Chapter 8 - SESAL

Cukup lama Alea memikirkan Intan. Ia tak habis pikir, gadis yang diam-diam ia kagumi akan parasnya yang cantik, lemah lembut bisa berbuat serendah itu. Apa sebenarnya niat Intan merayu papanya? Sekalipun dia sosok yang bisa dibilang masih tampan dan cukup gagah di usianya yang ke empat puluh lima tahun, Intan kan masih, muda. Dia masih bisa cari yang lebih muda. Untuk menggaet cowok tajir pun sepertinya dia tidak kesulitan.

"Intan, kenapa sekarang aku jadi jijik, ya sama kamu setelah tahu apa yang kau lakukan? Sudah berapa lama kau begini? Tidur bersama papaku?" gumam Alea seorang diri sambil memandangi foto Intan. Sorotan mata gadis itu menatap tajam dan penuh dengan kebencian yang luar biasa.

Alea beranjak dari tempat tidurnya, mengambil album foto kenangan dirinya bersama Intan saat masih kecil dan tamat SMA dulu.  Kemudian mulai menusuk gambar wajah cantik dan rupawan itu dengan sebilah pisau tajam dengan ukiran naga pada bagian pemegangnya.

Beberapa lembar foto Intan telah musnah dibakarnya, sementara foto bersamanya disobek dipisahkan, ia hancurkan dengan pisau kesayangannya.

"Ceklek!"

Tanpa mendengar suara langkah kaki dan ketukan pintu dari luar tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, hal itu sukses membuat Alea terperanjat, langsung saja melempar foto Intan dan menyembunyikan pisau yang ia pegang di belakang tubuhnya, saat pintu kamarnya mendadak terbuka.

"Ibu? Ibu sudah pulang?" Alea tersenyum, namun gugup.

"Iya, itu ada teman kamu datang, dia menunggumu di depan, temuilah!" tanpa curiga Yulita tersenyum pada Alea lalu pergi meninggalkan kamar putrinya menuju dapur membuatkan minum tamunya yang mengaku sebagai teman Alea.

Alea berkerut kening, berfikir keras, "Siapa? Apa mungkin Wulan? Aku, kan sudah minta pengunduran deatline dua bulan lagi, kenapa kemari?" Alea mendesah perlahan. Berjalan menuruni anak tangga satu demi satu sambil menguncir rambutnya asal. Di kepalanya tidak ada bayangan siapapun selain Wulan, karena sejauh ini, dia memang tidak dekat dengan siapapun selain dengan editornya yang sedikit somplak itu.

Begitu tiba di ruang tamu, Alea mengerutkan keningnya. Berfikir keras melihat sosok pria dengan tubuh gagah duduk membelakanginya. Dia terus berjalan perlahan sambil berdehem, berharap pria itu menoleh. Sebab, ia merasa asing saja. Jika Andra, rasanya tidak mungkin. Dia tidak sekekar itu.

Mendengar seseorang datang, pria dengan outfit celana panjang dan kais pres body serba hitam itu pun menoleh ke belakang sambil menunjukkan senyumannya yang memikat.

"Pak Max?" kejut Alea saat mendapati siapa yang datang. Ia hampir tak percaya itu. Bagaimana bisa dia ke sini? Ada perlu apa? Ngaku sebagai teman lagi.

"Axel Maxmiliam, panggil Axel  saja!" serunya, tersenyum ramah.

"Ada perlu apa kemari, Pak?" tanya Alea bingung, dan gugup. Ia takut ada masalah besar atau kesalahan fatal yang ia perbuat sehingga membuat bosnya datang ke mari.

"Memang tidak boleh?" ucap Maxmiliam sambil berdiri dan melirik pada Alea sambil menyunggingkan senyuman tipis dan hangat.

"Aku sudah minta izin pada ayah ibumu untuk mengajakmu ke tempat yang bagus, apakah kau bersedia?"

"Kemana?" Alea terkejut mendengar itu. Lagian, aneh kan? Seorang bos ajak bawahannya jalan.

"Rahasia." Axel menjawab dengan tegas namun lembut dan kembali duduk ketika ibu Alea keluar dan membawa nampan berisi segelas coklat hangat untuknya.

"Minumlah dulu, Nak!" ucap ibu Alea, kemudian kembali ke dapur dengan membawa nampan di tangannya.

"Ya sudah, tapi tidak lebih dari satu jam aku sudah berada di rumah," jawab Alea dengan ekspresi yang dipaksakan tenang.

"Oke, kalau gitu, kita sepakat!" Max, atau yang selalu di sapa dengan Axel ketika di rumah langsung menyambar secangkir coklat hangat dan langsung menghabiskannya. Kemudian berpamitan pada papa dan mama Alea untuk membawa putrinya jalan-jalan sebentar. Sebab, sebenarnya ia sendiri juga menyempatkan. Jadi, mepet dan sangat mendadak. Jika tidak demikian, Axel sendiri tidak tahu, kapan dia ada waktu. Mengingat bagaimana keluarga besarnya sering mengadakan pesta perayaan, pertemuan dengan para koleganya untuk memperluas jaringan bisnisnya.

"Siapa dia? Pacarnya Alea?" tanya Rafi pada istrinya.

"Aku juga tidak tahu, Mas. Alea tidak pernah cerita tentang cowok selama ini. Aku pun juga baru melihatnya datang," jawab Yulita. Kemudian mengambil cangkir bekas tamunya dan membawanya ke dapur.

Rafi diam sesaat mematung di ruang tamu. Mengamati keadaan rumah yang sepi hanya ada dia dan istrinya saja. Kembali pikirannya teringat dengan Intan. Anak Molly yang sudah seminggu terakhir ini ia kencani. Rafi menyeringai dan berkata dalam hati. 'Kenapa aku tidak memberinya kejutan saja dengan tiba-tiba datang ke rumahnya? Bukankaj Jevin berada di luar kota sampai tiga hari ke depan?'

Rafi berbalik arah, bergegas menuju kamarnya dan berganti pakaian rapi. Terakhir ia berdiri di depan cermin, bersiul sambil merapikan rambutnya seperti layaknya pria muda yang tengah kasmaran di mabuk cinta.

"Mau ke mana kamu, Mas?" tanya Yulita ketika mendapati suaminya tiba-tiba berdandan rapi.

"Aku ada urusan di luar. Mendadak ada meeting," jawabnya singkat sambil melempar sisir di atas meja rias Yulita.

"Oh, meeting, ya? Dengan wanita mana lagi? Setelah induk, apakah juga anaknya?" sindir Yulita dengan tubuh bergetar karena menahan gejolak emosi dalam dirinya.

"Kamu bisa diam tidak, sih? Kau kenapa selalu ikut campur urusanku saja?" bentak Rafi.

"Aku ini istrimu, Mas! Berhak tahu ke mana kau pergi! Kau juga seharunya berkata jujur mau ke mana kau pergi? Bagaimana bisa mendadak meeting malam-malam begini sementara tadi kau hanya bekerja setengah hari saja? Di mana kau meeting?" teriak Yulita dengan suara tak kalah tinggi.

"Sudah kukatakan! Jangan pernah ikut campur lagi. Kau harus tahu diri kau itu hanyalah istri diatas kertas saja. Ingat itu! Jika bukan karena hartamu, mana mau aku menikahi mu?" jawab Rafi sengit. Kemudian mengenakan jaket dan pergi melewati Yulita yang hanya diam mematung.

"Bam!"

Yulita roboh, duduk tersungkur sambil menangis sesenggukan meratapi nasibnya setelah mendengar suara bantingan pintu dengan keras.

"Maafkan Yulita, Ma... tidak hiraukan engkau dulu. Tetap mempertahankan pria yang ternyata salah. Sungguh aku sangat naif. Dia bukan suami dan ayah yang baik untuk putri dan cucumu."

Yulita teringat bagaimana dulu ia menentang kedua orangtuanya ketika ia dijodohkan dengan anak dari sahabat papanya hanya demi Rafi yang dia kira sebaik dan semanis kata-katanya. Kini ia sadar, ternyata orangtua jauh lebih tahu mana yang baik dan tidak untuk anak-anaknya. Kini, yang hanya ia bisa lakukan hanya meratap dan menyesal. Terlebih, kedua orangtuanya meninggal juga karena syock dan tekanan batin saat mengetahui kalau ia tidak diperlakukan dengan baik oleh pria pilihannya sendiri.