaha meraih satu demi satu kardus itu dengan sangat penuh hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan.

Kardus pertama diambilnya di bawa turun. Di atas lantai ia membongkar isinya memeriksa apakah ponsel jadulnya itu ada di dalam sana? Ah, ternyata tidak. Dengan hati kecewa Elis menaikan lagi kardus itu dan megambik satu kardus berikutnya.

Kardus pertama, kedua, ketida dan keempat tidak ada hasil. Harapannya tinggal di kardus terakhir. Jika masih tidak ada, kemungkinan layar sentuh penghubung antara dia dan Yoga sudah di jual sama bapaknya untuk taruhan judi.

Elis bernapas lega karena menemukan benda pipih berwarna rose gold itu. buru-buru disisipkannya di pinggangnya dan meletakan kembali kardus itu ke atas lemari.

Baru saja ia hendak naik di atas ranjang, terdengar teriakan dari luar. Memanggil manggil nama ibunya dan itu adalah suara bapak.

Dengan buru-buru Elis meletakkannya dan turun lalu segera berlari keluar.

Saat ia hendak masuk kamarnya sendiri, ia bertabrakan dengan bapaknya yang masih marah-marah.

"Oh, kebetulan kamu di sini. Pagi tadi kamu dari mana?" Teriak pak Ranu, benar-benar murka.

"Kemana, Pak? Ini kan juga masih pagi?" tanya Elis balik. Tapi, jantunya terasa kaya mau copot. Selain menerka kalau si bapak tahu kalau ia menemui mas Yoga, ponselnya juga hampir saja jatuh. ia pun mengeratkan lengannya untuk menahan benda itu agar tak jatuh.

"Tadi selepas subuh kau menemui Yoga, kan?" Bentak pak Ranu hampir menampar Elis. Tapi, berhasil di hentikan oleh Bu Mirna.

"Sudah pak. Nanya ke anak itu dengan baik jangan dikit-dikit nampar gitu. Anak yang ada akan benci dan hilang hormat sama bapak.

"Halaaaah. Kamu lagi, bela teruuus, terus saja bela dia biar makin memlonjak jadi anak," teriak pak Ranu kian tidak terima.