Di dalam kambar alea masih bisa mendengar suara pertengkaran dari kedua orang tuanya. Mereka terus beradu mulut tak ada yang mau mengalah, melempar mencaci dan saling menyalahkan satu sama lain. Hingga sebuah perkataan dari Rafi yang dilontarkan pada ibunya, sangat menusuk di hati Alea.
"Kau ini harusnya tahu diri, kenapa aku lebih memilih selingkuh daripada setia? Ya itu karena kau sudah tidak menarik lagi, jelek dan peot. Punyamu juga sudah kendor tak senikmat milik Intan!"
"Tega kau, Mas berkata begitu padaku?" isak Yulita.
Alea masuk ke dalam toilet dalam kamarnya. Lalu, menutup pintunya rapat. Hatinya begitu sakit ketika mendengar kalimat dari papanya yang sangat menohok. Kalimat yang harunya tak perlu dikatakan. Karena tak pantas di dengar.
Alea menghela napas dalam-dalam. Kemudian mengeluarkannya perlahan.
"Tetap tenang, Alea. Jangan terbawa emosi," ucapnya seorang diri. Setelah berhasil menenangkan hatinya, gadis itu memandang pantulan dirinya pada cermin dan tersenyum. Kemudian, ia keluar, menuju meja kerjanya. Di sana, ia mulai menuliskan beberapa kalimat hingga membentuk banyak paragraf yang terdiri dari 500 world.
"Haaah, lelah sekali. Ngantuk lagi," ucapnya seorang diri. Dengan langkah tanpa beban, kembali Alea menuju toilet untuk mencuci wajah, dan menggosok gigi sebelum ia naik ke atas tempat tidur. Begitulah Alea setiap hari. Moodnya mudah berubah. Tak jarang, ia merasa sedih sampai menangis karena suatu hal. Namun, tidak lama kemudian, ia menemukan sesuatu yang bisa membuatnya tertawa dan Heppy. Ada kalanya juga dia dalam keadaan fine away. Hanya karena masalah sepele, dia sudah marah meledak-ledak.
Keluar dari toilet, Alea masih memegang handuk kecil yang dia gunakan untuk mengeringkan wajahnya. Saat mata gadis itu memandang ke arah meja kerjanya, terlihat olehnya, benda pipih yang tergeletak di sana berkedip beberapa kali. Penasaran, siapa yang menelfonnya malam-makam begini, Alea pun melangkah dan meraih benda tersebut.
"Pak, Max?" gumamnya sambil tersenyum tipis. "Halo, Pak?"
"Halo, Alea. Gimana keadaanmu?" tanya pria itu nampak panik.
"Saya tidak apa-apa, Pak. Maafkan saya, jadi merusak acara anda," ucap Alea dengan santun dan rasa yang sangat tak enak hati. Merasa sangat bersalah, sudah pasti ia rasakan.
"Tidak masalah. Aku yang harusnya minta maaf. Jika saja aku tahu lebih awal, aku pasti tidak akan melakukan hal itu," jawab Max.
"Anda tidak tidur, Pak? Ini sudah larut," ucap Alea. Ia bingung jika berlama-lama telfonan dengan CEOnya. Karena, ia memang sebenarnya adalah seorang yang lebih banyak diam dari pada bicara yang tidak ada manfaatnya.
"Apa, Pak? Ini bukan panggilan formal, dan juga bukan jam kerja, Alea. Just call my name, Axel," ucap pria itu.
"Axel? Kenapa?"
"Iya. Itu adalah nama kecilku. Orang tersekatku semua memanggil dengan nama itu. Max, hanya panggilan rekan kerja yang tidak ada hubungan apa-apa selain pekerjaan."
Mendengar jawaban dari Axel, Alea tersenyum tipis. Ia mengerti dan paham betul apa maksud dari ucapan Axel. "Siapa saja orang kantor yang bisa memanggilmu Axel di luar kantor?"
"Tidak ada."
"Baiklah, terimakasih. Tapi, maaf. Aku sudah ngantuk," ucap Alea dengan santai. Tak ada lagi nada bicara dan bahasa formal yang ia gunakan.
"Oke. See you tomorrow," jawab Axel kemudian ia mematikan panggilannya.
Alea terus tersenyum. Ada perasaan senang dihatinya yang memaksanya untuk tetap melengkungkan bibirnya ke atas. Memang, akhir-akhir ini CEO di kantornya terlihat begitu aneh. Selalu saja kebetulan pulang bareng dan menawari tebengan, mana setengah memaksa. Berkali-kali dipesankan kopi, tapi kopi yang salah. Sepertinya itu semua memang sudah dia atur.
Baru saja Alea meletakkan ponselnya, kembali benda pipih itu berdering pelan. Karena ia sudah mengatur volume nya. Gadis itu berkerut kening saat melihat nama kontak yang muncul pada latar ponselnya.
"Halo, Ma," jawab Alea.
"Alea, kau di mana sayang? Kenapa belum kembali juga?" tanya Yulita, panik.
"Alea sudah tiba, Ma. Ini lagi di kamar," jawab gadis itu.
Mendengar jawaban dari putrinya, Yulita terkejut. Ia bertanya-tanya dalam hati, 'kapan Alea pulang? kenapa tiba-tiba dia sudah berada di kamarnya? Kenapa dia tidak mengucapkan salam atau memencet bel seperti biasanya? Apakah saat dia datang tadi ketika aku dan Mas Rafi bertengkar di dalam kamar? Ya Tuhan Semoga saja Alea tidak mendengar apa yang sudah mas rafi katakan padaku tadi,'
"Ya sudah, Sayang. Kau segeralah beristirahat. Bukankah besok kau bekerja lebih awal?" ucap Yulita dengan panik dan cemas.
Sementara di sisi lain, Max terus terbayang-bayang wajah Alea. Baginya, Alea itu lain dari yang lain. Dia benar-benar berbeda. Banyak yang berlomba-lomba dekat dengannya untuk numpang tenar, atau ya, pengen dekat. Bukankah suatu kebanggaan bagi wanita jika memiliki hubungan baik dengan pria muda yang tampan kaya dan mapan? Tapi, Alea tidak demikian. Dia tidak peduli bagaimana dirinya. Yang dia tahu, Max adalah atasan yang perlu dihormati. Bahkan, setelah dia naik jabatan pun, ia juga tidak jadi seorang yang sok. Tetap jaga jarak padanya.