"Selamat pagi, Pak," sapa Alea saat ia masuk ke dalam ruangan CEOnya.
"Selamat pagi, Alea." Pria itu tersenyum manis menatap ke arah gadis berkulit putih, tinggi dan berambut lurus sebahu dengan potongan segi, panjang bagian belakangnya.
"Bapak memanggil saya? Ada apa?" tanya Alea dengan santun.
"Kamu siapkan laporan hasil omset perusahaan selama dua bulan terakhir," jawab Max, sambil menyatukan jemari dari dia tangannya sendiri di depan wajahnya dengan kedua siku bertumpu pada meja kantor.
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu," ucap gadis itu, berpamitan.
"Alea!"
"Iya, Pak. Apakah masih ada perintah lagi?"
Pria itu diam. Kemudian tersenyum setelah melihat wajah cantik itu menoleh ke arahnya.
"Tidak ada. Selamat bekerja, Alea," jawabnya. Sungguh melenceng jauh dari yang Alea duga, membuat gadis itu teringat dengan kejadian kemarin.
"Pak, jaket dan kous anda masih ada di tukang Loudry. Saya takut salah jika membersihkan jaket kulit. Karena tidak ada pengalaman. Jadi, saya bawa saja ke tukang luodry yang profesional," ucap Alea sambil tersenyum tipis.
"Kamu berlebihan, Alea. Harusnya tak perlu kau bawa ke sana. Saya bisa mencucinya sendiri," jawab Max menjadi tak enak sendiri.
"Jaket itu kotor dan kaus di dalamnya bau karena saya. Sudah jadi tanggung jawab saya."
"Terimakasih, Alea." Max tersenyum dan kian mengagumi sosok itu. Muda, berbakat, cantik lagi cerdas.
Tiga puluh menit kemudian, Alea kembali mengetuk pintu ruangannya. Kali ini dia tidak datang dengan tangan kosong. Melainkan dengan membawa berkas-berkas yang dimintanya tadi.
Lembaran demi lembaran Axel buka. Seketika, tersungging sebuah senyuman yang menandakan dia puas atas hasil yang ia lihat. "Sungguh kerja Tim yang mengagumkan. Apa harusnya Alea aku angkat sebagai manager pemasaran saja, ya? Gadis itu mudah menguasai apapun yang ingin dia lakukan. Tapi, jika demikian, dia tidak akan dekat sama aku lagi, dong. Kalah sama Andra aku nanti," gumam pria berdarah Jerman itu.
Karena tugas banyak, Alea tidak begitu menghiraukan teman satu ruangannya yang tengah asik bersenda gurau. Alea bisa saja seperti mereka melakukan pekerjaan dengan santai. Tapi, dia bukan tipe orang yang suka menunda pekerjaan atau tugas yang sudah diberikan oleh perusahaan, atau atasannya. Lagi pula selain itu, dia juga memiliki hobi menulis. Sayang jika idenya meluap hilang begitu saja.
"Uuuh... Akhirnya selesai juga," ucap Alea seorang diri sambil mengeluarkan tubuhnya di atas kursi dan bersandar di sana. Baru saja ia hendak meraih minuman yang ia letakkan di dekat keyboard nya, waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Artinya, susah waktunya beristirahat.
'Kebetulan banget, perut juga dah mulai lapar,' batin Alea, lalu membawa laptopnya keluar dari ruangan itu.
Dia jarang sekali berbaur dengan teman wanitanya. Kebanyakan yang dibahas oleh mereka gak jauh-jauh dari yang namanya gossip. Sebagai sesama wanita, Alea bukan tidak suka bergosip. Dia sama seperti yang lain. Tapi, dia hanya tak ingin membuang waktu percuma saja agar kerjaan, dan hobi berjalan seimbang.
Usai makan di kantin, Alea pergi ke taman kantor. Di sana, ia mulai menyalakan laptopnya dan membuka aplikasi Microsoft word. Suasana tenang, teduh dan jauh dari keramaian, membuat ia lancar menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah tulisan. Tulisan yang nantinya akan dinikmati oleh banyak pembaca.
"Alea, di sini kau rupanya?" Sapa seorang pria tampan bertubuh tinggi besar berkulit putih, serta lengannya yang penuh dengan bulu, terlihat jelas sebab, lengan kemejanya dilipat hingga sebatas siku.
"Pak, Max. Ada apa?" Seketika, jemari yang sejak tadi lincah menari di atas keyboard terhenti dan terangkat dari papan tersebut. Pandangannya juga tak lagi tertuju pada layar monitornya. Tapi, pada sosok yang teramat sangat kharismatik di hadapannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya pria itu, kemudian duduk di depan Alea. tanpa dipersilahkan.
"Tidak ada, Pak. Melakukan hobi saja," jawab gadis itu. Kemudian menyimpan filenya dan keluar dari aplikasi tersebut.
"Kamu ini, wanita pertama yang aku jumpai sangat gila kerja, Lea."
"Oh, ya?" Tugas gadis itu, duduk menyilangkan kakinya sambil tersenyum lembut dan menyelipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajahnya di belakang telinga. Membuat Max kian terpesona saja dengan wajah ayu yang dimiliki Alea.
"Masa aku bohong?"
Alea lagi-lagi hanya tertawa kecil saja.
"Alea! Emb... Apakah kamu nanti ada acara?" ucap pria itu dengan sedikit gundah. Sepertinya dia grogi.
"Kenapa, Pak?"
"Aku ingin ajak kamu mendatangi acara perjamuan makan malam di gedung. Yang lain pada ajak pasangan, masa iya aku sendiri."
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa," jawab Alea. Dalam hati ia mengumpat, 'buang-buang waktu saja!'
"Kenapa, Alea? Plis!"
"Anda, cari saja teman yang setara dengan anda. Saya ini hanya karyawan biasa. Terlalu silau jika bersanding dengan anda."
"Kau ini, bisa saja. Kita ini sama-sama manusia. Jadi, jangan pernah membanding-bandingkan dengan kedudukan dan perasaan."
"Apa hubungannya dengan perasaan, Pak?" tanya Alea, bengong.
"Eh! Apa, ya? Ya sudah, aku tunggu kabar baiknya. Kalau begitu, aku akan pergi dulu karena ada hal yang harus dikerjakan," pamit pria itu.
"Iya, Pak," ucap Alea sambil tersenyum santun. Alea memandangi punggung pria berdarah Indonesia-Jerman itu sampai lenyap dari pandangan. Kemudian, itu tertawa miring sambil berkata, "memaksaku? Emang, siapa kamu?" Kembali Alea membuka aplikasi wordnya untuk melanjutkan menulis lagi. Tapi, sialnya, ide yang tadi mengalir seperti air kini malah stuck di situ saja. Ia melupakan apa yang hendak ditulisnya tadi. Dengan geram Alea melepas kaca mata putih yang membingkai wajahnya. Kemudian melemparkannya ke sembarang arah. Tak puas dengan itu, ia tutup dengan kasar laptopnya meskipun belum dia matikan. "Sialan! Ide-ideku hilang semua ah!" umpatnya dengan kasar.
Merasa apa yang dia kerjakan sia-sia, Alea menenteng leptopnya. Dia pergi meninggalkan tempat itu dengan penuh emosi dan amarah yang meledak-ledak. Tapi, di pertengahan loby, ia menghela napas dan berkata pada dirinya sendiri, 'Jika memang mau marah nanti saja. Ini lingkungan kantor. Tunjukkan dirimu yang terbaik dan menarik.'
Hanya dengan satu tarikan napas panjang saja sudah mampu merubah mood Alea. Ya, begitulah dia. Moodnya mudah berubah. Ada kalanya ia merasa sedih, sampai menangis. Tapi, tidak berselang lama ada sesuatu yang sedikit menghibur, ia telah melupakan kesedihannya. Kadang, Heppy-heppy saja tidak ada masalah. Tapi, hanya ada sedikit masalah sepele dia sudah meledak-ledak. Begitulah Alea. Tidak ada yang bisa mengerti seperti apa dirinya. Suasana hatinya juga tak mudah terbaca.