Rafi merapikan rambut serta kemejanya di depan pintu rumah Intan. Dia tidak ingin membuat gadis seusia putrinya itu kecewa dengan penampilannya jika kucel. Jadi, ia harus memaksimalkan tampilan sebelum akhirnya ia mengetuk pintu. Entah kebetulan atau gimana, baru saja ia mengulurkan tangan pada pintu, tiba-tiba saja. Si pemilik rumah yang tak lain adalah Intan tengah membuka pintu. Dari caranya berpakaian Sepertinya ia hendak keluar.
"Mas Rafi?" ucap Intan terkejut.
"Loh, mau ke mana kamu, Tan?" tanya Rafi dengan canggung. Seperti remaja yang baru jatuh cinta saja.
"Ini, tiba-tiba ada rapat dadakan, Mas," jawan Intan merasa tidak enak hati.
"Oh, ya sudah, kalau gitu mas antar, ya?"
"Boleh, Mas."
Akhirnya, Rafi pun mengantarkan intan ke tempat di mana ia bos dan rekan kerjanya akan adain rapat. Sementara Rafi, dengan perasaan sedikit kecewa akhirnya harus kembali. Tiba di rumah, Yulita istrinya tengah duduk di ruang tamu. Namun, lelaki itu acuh tak acuh melihat keberadaan sang istri.
"Cepat sekali. Kukira kau tidak akan pulang malam ini. Tidak kusangka, hemb," ucap Yulita sambil tertawa miring tanpa melihat ke arah sang suami.
"Kau jangan suka cari masalah dan memancing emosiku, Yul!" hardik Rafi. Geram.
"Lantas, apa yang kau lakukan selama ini? Anak kita sudah tumbuh menjadi remaja! Tak seharusnya kau terus-terusan seperti ini, Mas!" teriak Yulita dengan suara yang tak kalah tinggi. Akhirnya, pertengkaran pun tak terelakkan.
***
Diperjalanan Alea mulai merasa mual, mungkin masuk angin, karena dia tidak pernah naik motor, apalagi malam hari. Namun ia masih berusaha menahannya meski rasanya sudah di tenggorokan.
Sampai di sebuah bukit, Maxmiliam menghentikan motornya, "Kamu lihat di sana Lea!" serunya. Nampak oleh dua insan itu cahaya yang terpancar dari lampu kota bagaikan bintang yang berserakan di atas bumi. Mungil, banyak tak beraturan namun memberikan keindahan yang sungguh sedap dipandang.
Lea memandang, memang cukup indah, tapi ia tidak bisa menikmati karena rasa mual yang semakin menjadi. Tapi sesaat kemudian dia malah terpana dengan sosok yang ada di hadapannya. Maxmiliam. Biasanya ia melihat hanya mengenakan baju formal kantor. Berdasi serta jas. Ini di sini ia mengenakan jeans biru gelap dan kaus hitam ketat memamerkan bentuk badannya. Serta balutan jaket kulit melekat menambah kegagahan pria itu.
Alea tak menyadari banyak hal, tau-tau Maxmiliam sudah sangat dekat di depannya, berjarak sekitar satu jengkal saja. Tapi rasa mual yang sedari tadi ia tahan kini tumpah juga mengenai pakaian apria itu.
"Alea, kamu kenapa?" panik Maxmiliam, sambil memijat tengkuk Alea.
Alea terus mengeluarkan isi perutnya sambil sesekali mengelengkan kepala memberi jawaban atas pertanyaan Max.
"Kamu ga biasa naik motor, ya? Ya uda, kita pulang saja ya? Maafkan aku, lain kali aku akan bawa mobil saat mengajakmu," ucap Max dengan penuh rasa bersalah.
Alea mengannguk, dituntun Max menuju motornya.
"Pak, maafkan saya," ucap Alea lirih merasa tak enak hati.
"Apa, Pak?" tanya pria itu sambil terkekeh. "Memangnya aku seperti bapak mu, kah, Lea? Panggil ku Axel saja jika di luar. Biar lebih akrab, oke?" Pria itu memandang gadis di depannya dan menepuk sebelah pundaknya.
"Iya, maaf. Aku belum terbiasa. Itu, jaketnya, kotor kena muntahanku. Bagaimana kalau aku cucikan saja?" ucap Alea.
Axel diam. Menatap serius wajah gadis itu. Kemudian dari bibirnya berkata, "Lalu, kau mau aku naik motor dengan keadaan telanjang dada, gitu? Bagaimana jika tubuh maskulinku dilirik banyak wanita?"
Alea menahan tawa sambil tertunduk. "Nanti pakai saja dulu baju ayahku, mau?"
"Pakai baju calon ayah mertua? Siapa takut."
wajah Alea kian memerah karena malu. Kata-kata gombal dari Axel yang entah tulus apa tidak sukses membuat hatinya berdebar.
Kali ini Max mengemudikan tidak sekencang tadi, sangat perlahan. Bertujuan mengurangi angin yang mengenai dirinya dan Alea.
Saat hampir tiba di rumahnya, tiba-tiba Alea teringat akan sesuatu. Dirabanya handbag yang ia selempang kan pada pundaknya.
"Xel, kita berhenti dulu di sini," ucap Alea menghentikan motor saat tiba di tengah-tengah kota.
"Kenapa?" seketika, Axel pun mengurangi kecepatan dan berhenti tepat di depan toko distro.
"Saya belikan baju ganti saja untuk anda, Pak. Eh, Xel. Maaf," ucap gadis itu sambil tertunduk.
"Loh, kenapa? Kamu gak mau meminjamkan baju ayahmu pada, ku?" tanya pria itu.
Alea mengelengkan kepala.
"Kenapa? Takut papamu tak beri izin?"
"Kurasa kurang layak, ayahku sudah berumur, sedangkan kau masih sangat muda," elak Alea. Ia hanya tak ingin saja Axel ikut ke rumahnya karena takut jika nanti kedua orangtuanya bertengkar pria itu jadi tahu.
"Aku tidak apa-apa memakai ini, saja, Lea. Kan sudah dibersihkan dan kering, ini jaket kulit. Gak masalah!"
"Aku akan tetap bertanggung jawab."
Max tersenyum. Kemudian ia turun dari motor dan melepaskan helmnya. Cukup lama ia menunggu Alea, sepertinya gadis itu tengah kesulitan membuka helmnya. Jadi, Axel membantunya.
"Terimakasih." Alea tersenyum dan dibalas senyumannya oleh pria bermanik biru keabu-abuan itu.
Usai memilih baju dan jaket jeans untuk Axel yang tak lain adalah ceon-ya di kantor, mereka pun pergi meninggalkan tempat tersebut menuju rumah Alea. Namun, baru sampai di tikungan rumahnya, lagi-lagi Alea menghentikan motor Axel dan bersikaras memaksa untuk turun di sana tanpa mau diantar sampai rumah. Berbagai cara Axel membujuk, berbagai cara juga Alea menolak, hingga kemenangan ada di pihak Alea.
Axel mengalah dan pulang. Sementara Alea berjalan kurang lebih sampai lima ratus meteran.
Seperti biasa, Alea melepas alas kakinya di teras, lalu menentengnya dibawa ke dalam kamarnya, lagi-lagi ia terhenti saat melangkah di depan pintu kamar orang tuanya.
"Kamu memang hidung belang, Mas! Kamu tidak pernah mau berubah! Jika tidak untuk aku berubahlah demi Alea!" pekik Yulita, ibunda Alea.
"Aku tidak menceraikanmu lalu menikahi Molly, itu sudah pengorbananku untuk Alea, karna apa? Biaya pengobatannya pasca kecelakaan sangat besar, Moly berkorban besar demi aku, karena aku sayang Alea saja kutolak permintaanya untuk menikahinya."
"Bahkan kau membawa-bawa nama Molly dalam masalah ini? Kau tahu, dia sengaja melakukan itu agar Alea mati dan tak ada alasan lagi bagimu untuk menceraikannku lalu menikahi nya. Dan sekarang kau malah berselingku dengan Intan, putrinya. Bagaimana perasaan Alea jika tahu?"
Isakan Yulita terasa memekakan telinga, dan begitu menyayat hati Alea.
"Karna Intan sangat cantik, aku tidak peduli, kalaupun tahu pasti dari kamu," ucap Rafi tak Peduli.
Tak tahan dengan tangisan ibunya, Alea berjalan ke kamarnya. Ia masih diam. Lelah sebenarnya hidup begini terus. Setiap hari tiada hentinya mendengar pertengkaran antara ibu dan ayahnya.