"Hahaha! Mencoba menakutiku? Sini, datang! Selagi aku belum lihat wujud kalian, aku tidak akan pernah merasa takut sedikit pun," teriak Alea. Seketika rasa takutnya pun lenyap entah ke mana.
Beberapa saat kemudian gawainya berbunyi, sebuah pesan singkat dari Yulita masuk, 'Alea, Ibu berada di rumah tante Molly, kamu kesini ya, dia uda parah.'
Dengan cepat dibalasnya pesan itu,
'Alea masih ada sedikit kerjaan ektra, Bu. Sebentar lagi juga selesai, Alea akan menyusul Ibu ke rumah tante Moly,' demikian balasan Alea.
Koridor yang sepi membuat suasan terasa mencekam, memang ini bukanlah yang pertama baginya, tapi malam ini sangat berbeda. Hawa dingin begitu menusuk tulang, ditambah pantulan suara dari langkah kakinya, membuat bulu kuduknya meremang.
Alea diam sesaat, menajamkan indra pendengaranya. Seperti ada langka kaki lain di belakangnya, suara itu semakin mendekatinya. Kembali ia melangkah, kali ini lebih cepat, namun untuk menoleh Alea tidak berani.
Alea semakin gugup, kakinya terasa lemas, jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Tubuhnya terguncang, pundaknya tertarik keatas, dia benar-benar terkejut saat sebuah tangan hinggap di bahu kananya. Alea terdiam mulutnya terkatup erat. Matanya terpejam.
Menjerit pun ia tak mampu.
"Kamu belum, pulang, Alea?" ucap suara itu, yang baginya tidaklah asing, baru Alea membuka matanya, perlahan menoleh. Ia bernapas lega saat mendapati pak Max yang berada di belakangnya tadi. Alea mendesah pelan, merasa lega.
"Tadi aku menyiapkan data-data yang akan digunakan persentasi lusa, karena memintamu tidak memungkinkan, jadi aku lembur saja. Kamu mau bareng, aku?" tawar pak Max.
"Saya mau ke Kelapa Gading, Pak, menjenguk teman ibu saya yang tengah sakit,"
"Bagus, kita Searah, ayo!" seru pak pak Max sambil mengulurkan tangannya menggandeng Alea meski tanpa persetujuannya.
Alea tersenyum canggung merasa tidak enak saat atasannya membukakan pintu mobil depan untuk dirinya. Namun, ia tetap berusaha tenang dan bersikap manis. Dengan rasa tidak enak Alea duduk di sebalah kemudi. Sesekali memaikan gawainya, menutupi kecanggungan.
Tak ada percakapan di antara keduanya sampai Alea tiba di depan rumah tante Molly.
"Terimakasih, Pak," ucap Alea, setelah keluar dari mobil pak Max. Dijawab dengan sebuah senyuman dan anggukan oleh beliau lalu kembali melajukan mobilnya.
Alea mengamati mobil itu sejenak sampai lenyap dari padangannya di sebuah tikungan. Alea beranjak, masuk kedalam rumah tante Molly.
Hawa aneh, serta aroma yang kuat menyeruak hidung, tatkala ia membuka pintu ruang utama rumah tante Molly.
Alea berhenti sejenak di ruang tamu, mengedarkan pandangan pada setiap sudut ruangan yang begitu sepi.
Alea melangkah menuju kamar tante Molly, beberapa langkah kemudian ia mendengar suara rintihan seseorang menahan sakit serta isakan beberapa orang lainnya.
Perlahan Alea melangkah meraih ganggang pintu lalu membukanya. Aroma busuk semakin menyekat saat Alea membuka pintu itu, Alea memalingkan wajah menahan mual sambil menutup hidung dengan tangannya.
Beberapa saat di ambang pintu Allea pun memaksakan diri melangkah ke dalam mendekati sosok yang nyaris tak ia kenali, lalu ia duduk di antara ibunya dan Intan anak kedua tante Molly.
Alea menatap kosong ke arah tubuh tak berdaya yang tergeletak di hadapannya, ringkih kurus tinggal kulit dan tulang, rasanya masih tidak percaya jika itu adalah sosok tante Molly. Bulan lalu masih terlihat cantik dan sexi meski sakit, tapi ini... Kulinya bahkan hancur oleh borok. Memamerkan tulang-tulang putih nampak mengerikan. Serta darah dan nanah yang terus merembas tidak pernah kering, di tambah beberapa ekor belatung dari lukanya berlompatan.
"Alea, mungkin sebentar lagi mama sudah pergi, sebelum ia pergi ada beberapa hal yang perlu kau ketahui. Dan aku mohon maafkan apapun kesalahannya," ucap Jevin anak pertama tante Molly, pria tampan sedikit berewok dan berdada bidang itu kini nampak rapuh, matanya yang biasa menyorot tajam nampak memerah menatap Alea mengharap belas kasihan.
"Punya salah apa tante Molly padaku?" tanya Alea binginggu sambil menatap ke arah Jevin penuh tanda tanya.
Tiba-tiba Intan di sebelahnya memeluk Alea dengan tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Alea semakin bingung. Menoleh ke arah ibunya.
"Sebeneranya Lea yang ..... " kalimat Jevin terhenti saat Yulita menyentuh lengannya yang berbulu dan mengeleng lembut beberapa kali.
"Alea, selama ini kita hanya tahu kau kecelakaan dan tanten Molly yang membiayainya. Dia menolak meski berkali-kali ibu berusaha mengganti uangnya, itu karena tanpa sengaja dia yang membuatmu begitu. Maafkan dia, ya Sayang!" lembut Yulita pada putri semata wayangnya.
Alea mengangguk patuh, baginya tidak ada yang perlu didendamkan, meski dulu tidak mengakui setidaknya sudah bertanggung jawan penuh. Alea berfikir, sengaja tante Molly tidak mengakui mungkin karena takut hubungan persahabatan antara dia dan ibunya rusak.
"Tapi, Lea waktu itu .... " lagi-lagi ucapan Jevin terputus oleh Yulita.
"Jevin, Alea sudah mengetahui dan memaafkan, kau diam saja, ok!" tegas Yulita namun lembut, sorot matanya menatap tajam penuh arti pada Jevin dan Intan.
Alea menjadi bingung. Melihat ke arah Yulita dan Jevin, Ibunya memang tidak terlihat berbohong, tapi Ia merasa ada sesuatu yang di sembunyikan darinya.
"Besok kamu bekerja bukan? Ya sudah kau pulang sendiri ya, Ibu di sini dulu, kasian mereka!" Yulita mengusab kepala belakang sampai punggung Alaea berulang-ulang.
"Kak Jevin, Intan aku pulang dulu ya, kalian yang sabar!" serunya sambil memeluk Intan dan beranjak.
Gadis berkulit putih mata lebar hidung mancung dan pipi cubi itu memeluk erat balik tubuh Alea cukup lama.
Yulita mengantarkan putrinya sampai gerbang hingga taxi online yang menjemputnya tiba.
Yulita melangkah lemas kembali ke kamar Molly, duduk bersama Jevin dan Intan.
"Tante kenapa tante tidak mengatakan yang sebenarnya?" protes Jevin.
"Apakah tante bohong pada Alea, Jevin?"
"Tante tidak berkata kalau mama sengaja mencelakai Alea agar dia mati dan tak ada lagi alasan untuk om Rafi meninggalkan tante," jawab Jevin.
"Jev, tante tidak mau membuat hati Alea lebih terluka, melihat tante dan om selalu bertengkar saja dia sudah sangat terpukul, apalagi sampai tahu kenyataan sepahit ini," ucap Yulita prustasi sambil memegangi ujung kepalanya dengan kedua tangan menunduk.
"Mungkin kata Tante benar, sejak saat itu Alea berubah menjadi sosok yang dingin tertutup dan tidak pernah bergaul dengan siapapun. Padhal dulu ia samgat ramah dan dekat dengan siapapun," imbuh Intan.
Tiga hari setelah kejadian itu, Molly pun akhirnya meninggal dunia. Tangis kesedihan terlihat jelas pada kedua anak yang ditinggalkan, memang keduanya sudah dewasa tapi kehilangan satu-satunya orang tua tunggal, jelas membuat keduanya sangat sakit terpukul.